Kisah Persalinan dari Seorang Ibu di Manggarai dan Buruknya Pelayanan Puskesmas Hingga Berujung Duka

Puskesmas Wae Codi / Foto: Yhono Hande

Ruteng, KN – Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Wae Codi di Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur dinilai sangat tidak manusiawi dan amburadul dalam melayani masyarakat.

Maria Anita Ngawu (23) dan suaminya Afrianus Jemarut harus rela kehilangan bayi mereka, karena tidak mendapakan pelayanan maksimal dari petugas medis Puskesmas Wae Codi.

Salah satu keluarga Maria Anita Ngawu, berinisial RU mengisahkan, pada Jumat 9 Juli 2021 sekira pukul 11:45 Wita, mereka menghantar Maria Anita ke Puskesmas Wae Codi untuk mendapatkan bantuan persalinan dari pihak medis.

Tiba di Puskesmas Wae Codi, Maria Anita langsung dibawa ke ruang persalinan untuk ditangani tim medis. Namun, Anita terus menjerit kesakitan, karena ia baru pertama kali menjalani proses persalinan.

“Ini pertama kali dia merasakan proses persalinan. Meski separuh kepala bayi sudah diluar, Anita terus menjerit, karena belum berpengalaman,” ujar RU kepada wartawan, Minggu 11 Juli 2021.

Melihat kondisi fisik Anita yang semakin lemah, petugas medis menyarankan agar Anita segera di rujuk ke RSUD Ruteng untuk mendapatkan pertolongan, karena RSUD Ruteng memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap.

“Karena di Puskesmas Wae Codi masih keterbatasan peralatan medis dan obat-obatan. Sedangkan RS Ruteng diyakini mendapat pelayanan yang lebih maksimal,” jelas RU menirukan pernyataan salah satu petugas.

Mirisnya, petugas medis meminta bayaran sebesar Rp300.000 kepada keluarga pasien sebagai biaya transportasi untuk merujuk pasien ke RSUD Ruteng, menggunakan mobil Ambulance milik Puskesmas.

“Mereka bahkan mengancam, jika tidak mau bayar atau menggunakan mobil dan sopir lain, maka keluarga urus sendiri pasiennya, tanpa pendampingan tenaga medis,” ungkapnya.

Ru menuturkan, pihak keluarga langsung menyetujui pertmintaan tersebut karena mengingat kondisi Anita yang semakin parah. Namun, keluarga disuruh untuk memanggil supir Ambulance di kediamannya, karena tidak berkantor tanpa alasan yang jelas.

“Atas saran petugas, keluarga langsung mendatangi rumah sopir Ambulance yang beralamat di Podor, Desa Timbu. Setelah berulangkali mengetok pintu, ternyata tidak ada jawaban dari dalam rumah, dan akhirnya mereka kembali ke Puskesmas,” terangnya.

Mengetahui informasi tersebut, petugas medis langsung menyarankan keluarga pasien segera mencari kendaraan lain untuk digunakan merujuk pasien ke RSUD Ruteng, karena kondisi pasien semakin kritis.

Usai mendapatkan kendaraan yang bersedia menjemput dan menghantar pasien, petugas medis malah menyuruh keluarga untuk membatalkan kendaraan tersebut dan harus menggunakan mobil Ambulance milik Puskesmas.

BACA JUGA:  Mantan Bupati Manggarai Tutup Usia, Ini Kata Orang-orang Dekatnya

“Saat itu keluarga ngamuk. Tetapi petugas langsung mngancam keluarga pasien, kalau tidak mau pake Ambulance maka urus sendiri pasien dan antar sendiri ke mana saja mereka suka,” kata RU.

Dia menjelaskan, ternyata petugas medis telah menemukan sopir Ambulance, dan siap menghantar pasien ke RSUD Ruteng. Tetapi keluarga pasien wajib membayar uang bensin dan uang rokok sebesar Rp.300 ribu.

“Sebenarnya keluarga menolak karena mobil Ambulance dan sopir merupakan bagian dari petugas Puskesmas. Kenapa harus dibayar lagi,” ucap RU dengan nada kesal.

Mengingat kondisi pasien semakin parah, pihak keluarga kemudian mengindahkan permintaan petugas Puskesmas untuk membayar uang sebesar Rp300.000 sebagai biaya transportasi.

“Maria Anita menunggu terlalu lama, sejak pukul 13:00-17:00 Wita dengan kondisi bayi menggantung, dan ibunya yang terus mengerang kesakitan,” ucap RU.

Dia menjelaskan, tiba di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ruteng, pasien langsung mendapatkan perawatan medis. Para dokter kemudian berupaya keras untuk menyelamatkan nyawa calon bayi dari Maria dan Afrianus.

Namun, Tuhan berkehendak lain. Minggu 10 Juli 2021, Anita dan Afrianus, serta keluarga harus menerima kenyataan pahit, karena nyawa bayi malang itu tak dapat diselamatkan dokter.

Peristiwa duka tersebut tentu tidak lepas dari ulah petugas medis di Puskesmas Wae Codi yang tidak manusiawi, karena telah menelantarkan pasien dan bayinya hingga berjam-jam lamanya, demi mendapatkan uang Rp300.000 dari keluarga pasien.

“Andai saja kemarin mamanya cepat diantar ke RS mungkin tidak seperti ini. Andai sopirnya masuk kantor, mungkin bayi kecil itu selamat,” kata RU.

Meski demikian, pihak keluarga telah iklas menerima peristiwa tersebut sebagai kehendak Tuhan. “Karena malaikat kecil itu hanya datang menunjukan wujud dan kembali ke surga. Itu merupakan takdir,” ungkapnya.

Dia menambahkan, keluarga sangat menyayangkan prilaku petugas medis Puskesmas Wae Codi dan sopir Ambulance yang tidak berada di tempat, padahal masih jam kantor.

“Apakah semua pasien harus mengalami hal seperti ini, terus kenapa sopir itu harus dibayar. Terlalu banyak pertanyaan yang hendak kami ajukan. Ini adalah kisah pilu pelayanan kesehatan di Manggarai. Semoga pemerintah cepat bertindak. Jangan sampai hal seperti ini terus terjadi,” imbuhnya. (*)