Opini  

Menyoal Polemik Pergub NTT dan Nasib Petani Rumput Laut

Atha Nursasi (Peneliti Anti korupsi dan Kebijakan Publik, di Malang Raya)

Atha Nursasi (Peneliti Anti korupsi dan Kebijakan Publik, di Malang Raya)

Rumput laut menjadi salah satu sumber pendapatan utama bagi masyarakat Baranusa, kabupaten Alor selain ikan dan kekayaan laut lainnya. selain karena proses budi dayanya yang tidak rumit dan tidak perlu keterampilan khusus, cukup telaten saja, ia juga menjanjikan karena menjadi salah satu komoditas laut yang laris di pasar dunia. sebagai bahan baku untuk produksi komoditas lainnya seperti tepung/terigu, make-up kecantikan, dst, sudah tentu memikat para investor. masyarakat Baranusa tidak memiliki pengetahuan sejauh itu, apalagi memaksakan diri untuk mempelajari segala hal tentangnya, buang-buang waktu. Bagi mereka, menyediakan tali, mengenyam, mengumpulkan patok, memasang bibit dan bergotong royong melepaskan di area budidaya secara bersama adalah pekerjaan paling asik nan seru, apalagi hasilnya yang begitu menjanjikan.

Meski belum pernah menyaksikan langsung, tetapi cerita mereka tentang hasil panen yang begitu menguntungkan membuat saya menelan ludah, sangat tergiur, ingin rasanya segera pulang dan membangun hidup penuh arti plus menguntungkan itu. Maret-april 2022 adalah bulan keberuntungan hampir bagi seluruh masyarakat Baranusa, semua orang menikmati hasil panen mereka. Bahkan beberapa kali anak-anak mudah (lulusan SMS, ada juga yang masih SMA) berkisah, di bulan-bulan itu, untuk memperoleh uang 1-5 juta tanpa meminta kepada orang tua, mereka cukup ikut memungut patahan rumput laut, menjemur lalu menjualnya saja, sudah bisa ajak pacarnya makan, belanja dan bersenang-senang tanpa membebani orang tua mereka. mendengar kisah mereka, magnet untuk pulang semakin kuat rasanya.

Meski begitu, mereka tak menyombongkan diri layaknya pejabat berdasi, berpenampilan necis, serakah nan korup. mereka tetap rendah hati dan saling berbagi seperti sedia kala. nelayan adalah masyarakat kolektif penuh kekeluargaan. Ada yang menabung untuk biaya pendidikan anaknya, membangun rumah, membeli perabotan rumah, juga kendaraan untuk keperluan mereka. Tentu mereka bukan pebisnis “serakah” yang rajin mengi-nvestasikan uang mereka untuk lebih kaya, seluruh pendapatan dari hasil panen rumput laut mereka gunakan untuk keperluan hidup dan menghidupi.

bayangkan, begitu bahagianya masyarakat nelayan-sekaligus petani rumput laut di Baranusa, kabupaten Alor. Mereka dapat memenuhi kebutuhan dasar hingga kebutuhan lainnya tanpa perlu diatur dengan kebijakan, sekalipun mereka juga paham kebijakan itu baik untuk kehidupan sosial mereka, mengatur hal yang perlu dan tidak, sebagai peta jalan untuk keberlanjutan hidup sosial bernegara, hari ini dan nanti. Tetapi seberapa pentingnya sebuah kebijakan kala mereka paham dan dengan sadar mengatur, mengelola, memanfaatkan sumberdaya alam yang ada? toh, bertahun-tahun beraktifitas di Pulau Batang, mereka juga aktif menjaga ekosistem laut dari segala kemungkinan yang mengancamnya, tentu dengan cara mereka sendiri.

Menyoal Pergub

Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Januari 2022 lalu meneken Peraturan Nonor 39 Tahun 2022 Tentang Tata Niaga Komoditas Perikanan. secara ruang lingkup, Pergub ini mengatur hal-hal yang merupakan bagian dari sistem dan tentang tata niaga perikanan, dari bentuk komoditas, pendistribusian, stabilitas pasokan bahan baku dan harga dasar hingga pembiayaan dan sanksi administrasi, (pasal 4). dalam hal komoditas yang diatur, pasal 5 pergub ini menyebut komoditas perikanan yang didistribusikan diantaranya: Komoditas hidup, Komoditas segar, Komoditas beku, dan Komoditas hasil olahan.

Rumput laut merupakan satu diantara beberapa komoditas olahan sebagaimana diatur dalam pasal 9, bahwa komoditas hasil olahan lainnya sebagaimana dimaksud pada pasal 5 huruf d) yang menjadi prioritas untuk diperdagangkan salah satunya adalah olahan rumput laut. secara prinsip, kebijakan ini memberi kepastian hukum dalam urusan tata niaga, tetapi secara sosial ekonomi, utamanya bagi petani dan penimbang lokal, kehadiran regulasi ini cukup problematis dan mengancam. selain karena proses pembuatan kebijakan yang tidak transparan dan partisipatif, beberapa ketentuan yang dianggap merugikan mereka adalah ketentuan mengenai harga standar harga Rumput laut per/kg dan mekanisme distribusi. dua aspek ini, bagi petani maupun penimbang lokal sangat mengancam sirkulasi ekonomi mereka.

Bagi penimbang, kehadiran Pergub ini cukup mengancam, pasalnya aktivitas mereka sejauh ini di lokasi budidaya rumput laut hanya berbasis kesepakatan dan saling percaya, juga diketahui oleh pemerintah setempat. Meski begitu, mereka tetap membayar retribusi kepada pemerintah setempat sebagai keharusan dari aktivitas penimbangan mereka. Selain itu, Ketentuan dalam Pergub tersebut juga mengatur pembatas ekspor keluar dari wilayah administrasi provinsi NTT. Artinya sekalipun para penimbang memaksa untuk tetap membeli rumput laut dari petani, namun untuk memasok ke perusahaan yang memodalinya sulit dilakukan. sebab, pemerintah melakukan kontrol ketat terhadap ekpor, tidak saja pada aspek administrasi-perizinan, tetapi kebijakan ekspor untuk pasar komoditas rumput laut terkesan monopolitistik. Semua komoditas rumput laut hanya diperbolehkan untuk dijual ke perusahaan yang telah ditetapkan oleh Pemprov, diluar dari itu, adalah dilarang.

BACA JUGA:  Masih Adakah Harapan Bagi Dunia di Tengah Ancaman Krisis Global: Sebuah Refleksi Akhir Tahun

Pada saat bersamaan, ketika para penimbang lokal tak lagi beroperasi, petani mulai merasakan sejumlah dampaknya. salah satu yang pasti adalah petani tidak bisa lagi menjual komoditasnya secara cepat dan mudah, terlebih dalam kondisi mendesak seperti kebutuhan biaya kuliah anak, atau kebutuhan mendesak lainnya. Apalagi setelah Pergub diberlakukan, hingga kini pihak perusahaan, atau mitra yang bekerja sama dengan perusahaan daerah tidak segera hadir ditengah petani rumput laut di Baranusa. Naasnya, harga komoditas per kg pun diturunkan dari sebelumnya, semakin membuat petani murung.

Harga Menurun, Petani Murung

Pasal 13, ayat 2 Pergub Nomor 39 Tahun 2022 Tentang Tana Niaga Komoditas Perikanan menjelaskan bahwa “harga dasar komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengacu pada harga pasaran setempat”, diperjelas pada ayat 3 bahwa “ketentuan mengenai perhitungan harga pasaran setempat sebagaimana dimaksud ayat 2 ditetapkan dengan keputusan Kepala Dinas sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan”. meskipun klausul ini tidak secara jelas dan tegas mengatur harga standar untuk komoditas rumput laut, baik batas maksimal maupun minimal, tetapi ketentuan ini telah menjadi dasar bagi Pemerintah Provinsi NTT melalui dinas Kelautan dan perikanan untuk menetapkan ambang batas standar komoditas rumput laut.

Seperti diwartakan oleh beberapa media lokal bahwa, mula-mula, rencana penetapan harga berdasarkan surat ketetapan harga oleh dinas kelautan dan perikanan per 1 Agustus adalah 30.000 per/kg untuk rumput laut kering, dan 3000 untuk basah. Tetapi rencana tersebut berubah ketika pada 1 September 2022, pemerintah melalui kepala Dinas Kelautan dan Perikanan kembali mengeluarkan surat penetapan harga yang menyebut harga untuk 1kg Rumput laut kering adalah 28.000 dan 2.800 per/kg untuk yang basah. harga inipun mendapat protes dari sejumlah petani, tidak hanya di baranusa, kabupaten Alor, tetapi juga dari petani rumput laut Sulamu.

Seperti halnya Masyarakt Sulamu, Petani Rumput Laut di Baranusa juga menilai bahwa harga yang ditetapkan jauh lebih rendah ketimbang biasanya. rata-rata mereka menjual komoditas kering kepada distributor dengan harga 30-38 Ribu/Kg. penetapan harga 28.000/Kg selain merugikan, juga mengindikasikan pemerintah melalui dinas kelautan dan perikanan inkonsisten terhadap pasal 13 ayat 2 dan tiga Pergub nomor 39 Tahun 2022. dimana ketentuan tersebut memerintahak penentuan harga mengacu pada harga pasaran yang berlaku, artinya, baik di Baranusa dan Sulamu, seharusnya harga per Kg rumput laut kering minimal adalah 35.000, bahkan jika tujuan kebijakan tersebut untuk kesejahteraan masyarakat seharunya tetap pada angka 38.000. Bukan sebaliknya.

Kembali Pada Kebijakan Partisipatif

Pada akhirnya kita menyadari, sebuah kebijakan layaknya pisau bermata dua. pada satu sisi ia menjadi panduan hidup bagi masyarakat, dilain sisi ia dapat menjerumuskan masyarakat kecil dalam kubangan penderitaan. apa yang sedang kita bahas, dan yang sedang dialami masyarakat petani rumput laut di Baranusa, Kabupaten Alor adalah potret dari sisi kelam kebijakan pemerintah Provinsi NTT.

Meski begitu, bukan berarti tak ada jalan lain untuk kembali memperbaiki. justru pemerintahan yang baik adalah mengakui kesalahan dan memperbaikinya. bagi penulis Beberapa hal penting yang dapat dilakukan sebagai upaya korektif atas kebijakan tersebut adalah, pertama Pemerintah Provinsi NTT mesti menunda implementasi Pergub Nomor 39 Tahun 2022, dan melakukan evaluasi mendasar, baik terhadap proses pembentukan (secara formil) maupun terhadap isi Pergub (materil) dengan melibatkan partisipasi bermakna dari kelompok kepentingan, masyarakat, masyarakat sipil, petani rumput laut dan nelayan secara keseluruhan. kedua, Mereformulasi Pergub secara memadai dan berkeadilan dengan mendasarkan kajian pada kondisi ril, hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat petani rumput laut maupun nelayan secara umum, tata kelola, serta peran serta masyarakat secara bermakna, dari pengelolaan hingga evaluasi.

Sebab, Pergub tersebut hanya mengatur kewajiban masyarakat menyampaikan laporan dan ikut mempromosikan komoditas. ketentuan ini sama sekali tidak memberi kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat dalam urusan tata kelola, juga dalam aspek kontrol terhadap management alokasi, distribusi dan redistribusi komoditas laut yang ada. terakhir, kebijakan yang baik adalah kebijakan yang prosesnya menghormati hak konstitusional rakyat. dalam konteks ini, partisipasi bermakna (Miningfull partisipation): Hak untuk didengarkan pendapatnya (right to befuord); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right be cunsideredl) ; dan ketiga, hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) wajib ditegakkan.
(*)