Kupang, KN – Gugatan pengalihan dua sertipikat tanah oleh kakak beradik, Yohanes Dillan Perry Man dan Cecilia Anggi Monalisa Man, terhadap paman kandung dan sejumlah pihak di Kota Kupang, NTT, memasuki sidang pertama yakni pembacaan gugatan.
“Hari ini agendanya, perkara perdata gugatan perbuatan melawan hukum yang teregister dengan Nomor Perkara: 235/Pdt.G/2025/PN Kpg di pengadilan Negeri Kupang kelas 1A. Agenda hari ini adalah pembacaan gugatan, akan tetapi ketua majelis hakim perkara yang memeriksa perkara sedang sakit, sehingga sidang ditunda ke tanggal 14 Oktober 2025,” kata Tim Kuasa Hukum Penggugat, Frangky Roberto Wiliem Djara, Selasa (30/9/2025) petang.
Frangky menjelaskan, pihak tergugat dalam perkara ini adalah Imron Supardi sebagai tergugat pertama, Bank Rakyat Indonesia Kantor Cabang Kupang sebagai tergugat kedua, dan Bank Perkonomian Rakyat (BPR) Christa Jaya, serta Kantor BPN Kota Kupang juga sebagai pihak tergugat.
“Tindakan balik nama yang dilakukan Tergugat I atas Sertipikat Hak Milik Nomor: 94/Desa Oetete tanggal 15 Maret 1986, Objek Sengketa I, dan sertipikat Hak Milik Nomor: 277/Kelurahan Oetete tanggal 23 Juni 1992, Objek Sengketa II, dilakukan tanpa sepengetahuan para penggugat tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” jelas Frangky.
Ia menyatakan, perbuatan tergugat II yang telah menerima dan menjadikan Sertipikat Hak Milik Nomor: 94/Desa Oetete tanggal 15 Maret 1986, Objek Sengketa I, dan sertipikat Hak Milik Nomor: 277/Kelurahan Oetete tanggal 23 Juni 1992, Objek Sengketa II, sebagai jaminan hutang adalah batal demi hukum.
Frangky menilai, perbuatan dan tindakan tergugat I dan tergugat II adalah perbuatan melawan hukum. Karena itu, ia meminta majelis hakim agar menghukum tergugat I dan tergugat II untuk menyerahkan kembali tanah objek sengketa I dan II kepada para penggugat dalam keadaan kosong tanpa beban, baik dari tangannya maupun dari tangan orang lain atas izinnya.
Sebelumnya, Cecilia Anggi Monalisa Man selaku ahli waris mengatakan, sebagai ahli waris dari kedua orang tuanya, dia dan kakaknya terpaksa menempuh jalur hukum, sebab dua sertifikat di atas tanah dan rumah orang tuanya sudah beralih nama menjadi milik pamannya.
“Sertifikat sudah berganti nama itu kami tahu pada malam Tanggal 6 Desember 2024 dua hari sebelum mama meninggal,” katanya.
Malam itu, menurut Anggi karena kondisinya ibunya sekarat, maka semua keluarga berkumpul di rumah mereka, termasuk pamannya yang bernama Imron.
“Pas mama sekarat dia minta telp Om Imron untuk datang malam itu Om Imron kasi tunjuk foto kopi sertifikat sudah beralih nama menjadi miliknya,” ujarnya.
Sebelumnya pada tahun 2017 Anggi mengaku sempat diminta bantuan oleh ibunya untuk membantu melunasi utang kredit di BPR Christian Jaya senilai 500 juta.
Anggi mengaku sudah berupaya semaksimal mungkin untuk mencicil utang milik sang ibu.
“Di Bali saya sudah menghadap Bank BRI saat utang di take over ke bank milik pemerintah itu. Saya sudah berupaya menghadap ke kantor utama di Renon untuk kalau bisa dialihkan ke Perumahan KPR, karena saya bisanya cicil sesuai pendapatan saya sebab rumah di Kupang sudah ditempel plank tanda lelang oleh pihak BRI,” katanya.
Tapi, usaha Anggi sia-sia sebab pihak bank tidak mengiyakan permintaannya.
Pada saat pertemuan keluarga di Kupang bersama pamannya Imron, Anggi mengaku sempat meminta semua data terkait dengan pinjaman ibunya di Bank.
“Saya dan Kaka saya minta data supaya kalau bisa biar kamu yang lanjut mencicil pembayaran utang milik mama. Tapi sejak Bulan 12 Tahun 2024 sampai sekarang Om Imron tidak pernah muncul di rumah, makanya kami ajukan gugatan di Pengadilan Negeri Kupang,” ujarnya.
Menurut Anggi, gugatan itu untuk memperjelas dua hal: Pertama adalah untuk mengetahui kenapa sertifikat tanah dan rumah milik ibunya bisa berubah nama menjadi milik pamannya Imron.
“Saya dan Kaka saya merasa tidak pernah melakukan tandatangan apapun sebagai ahli waris atas pengalihan nama sertifikat,” ujarnya.
Kedua, gugatan yang dia layangkan melalui kuasa hukumnya juga terhadap BPR Christa Jaya dan Bank BRI sebagai pihak tergugat.
“Gugatan itu agar kami tahu seberapa besar utang mama kami dan datanya bisa dibuka ke kami. Mama sudah meninggal seharusnya semua utangnya sudah dihapus tapi kok rumah peninggalan orang tua kami disita dan dilelangkan oleh Bank BRI,” tukasnya.
Yohanes Dillian Perry Man, sebagai anak sulung atau kakak dari Anggi juga menginginkan hal yang sama.
Kepada media, Perry mengaku dirinya hanya ingin mengetahui bagaiman bisa dua sertifikat atas tanah dan rumah peninggalan orang tuanya bisa beralih nama.
“Ini rumah hasil keringat papa dan mama saya. Kalau memang mereka ada utang bisa dibuka ke kamis sebagai ahli waris berapa utangnya dan bagaimana kami bisa membayar, masalahnya setiap kami ke Bank BRI selalu di suruh untuk komunikasi dengan Om Imron,” kata Perry.
Kuasa hukum Anggi dan Kakaknya Yohanes, Fransisco Bernando Bessi menambahkan, pihaknya akan berjuang keras, agar kasus ini menemui titik kebenaran.
“Pertama, mewakili klien saya menyampaikan bahwa persoalan gugatan perbuatan melawan hukum di PN Kupang terkait harta warisan orang tua tanpa sepengetahuan pihak ahli waris aset-aset itu telah dialihkan, menurut kami, itu tidak prosedural,” kata Fransisco, Rabu 24 September malam.
Ia mengatakan jika gugatan itu harus dilakukan, untuk membuktikan kebenaran.
“Kami sudah siapkan bukti bukti. Klien saya semasa hidupnya saat ibunya sakit aset-aset dialihkan tanpa sepengetahuan mereka sebagai ahli waris kami akan perjuangan kebenaran itu,” ujarnya. (*/ab)