Opini  

Semua Bidang Ilmu Penting

Bernardus Tube Beding

Oleh: Bernardus T. Beding
Dosen Prodi PBSI Unika Santu Paulus Ruteng
 

Perguruan tinggi memiliki kemerdekaan seluas-luasnya dalam mengabdi terhadap ilmu pengetahuan. Keberadaan perguruan tinggi di Indonesia bukan suatu jawatan belaka dan formalisme birokrasi dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendibudristek). Hakikatnya, perguruan tinggi mengembangkan ilmu pengetahuan dan mempersiapkan generasi intelektual yang akan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan budaya secara berkelanjutan demi terwujudnya masyarakat yang cerdas, sejahtera, dan berbudaya. Perguruan tinggi di tengah masyarakat sebagai kekuatan moral terpercaya serta sumber penyebaran nilai-nilai luhur kebaikan.

UNESCO mendeklarasikan hak-hak perguruan tinggi: (a) mahasiswa berhak belajar, dosen berhak mengajar sesuai minat masing-masing; (b) menentukan prioritas, dan melakukan kajian ilmiah tanpa batas apapun kecuali oleh norma dan kepentingan masyarakat; (c) toleran atas pendapat yang berbeda dan bebas dari intervensi politik; (d) sebagai institusi publik, melalui kegiatan pendidikan dan penelitian, perguruan tinggi harus menegakkan kebebasan dan keadilan, solidaritas dan kemanusiaan, serta saling membantu baik secara moral maupun materi baik dalam skala nasional maupun global; (e) menyebarluaskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan; dan (f) mencegah terjadinya hegemoni intelektual.

Prinsipnya, perguruan tinggi memberikan layanan pendidikan bagi kaum muda produktif dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui riset yang melahirkan invensi dan inovasi. Peran sentral ini erat hubungannya dengan pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan. Keberhasilan pembangunan bangsa ditentukan oleh penduduk berpengetahuan dan berpendidikan tinggi, memiliki keterampilan teknis, serta menguasai teknologi.

Perguruan tinggi dituntut melahirkan SDM berkualitas yang menguasai bidang ilmu tertentu untuk mendukung pembangunan bangsa. Artinya, dunia pasar membutuhkan tenaga kerja terdidik lulusan perguruan tinggi menurut bidang ilmu yang relevan guna menopang pembangunan di sektor industri manufaktur, infrastruktur, dan jasa yang kian dominan.

Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (https://pddikti.kemdikbud.go.id/) menampilkan pengembangan program studi bidang sains-keteknikan di perguruan tinggi justru tidak seimbang dengan tren kebutuhan dan perkembangan industri-jasa. Program studi bidang sains-keteknikan yang dikembangkan di perguruan tinggi lebih sedikit dibanding program studi bidang sosial-humaniora. Jumlah program studi di Indonesia berdasarkan bidang ilmu: Agama 1.788, Humaniora 737, Sosial 4.318, MIPA 1.126, Seni 399, Kesehatan 3.640, Teknik 5.106, Pertanian 1.862, Ekonomi 3.448, dan Pendidikan 6.127. Jumlah mahasiswa berdasarkan bidangilmu: Agama 205.579, Humaniora 128.944, Sosial 1.058.304, MIPA 196.743, Seni 50.563, Kesehatan 532.935, Teknik 1.024.231, Pertanian 313.169, Ekonomi 1.146.430, dan Pendidikan 1.371.105.

Jumlah ini berdampak pada lulusan. Para sarjana yang dihasilkan perguruan tinggi lebih didominasi bidang ilmu sosial-humaniora. Hal ini terjadi ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan dalam konteks pasar kerja. Sarjana ilmu-ilmu sosial-humaniora kelebihan pasokan, sedangkan sarjana sains-keteknikan justru mengalami peningkatan permintaan yang sulit dipenuhi seluruhnya oleh perguruan tinggi.

BACA JUGA:  Peringati Hari Tani Nasional, Mesti Merefleksikan Problematika di Sektor Pertanian

Persoalan ini sudah diulas dalam majalah terkemuka Inggris, The Economist (2015) dengan merujuk data Persatuan Insinyur Indonesia (PII) bahwa dalam 10 tahun (2015-2025) Indonesia kekurangan insinyur rata-rata sekitar 15.000 per tahun. Pada periode tahun 2015-2020 dan 2021-2025, kebutuhan insinyur masing-masing sekitar 90.500 orang pertahun dan 129.500 orang per tahun. Saat ini rasio insinyur di Indonesia masih jauh di bawah India dan China. Hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk menyiapkan SDM keteknikan, karena perguruan tinggi hanya menghasilkan sekitar 75.000 – 120.000 orang. Padahal mobilitas tenaga kerja antarnegara sudah terbuka dengan berlakunya kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN pada Januari 2016.

Oleh karena itu, Kemenristekdikti dan perguruan tinggi perlu mengambil kebijakan mendasar, seperti mengubah proporsi program studi dan merancang jumlah mahasiswa antarbidang agar lebih seimbang. Kebijakan ini bukan berarti ada ‘anak kesayangan’ dan ‘anak tiri’ atau skala superioritas atas suatu bidang ilmu tertentu. Bukan juga mengindikasikan bahwa bidang ilmu sosial-humaniora merupakan subordinat bidang ilmu sains-keteknikan.

Langkah ini ditempuh karena pertimbangan pragmatis untuk mengatasi kekurangan sarjana teknik yang sangat dibutuhkan di sektor industri dan jasa sebagai tiang penyangga perekonomian Indonesia. Bidang ilmu sosial-humaniora tetap sangat penting, bahkan sentral dalam konteks pembangunan nasional.

Para lulusan dan ilmuwan bidang ilmu sosial-humaniora sungguh diperlukan. Mereka memiliki kredensial akademik dan pengetahuan yang sangat baik untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional. Keberadaan para ilmuwan sosial-humaniora selalu merujuk pada tuntutan dan kebutuhan ilmiah. Pertama, mereka mampu melakukan penelitian empiris dan kajian ilmiah, seperti policy research untuk memetakan masalah-masalah, serta menghimpun isu-isu strategis dan kebijakan yang perlu diakomodasi dalam menangani masalah-masalah krusial perencanaan pembangunan. Kedua, mereka memiliki kemampuan menganalisis dampak negatif pembangunan sekaligus menghadirkan kebijakannya untuk dapat dihilangkan atau diminimalisasi.

Sesungguhnya bidang ilmu sosial-humaniora juga sangat penting dalam menghasilkan para ilmuwan sosial-humaniora yang berperan memberi peta jalan pembangunan dengan kebermanfaatannya langsung dirasakan oleh masyarakat.

Jadi, semua bidang ilmu di perguruan tinggi penting bagi pemberdayaan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Khususnya bidang ilmu sains-keteknikan dan sosial-humaniora sama-sama mutlak berkontribusi menurut porsi masing-masing dalam pembangunan nasional; mengingat dimensi pembangunan sangat luas dengan masalah yang sangat kompleks.