Transformasi komprehensif dari keseluruhan aspek produksi di industri melalui penggabungan teknologi digital dan internet dengan industri konvensional, telah banyak mengubah persepsi bahkan pola interaksi sosial suatu masyarakat terhadap kearifan lokal yang menjadi akar sebuah peradaban.
Mempertahankan eksistensi kearifan lokal di tengah perkembangan zaman adalah tantangan yang butuh sikap dan logika kritis, inisiatif dan inovatif. Butuh pendekatan-pendekatan persuasif lewat sosialisasi, edukasi dan pola interaksi yang humanis antar individu, individu dengan kelompok, dan juga kelompok dengan kelompok.
Kearifan lokal (Local Wisdom) pada era digitalisasi ini mengalami suatu persoalan yang jika tidak ditanggapi dengan serius, maka di kemudian hari kearifan lokal akan tergerus atau punah oleh modernisasi yang terus berpacu dari waktu ke waktu.
Hal ini kemudian menjadi masalah sekaligus tantangan tersendiri bagi masyarakat adat Lamalera dan kearifan lokal Leva Nuang yang telah diwariskan secara turun temurun, sebagai sebuah kebenaran yang berkarakteristik yang menjadi ciri khas kehidupan sosial masyarakat adat di Kampung Lamalera.
Masyarakat Lamalera adalah masyarakat primordial yang menjunjung tinggi sakralitas tradisi Leva Nuang sebagai kekuatan sekaligus pijakannya dalam hidup dan menghidupi setiap sisi kehidupan yang berjalan dari waktu ke waktu.
Sakralitas tradisi Leva Nuang telah mengkultur dari zaman leluhurnya dan bertahan sampai detik ini. Masyarakat adat Lamalera menjalankan tradisi Leva Nuang sebagai titipan leluhur yang diyakini memiliki kekuatan magis.
Ritual-ritual sebelum Leva nuang atau musim melaut ini berlangsung selama hampir seminggu yang dikemas dalam seremonial yang memadukan kekuatan alam, leluhur dan agama, sebagai wujud penghormatan, bakti, perdamaian dan pembersihan diri.
Lebih dari itu, seremonial Leva Nuang memiliki makna yang mendalam dalam pergolakan hidup dan matinya mereka di laut. Mereka memasrahkan diri dalam perlindungan alam, leluhur dan Tuhan, sekaligus permohonan berkat berlimpah akan hasil dari Leva nuang atau musim melaut.
Kontradiksi Festival Leva Nuang
I Ketut Gobyah mengatakan, kearifan lokal adalah suatu kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu daerah. Kearifan lokal adalah perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa kearifan lokal harus dijaga, dirawat dan diwariskan sebagai tradisi sakral karena menjadi roh dari tatanan sosial kehidupan masyarakat Lamalera, sebagai sesuatu yang dipercaya karena mempengaruhi kehidupan masyarakat Lamalera sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial dalam membangun peradaban di tengah kecemasan eksistensial dan realitas kemajemukan.
Rencana dinas pariwisata Kabupaten Lembata mengadakan festival Leva Nuang memicu polemik di antara kalangan pengguna media sosial. Pergunjingan mengerucut sampai pada diskusi-diskusi meja makan dalam keluarga.
Banyak argumen pro dan kontra mereduksi dalam ruang tanya tentang asas kegunaan Festival Leva Nuang yang sedianya akan terjadi dari tanggal 27 April-01 Mei, 2022. Padahal di tanggal-tanggal tersebut, masyarakat adat Lamalera sedang melakukan ritual Leva Nuang.
Sebuah kritik perlu diberikan untuk Pemerintah yang miskin pengetahuan tentang budaya, adat istiadat serta tradisi yang telah melambungkan nama Kabupaten Lembata ke berbagai belahan dunia. Pemerintah tidak memahami kompleksitas Leva Nuang dari paradigma sosial masyarakat Lamalera dalam konteks sakralitas, integritas dan eksistensinya.
Leva Nuang sudah berlangsung sekian lama dan telah diamini sebagai sesuatu yang mengikat, karena Leva Nuang sendiri adalah identitas peradaban masyarakat adat Lamalera yang sakral, mistis dan unik.
Festival Leva Nuang dalam perspektif kritis eksistensi dan keberlanjutan tradisi Leva Nuang, adalah senjata waktu modern yang dimanipulasi secara halus dengan tujuan membunuh secara pelan tradisi Leva Nuang lewat nalar dan logika instant.
Pemerintah sedang berusaha meninabobokan kesadaran masyarakat adat Lamalera akan pentingnya eksistensi warisan budaya leluhur. Caranya adalah mendoktrin akal sehat dengan senjata Festival Leva Nuang, berisikan amunisi nomina dan targetnya adalah kesejahteraan.
Kearifan lokal Leva Nuang yang lahir sebagai sesuatu yang identik dengan pola interaksi sosial maha luhur yang menjadi pedoman atau hal baik yang harus dijaga, dirawat dan tetap dijalankan dari generasi ke generasi masyarakat Lamalera, oleh pemerintah diusahakan berevolusi menjadi suatu pola hidup baru yang adaptif terhadap segala perubahan yang masuk dan berdampingan membentuk akulturasi budaya baru.
Hari ini kita kenal dan menyaksikan tradisi Leva Nuang dalam konsep kearifan lokal yang hidup, tetapi besok jika kita membiarkan Leva Nuang dikemas dalam cover Festival, maka hari setelah besok kita akan menyaksikan kepunahan tradisi Leva Nuang dalam diksi dahulu atau pernah.
Kita perlu menguliti secara terang benderang Festival Leva Nuang sebagai bentuk eksploitasi terhadap kearifan lokal budaya Leva Nuang yang sudah mentradisi. Ini adalah bentuk propaganda pemerintah yang sangat memungkinkan ada kepentingan tersirat yang diagendakan dalam kemasan diksi Festival.
Pemerintah harus jujur bahwa hal utama yang dibutuhkan oleh masyarakat adat Lamalera adalah infrastruktur jalan raya yang layak, pemenuhan kebutuhan air bersih, akses komunikasi dan jaringan internet, fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai, tenaga pendidik yang berkompeten dan bukan Festival yang kontradiktif dan berdampak negatif pada keberlangsungan tradisi Leva Nuang.
Sangat disayangkan, tradisi yang sudah menjadi keunikan masyarakat adat Lamalera pelan akan mengalami suatu perubahan yang berdampak langsung pada pola interaksi sosial budaya dari masyarakat adat Lamalera itu sendiri.
Festival Leva Nuang tidak lebih dari bentuk banalisasi pemerintah terhadap masyarakat adat Lamalera dan keberlangsungan Leva Nuang yang menjadi roh dan spirit masyarakat adat Lamalera.
Festival Leva Nuang; Cermin Kebijakan Tak Menjawab
Pada abad ke-18 ketika dunia Eropa memasuki abad pencerahan, nama Horatius menggema keras karena kutipan karyanya, “Beranilah berpikir. Beranilah menjadi bijak.” (Epistulae II:40)
Berkaca dari pikiran Horatius tersebut dan merujuk pada kebijakan pemerintah Kabupaten Lembata mengadakan Festival Leva Nuang ketika masyarakat adat Lamalera lebih membutuhkan infrastruktur jalan raya, ketersediaan air bersih, dll. maka pantas kita katakan pemerintah tidak berani berpikir dan menjadi bijak.
Pikiran dan hati pemerintah, seakan menjadi gelap. Rasio sebagai kekuatan dan cahaya menepis kegelapan ilusi, tidak berjalan dengan baik. Buktinya realitas yang terjadi di masyarakat adat Lamalera bertahun-tahun, tidak tersentuh oleh kebijakan-kebijakan yang menguntungkan.
Langkah pemerintah mengadakan Festival Leva Nuang, lebih dipengaruhi oleh kegelapan ilusi dari kepentingan pemerintah sendiri, tanpa melihat urgensi substantif realitas masyarakat adat Lamalera. Kebijakan Festival Leva Nuang jauh melangkahi permintaan masyarakat adat Lamalera dan tidak menjawab sama sekali.
Lantas dimanakah Pemerintah Kabupaten Lembata selama ini? Kemana perhatiannya selama ini? Karena jika pemerintah penuh perhatian memandang dan memahami situasi Lamalera dengan sungguh-sungguh, maka dengan sendirinya mengerti idea yang baik untuk menjawab kebutuhan masyarakat adat Lamalera secara efektif dan bukan berlandaskan ilusi kepentingan yang tidak menjawab.
Filsuf Jerman, Jurgen Habermas menyatakan tindakan paling dasar manusia adalah tindakan komunikasi. Tetapi pemerintah hanya diam, terlalu sibuk (entah) sehingga mengambil kebijakan Festival Leva Nuang yang tidak menjawab tetapi justru merugikan eksistensi Leva Nuang masyarakat adat Lamalera sendiri.
Membangun Komunikasi Dialogis Persuasif
Festival Leva Nuang yang digagas dinas Pariwisata Kabupaten Lembata bukanlah hal yang tidak baik. Bagaimanapun pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat.
Dengan mengadakan Festival Leva Nuang, pemerintah memiliki kontribusi mendorong perekonomian masyarakat adat Lamalera lewat pelaku usaha kecil menengah dan sanggar-sanggar seni yang ada. Hanya saja cara penyampaian yang tiba-tiba melalui pamflet yang diupload di platform media sosial tanpa menjelaskan lebih lanjut maksud dari kegiatan tersebut, sehingga menimbulkan reaksi berupa penolakan keras masyarakat adat Lamalera.
Seharusnya pemerintah melalui instansi terkait, menggandeng pemerintah kedua desa melakukan sosialisasi kepada semua elemen masyarakat terlebih dahulu tentang manfaat dan dampak positif dari Festival Leva Nuang kedepannya.
Pemerintah harus memberi pemahaman bahwa kegiatan Festival Leva Nuang tidak akan merusak tatanan ritual yang ada karena akan menyesuaikan bentuk, tempat dan waktu kegiatan mengikuti tata cara ritual sakral Leva Nuang.
‘Waktu’ menjadi inti dari persoalan yang harus diurai lewat pendekatan dialogis persuasi yang humanistik, bila menarik benang merah alasan penolakan Festival Leva Nuang. Festival Leva Nuang bisa diadakan pada bulan-bulan sebelum dimulainya ritual Leva Nuang (Januari sampai pertengahan April) atau pada bulan-bulan sesudah periode Leva Nuang yang sakral itu (November sampai pertengahan Desember).
Artinya pemerintah harus terlebih dahulu mengkaji dampak terhadap keberlangsungan Leva Nuang secara lengkap apabila Festival Leva Nuang diadakan bersamaan dengan ritual sakral Leva Nuang, karena bagaimanapun kita sama-sama mencintai sakralitas Leva Nuang sebagai warisan leluhur yang harus dijaga dari generasi ke generasi.
“In necessariis unitas, in dubiis libertas, in omnibus caritas.” – Mgr Soegija(*)