Rayakan Hari Bumi, Keuskupan Ruteng Gelar Diskusi Budaya dan Lingkungan

Selanjutnya aksi penanaman pohon dilaksanakan di lokasi mata air di lima paroki yang hadir pada Sabtu, 23 April 2022.

Rayakan Hari Bumi, Keuskupan Ruteng Gelar Diskusi Budaya dan Lingkungan (Foto: Yhono Hande)

Labuan Bajo, KN – Dalam rangka memperingati Hari Bumi dan program Pariwisata Holistik 2022, Komisi Pariwisata dan Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Keuskupan Ruteng menyelenggarakan diskusi tentang ekologi dan aksi penanaman pohon di beberapa paroki wilayah Manggarai Barat, Kevikepan Labuan Bajo, 22 – 23 April 2022.

Hari pertama kegiatan diisi dengan diskusi kelompok terbatas di Aula Paroki Rekas, untuk mendalami makna ekologi, khususnya hutan dan mata air dalam perspektif kebudayaan Manggarai dan Laudato Si dengan narasumber Ketua Komisi Pariwisata dan Budaya Rm. Ino Sutam Pr dan Ketua Komisi JPIC Keuskupan Ruteng Rm. Marthen Jenarut PR dan peserta utusan para tua adat dan kaum muda dari Paroki Rekas, Paroki Noa, Paroki Werang dan Paroki Nunang.

Selanjutnya aksi penanaman pohon dilaksanakan di lokasi mata air di lima paroki yang hadir pada Sabtu, 23 April 2022.

“Dalam rangka hari bumi internasional dengan tema besar Invest in Our Planet, JPIC yang membidangi pastoral lingkungan hidup mengumpulkan kelompok masyarakat adat, tua-tua adat termasuk komunitas orang muda untuk membahas dan mencermati serta mengajak semua pihak mengambil sikap untuk peduli secara serius dalam mengelola isu lingkungan hidup,” kata Ketua Komisi JPIC Keuskupan Ruteng Rm Marthen Jenarut PR di Rekas, Sabtu 23 April 2022.

Lebih lanjut, Romo Marten menjelaskan tiga hal yang menjadi rekomendasi dari diskusi dan aksi penaman pohon di Rekas dan empat paroki lainnya. Pertama, masyarakat diharapkan mengubah cara pandang terhadap lingkungan hidup, khususnya hutan dan air, yaitu dari cara pandang yang melihat hutan sebagai sumber hidup kepada hutan sebagai saudara. Dengan memandang lingkungan hutan dan air sebagai saudara, ada kewajiban moral untuk memeliharanya.

Hal kedua yang muncul dalam diskusi yaitu lingkungan hidup ternyata bukan hanya urusan pemerintah. Urusan lingkungan hidup juga menjadi tanggung jawab masyarakat adat. Mereka menyiapkan sanksi-sanksi untuk pihak-pihak tertentu yang merusak hutan dan mata air. Ketiga, gerakan menanam pohon diharapkan membuat orang dipanggil dan disadarkan untuk tidak hanya mengambil hasil dari alam tetapi juga menanam, memulihkan kondisi-kondisi kritis hutan dan sumber-sumber air.

*Pariwisata yang Ramah budaya, Ramah masyarakat lokal dan Ramah Lingkungan*

Pada kesempatan yang sama Ketua Komisi Pariwisata dan Budaya Keuskupan Ruteng Rm.Ino Sutam menjelaskan keterkaitan diskusi tentang ekologi dan aksi penanaman pohon dengan pengembangan pariwisata holistik di Keuskupan Ruteng. Melalui kegiatan dua hari itu pariwisata yang sedang digalakkan dapat menjadi ramah akan budaya lokal, ramah akan masyarakat lokal dan ramah akan ekologi.

BACA JUGA:  Desa Bari di Manggarai Barat Jadi Kampung Tangguh Covid-19

Uskup Ruteng Mgr Siprianus Hormat, kata Romo Ino Sutam, telah menggagas tujuh ramah dalam pengembangan pariwisata, yaitu ramah akan martabat manusia, ramah akan budaya lokal, ramah akan masyarakat lokal, ramah akan lingkungan hidup, ramah akan agama dan etika, ramah akan keadilan sosial, kerja sama dan transparansi, ramah akan teknologi yang manusiawi dan tepat guna.

“Kegiatan diskusi ekologi dan aksi penanaman pohon terkait dengan tujuh ramah itu, terutama ramah akan budaya lokal, partisipasi masyarakat lokal dan ramah akan ekologi. Mungkin tiga hal itu yang menjadi titik yang kuat dari kegiatan kemarin dalam rangka tahun pariwisata holistik 2022,” urai Romo Ino Sutam itu

Lebih lanjut ketua Komisi Pariwisata itu menjelaskan kegiatan selama dua hari itu menyentuh tiga aspek dalam gerakan pelestarian alam lingkungan, yaitu konsep, organisasi dan aksi. Pada tingkat konseptual, diskusi mengangkat cara pandang budaya dan masyarakat setempat terhadap alam lingkungan, khususnya air dan hutan.

“Kita memunculkan beberapa hal kuat dalam budaya. Misalnya, hutan itu ine ame, yang untuk kita adalah wakil tuhan di dunia. Air itu jiwa kita. Air itu berarti manusia sendiri yang tidak terlepas dari air. Selanjutnya, bertolak dari pemikiran Fransiskus Asisi dalam Laudato Si, kita juga dalam diskusi mengangkat konsep air sebagai saudara, bagian dari ibu pertiwi yang memberi kita asupan makanan dan minuman,” urai Romo Ino Sutam.

Aspek kedua dalam gerakan pelestarian lingkungan hidup yaitu organisasi. Diskusi memunculkan peran struktur-struktur organisasi budaya dalam memajukan hidup bersama. Refleksi itu kemudian diperluas dalam rangka pembangunan dan gerakan pelestarian air dan hutan.

“Kita kemarin berbicara tentang konsep manggarai tentang telu likang pu’u yaitu Ase ka’e, anak rona, anak wina. Kita membawanya dalam konteks pembangunan pariwisata ini, ada masyarakat budaya, pemerintah dan agama atau gereja. Dengan tiga batu tungku ini kita bergerak ke depan. Tentu saja ada batu tungku lain, pat likang randang yaitu sekolah, LSM dan kelima yaitu organisasi-organisasi lain,” jelas Romo Ino Sutam.

Aksi menanam pohon menjadi aspek ketiga yang dapat dilihat sebagai level operasional dalam gerakan melestarikan lingkungan.

“Semua yang kita bahas kemarin mengenai konsep-konsep dan organisasi itu seperti akar, pohon yang tidak akan ada buahnya tanpa tindakan konkret. Karena itu, kemarin ada gagasan pembuatan aturan-aturan khusus yang menghargai lingkungan, pengelolaan sampah. Dan akhirnya hari ini kita bertindak, menanam pohon,” pungkas Romo Ino Sutam. (*)