Kupang, KN – Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak Nusa Tenggara Timur (APPA NTT), mendesak pengadilan, untuk menggelar sidang secara terbuka, kasus eks Kapolres Ngada, Fajar Widyadharma.
Desakan ini tertuang dalam salah satu poin dari tuntutan APPA NTT, pasca tersangka kasus pencabulan anak di bawah umur itu diserahkan ke Kejaksaan Negeri Kota Kupang, Selasa (10/6/2025).
Koordinator APPA NTT yang juga ketua Tim PKK NTT, Asti Laka Lena mengatakan, kasus ini menunjukkan betapa rentannya perempuan dan anak-anak di NTT dari kejahatan seksual, bahkan oleh mereka yang seharusnya melindungi warga.
“Negara harus memastikan bahwa penegakan hukum dilakukan tanpa pandang bulu, dan menggunakan pasal-pasal pidana yang berat kepada Fajar, terutama pasal dalam UU TPPO dan Kejahatan Transnasional,” tegas Asti Laka Lena, dalam pernyataan tertulisnya yang diterima media ini Selasa (10/6/2025) sore.
Dalam kasus ini, APPA NTT juga menyampaikan sejumlah poin tuntutan, berdasarkan fakta penderitaan korban, dan demi keadilan untuk kemanusiaan.
Pertama, mendukung penuh langkah Polda dan Kejati NTT dalam penanganan kasus ini secara indepnden, termasuk pelimpahan berkas yang telah dinyatakan lengkap (P21) pada 21 Mei 2025 serta penambahan pasal- pasal Pidana dalam BAP yang memberatkan pemidanaan Fajar sebagaimana tindak lanjut dari Rekomendasi Komisi III DPR RI dalam RDPU pada 22 mei 2025.
Kedua, menuntut proses peradilan yang transparan, akuntabel, dan berpihak kepada korban dengan menggunakan pasal berlapis yang memberatkan Fajar dalam Dakwaan Jaksa Penuntut Umum, antara lain : Pasal 81 ayat
(2) dan Pasal 82 ayat (1) Jo Pasal 76E UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan PERPPU No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 6 huruf c Jo Pasal 15 ayat (1) huruf g UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 45 Ayat (1) Jo Pasal 27 Ayat (1) UU No. 1 Transaksi Elektronik, serta Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 10 Jo Pasal 17 UU No. 21 Tahun 2007 tentang TPPO.
Ketiga, mendesak kejaksaan Tinggi NTT untuk melakukan perhitungan restitusi bersama LPSK RI dan memuatnya dalam nota tuntutan jaksa dan segera melakukan penyitaan aset milik Fajar untuk kepentingan sebaga jaminan untuk restitusi bagi para Korban.
Keempat, mendorong pengadilan untuk membuka akses pemantauan publik, termasuk bagi media dan organisasi masyarakat sipil, untuk memastikan tidak ada intervensi dan bentuk perlindungan pelaku.
Kelima, mendesak negara memberikan layanan pemulihan psikososial dan hukum kepada para korban dan keluarganya, serta memastikan mereka tidak mengalami tekanan dan intimidasi selama proses hukum berjalan.
Sementara itu, salah satu orang tua anak korban menyatakan, pihaknya hanya ingin tersangka dihukum seberat-beratnya, atau bila perlu hukuman mati.
“Karena pelaku sebagai seorang aparat Polisi apalagi seorang Kapolres harus jadi pelindung tapi tega merusak anak kami yang berusia 5 tahun. Dia merusak masa depan anak kami. Keluarga kami tidak menerima hal ini,” tegasnya.
Senada dengan orang tua korban, Veronika Ata, selaku pendamping korban menambahkan, keluarga korban mengalami tekanan psikis yang berat.
“Negara harus hadir tidak hanya menghukum pelaku, tetapi juga memastikan perlindungan dan pemulihan menyeluruh bagi Korban,” pungkasnya. (*)