Daerah  

Pokja Perhutanan Sosial Petakan Tantangan dan Potensi Jadi Rencana Aksi

Rencana aksi ini disusun dan disepakati bersama dalam rapat yang bertajuk "Peranan Perhutanan Sosial Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat yang Berketahanan Iklim".

Pokja Perhutanan Sosial Petakan Tantangan dan Potensi Jadi Rencana Aksi (Foto: Istimewa)

Kupang, KN – Rapat koordinasi Kelompok Kerja Perhutanan Sosial (Pokja PS) Provinsi Nusa Tenggara Timur telah memetakan tantangan dan potensi serta merumuskan rencana aksi dari identifikasi bersama dengan dengan 22 Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) dari segala penjuru Nusa Tenggara Timur.

Rencana aksi ini disusun dan disepakati bersama dalam rapat yang bertajuk “Peranan Perhutanan Sosial Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat yang Berketahanan Iklim” yang berlangsung selama dua hari 15-16 Agutus 2022, di Hotel Kristal, Kupang.

Totala ada 22 KPH dibagi ke dalam 4 gugus yaitu Timor, Sumba, Flores, dan Kelompok Kecil yang terdiri dari Alor, Rote, Savu, dan Lembata.

Pembagian dalam gugus kepulauan ini untuk memudahkan pengidentifikasian tantangan dan potensi karena kondisi alam yang berbeda-beda di masing-masing kelompok.

Selain itu dalam upaya perumusan rencana aksi, juga akan lebih memungkinkan disusun bersama-sama dengan wilayah dengan kemiripan kondisi geografis.

Kabid Peningkatan Kapasitas Pengelolaan Lingkungan dan Perhutanan Sosial Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTT Anindya Widaryati mengatakan, selain rekomendasi dan rencana aksi, rapat koordinasi bertujuan untuk mensosialisasikan tugas pokok dan fungsi Pokja, mensinergikan Program Perhutanan Sosial dengan perencanaan program pembangunan daerah yang berketahanan iklim, pada perangkat dinas lingkup pemerintah daerah dan pusat.

“Selain itu rakor ini juga bertujuan untuk menghimpun data dan informasi terkait kebutuhan dan permasalahan pelaksanaan perhutanan sosial di lapangan. Kami juga dapat menghasilkan rencana kerja bagi percepatan program Perhutanan Sosial periode 2022-2024,” jelas Anindya.

Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari dalam kawasan hutan Negara atau hutan hak/hutan adat yang dapat dikelola oleh masyarakat setempat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan meningkatkan keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya.

Pemerintah Pusat telah secara nasional telah mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk Perhutanan Sosial periode 2015-2019 dengan capaian hingga 2022 capaian Perhutanan Sosial hingga Januari 2022 sebanyak 7.479 unit SK untuk hutan lebih dari 4.901.000 hektare dan telah melibatkan 1.049.000 kepala keluarga (KK).

BACA JUGA:  Ramalan Cuaca di NTT Hari Ini, BMKG Imbau Masyarakat Waspada Hujan Lebat dan Angin Kencang

Sebagai informasi, NTT memilki areal indikatif Perhutanan Sosial dengan luas 496.614,58 Hektar. Namun capaian masih sekitar 11,6% atau seluas seluas 57.864,13 hektare.

Dilihat dari capaiannya, masih termasuk kecil dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia, Pokja PS NTT menghadapi tantangan teknis terkait dengan capaian tersebut.

Diantaranya adalah minimnya anggaran untuk penyediaan fasilitas perijininan, kurangnya sumber daya manusia di lapangan untuk membimbing dan memfasilitasi kelompok, serta kurangnya sosialisasi kepada masyarakat sekitar hutan.

“ICRAF Indonesia melalui proyek riset aksi Land4Lives mendukung Pokja PS NTT dalam memetakan permasalahan dan penggalian solusi, untuk menjawab tantangan yang dihadapi oleh KPH dalam pelaksanaan program Perhutanan Sosial yang memberi manfaat pada masyarakat sekitar hutan dan sekaligus untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim,” kata Koordinator Provinsi Land4Lives Yeni Fredrik Nomeni.

Selain mendukung dengan bantuan teknis, ICRAF bersama DLHK Provinsi akan menyusun sebuah sistem informasi secara bersama-sama yang akan membantu pengelolaan Perhutanan Sosial di NTT.

Land4Lives adalah proyek kerjasama Pemerintah Indonesia melalui Bappenas dan Pemerintah Kanada melalui Global Affairs Canada.

Proyek berdurasi 5 tahun (sampai 2026) yang dilaksanakan oleh ICRAF di tiga provinsi; Sulawesi Selatan, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Timur dengan fokus pada perbaikan pengelolaan bentang lahan, ketahanan pangan, kesetaraan gender dan adaptasi/mitigasi dampak perubahan iklim, yang manfaatnya dapat dinikmati kelompok rentan dalam masyarakat termasuk petani kecil, kelompok perempuan dan anak-anak. (*/KN)