Opini  

Gempa Bumi dan Keandalan Bangunan

Oleh: Paul J. Andjelicus Perencana Madya Bidang Spasial Dinas Parekraf  Provinsi NTT Anggota Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Provinsi  NTT.

Paul J. Andjelicus

Posisi Indonesia berada di zona rawan bencana gempa bumi. Pada  2022, menurut  Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB),  tercatat 28 gempa bumi yang menyebabkan korban jiwa terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Gempa Bumi Cianjur pada  21 November 2022 menjadi salah satu yang terbesar dengan skala guncangan 5,6 Magnitudo. Getaran gempa terasa  sampai ke wilayah Jabodetabek dan Bandung. 169 desa mengalami dampak dari gempa  dan 56.548 rumah dinyatakan rusak dengan 13.633 diantaranya dinyatakan rusak berat. Korban meninggal diperkirakan sekitar 600 orang.

Nusa Tenggara Timur pun masuk dalam zona gempa bumi. Menurut laporan BMKG Stasiun Geofisika Kupang, sepanjang tahun 2022 saja terjadi sekitar 3982 getaran gempa dan 51 diantaranya dirasakan masyarakat. Sebagian besar gempa didominasi gempa bumi skala kecil atau kekuatan di bawah 4 Magnitudo. Gempa terbesar terjadi pada 27 Mei 2022 lalu dengan kekuatan 6,5 Magnitudo dan pusat gempa berada di Laut Timor pada kedalaman 104 kilometer. Getarannya cukup terasa di Kupang.

Hal ini menggambarkan pada kita untuk tetap waspada dan membangun kesiapsiagaan menghadapi bahaya gempa bumi yang dapat terjadi kapan saja. Hal ini senada dengan pernyatan Kepala BMKG Prof.Ir. Dwikorita Karnawati, M.Sc., Ph.D tahun 2022 lalu, yang menyatakan  bahwa Provinsi NTT perlu mewaspadai potensi bencana gempa bumi dan tsunami.  NTT dikepung oleh  sumber gempa potensial yakni Sesar Naik Busur Belakang (back arc thrust) di Utara Kepulauan Flores dan Segmen Megathrust Sumba yang meliputi Selatan NTT.  Beliau mengharapkan pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota  segera melakukan langkah-langkah kesiapsiagaan dan mitigasi guna memastikan pengurangan risiko bencana menuju zero victim.

Himbauan Kepala BMKG ini perlu ditanggapi serius. Langkah kesiapsiagaan harus  terus dibangun dan dibina. Bukan hanya tanggung jawab BMKG saja tapi semua elemen masyarakat. Kesadaran masyarakat kita untuk kesiapsiagaan terhadap bencana memang belum sebaik di Jepang. Namun paling tidak kejadian salah satu anggota DPR RI yang menertawakan tindakan Kepala BMKG melakukan  prosedur tanggap darurat (saat terjadi gempa bumi)  pada  rapat dengan DPR beberapa waktu lalu, bukan menjadi representasi tingkat kesadaran masyarakat kita terhadap kesiapsiagaan menghadapi bencana (gempa bumi).

Dari pengalaman yang ada,  yang mengakibatkan jatuhnya korban baik meninggal maupun luka pada peristiwa gempa bumi, bukan karena goyangan gempanya. Namun lebih banyak disebabkan material bangunan gedung yang jatuh atau roboh akibat goyangan gempa bumi tersebut  menimpa pengguna bangunan.  Salah satu upaya untuk mengurangi resiko korban gempa bumi adalah menyiapkan bangunan gedung  yang tahan terhadap gempa.

BACA JUGA:  Kasus PT MMI Ruteng, Jaksa Panggil Heri Ngabut Minta Sejumlah Dokumen

Keandalan  Bangunan

Menyiapkan bangunan gedung yang tahan gempa sudah ada aturan teknisnya. Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung mengamanatkan  setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan teknis meliputi syarat tata bangunan dan keandalan bangunan. Yang dimaksud dengan keandalan bangunan gedung adalah keadaan bangunan gedung yang memenuhi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung sesuai dengan kebutuhan fungsi yang telah ditetapkan. Poin yang terkait dengan urusan bangunan gedung yang tahan gempa bumi adalah bangunan gedung memenuhi syarat keselamatan yaitu  kemampuan bangunan gedung untuk mendukung beban muatan. Standar bangunan gedung yang dapat mendukung beban muatan adalah struktur yang stabil dan kokoh hingga pembebanan maksimum termasuk adanya beban akibat gempa bumi. Tujuannya agar ketika terjadi reruntuhan gedung,  orang yang berada dalam bangunan gedung masih bisa dan punya waktu untuk menyelamatkan diri. Ini merupakan filosofi dasar struktur bangunan gedung tahan gempa.

Bangunan gedung  tahan gempa tidak berarti  mampu tahan terhadap gempa bumi, tetap stabil dan kokoh berdiri. Namun bangunan gedung yang masih mampu bertahan terhadap gempa bumi pada skala perhitungan tertentu dan memberikan waktu minimal  beberapa  menit  atau jam agar penghuni menyelamatkan diri. Intinya bangunan gedung tidak langsung ambruk, roboh dan menimpa penghuni yang menyebabkan korban jiwa pada saat terjadi gempa bumi. Untuk itu diperlukan  struktur bangunan yang baik yang memenuhi aspek keandalan bangunan yang dimaksud.

Pertanyan selanjutnya, banyak gedung sudah dibangun apakah memenuhi kriteria keandalan bangunan? Ini menjadi tantangan kita bersama untuk mewujudkan bangunan gedung yang  memenuhi syarat keandalan bangunan dan  mewadahi berbagai aktivitas keseharian kita dengan baik.  Mulai dari aspek perencanaan, pembangunan dan pemanfaatan /pemeliharaan bangunan. Kesadaran akan bahaya gempa bumi dan  bahaya alam lainya terkait dengan bangunan gedung  perlu ditanamkan sejak awal sehingga membangun bangunan gedung untuk berbagai fungsi seperti  rumah tinggal, kantor, sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, rekreasi  dan lainnya  sudah wajib untuk memenuhi aspek bangunan tahan gempa.

Berikutnya Aspek-aspek