Ruteng, KN – Desa Goloworok, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT merupakan salah satu kampung penghasil Kopi dan Cengkeh.
Lebih dari 80% lahan yang mereka miliki ditanami Kopi dan Cengkeh. Karena letak geografisnya berada di dataran yang lebih tinggi, Kopi dan Cengkeh menjadi jenis tanaman perdagangan yang cocok untuk para petani.
Namun, beberapa tahun terakhir petani-petani di Goloworok mengalami kesulitan, lantaran perubahan iklim telah berdampak pada berkurangnya hasil panen petani.
“Selama lima tahun terakhir, kami mengalami berkurangnya hasil panen Kopi dan Cengkeh. Sebelumnya hasil panen kami itu cukup berlimpah tapi selama lima tahun terakhir mengalami kekurangan yang cukup signifikan. Bahkan sampai kami mengalami kewalahan dalam memenuhi kebutuhan kami karena hasil panen tak menentu,” kata Benyamin Gadut, salah seorang petani di Goloworok belum lama ini.
Hingga saat ini, petani-petani di Goloworok masih mengikuti system pertanian tradisional, sehingga sangat tergantung pada alam.
Mereka belum siap dengan perubahan iklim yang terjadi di semua belahan dunia termasuk di Goloworok. Mereka sudah terbiasa dengan siklus pertumbuhan kopi dan proses pembuahannya.
Petani Kopi di Goloworok Lazarus Jhon menjelaskan, fenomena perubahan iklim yang terjadi telah berpengaruh pada hasil panen selama ini.
“Dulu kalau ranting kopi udah berbunga putih, biasanya tidak turun hujan. Tapi akhir-akhir ini terjadi perubahan yang ekstrim. Justru ketika ranting kopi udah berbunga putih, hujan lebat turun. Ketika itu terjadi, kita akan tahu kalau hasil panen pasti kurang,” kata Lazarus.
Petani kadang kesal dengan fenomena alam yang tak menentu ini karena telah berdampak pada kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup di keluarganya.
Petani-petani juga berpikir untuk menanam bibit lain selain kopi dan cengkeh demi mendapatkan sumber pemasukan lain. Itupun belum tentu berhasil.
Ignaz Sarang, salah seorang pemuda yang bergabung dengan Ayo Indonesia, mengatakan Perubahan Iklim ini telah menjadi masalah global tak terkecuali untuk petani di Goloworok.
Di samping itu, masyarakat berupaya untuk menyadarkan masyarakat akan dampak perubahan iklim dan mengajak mereka untuk menanam pohon.
“Berharap pemerintah akan menyediakan bibit pohon untuk ditanamkan di lahan yang kosong. Penghijauan Kembali adalah sesuatu yang necessary untuk dilakukan saat ini,” ungkap Ignas
Survei Yayasan Ayo Indonesia
Beberapa bulan yang lalu, team Ayo Indonesia melakukan survey kecil seputar Persepsi masyarakat terkait perubahan suhu. Jawabannya cukup beragam.
Sebanyak 55% masyarakat menyatakan adanya peningkatan suhu menjadi lebih panas, sebanyak 40% masyarakat menyatakan penurunan suhu menjadi lebih dingin, dan 5% masyarakat menyatakan tidak ada perubahan.
Kenaikan suhu cukup berpengaruh pada tanaman alternatif selain kopi dan cengkeh yang menjadi komoditas utama masyarakat Goloworok. Suhu yang tinggi dan kurangnya debit air mempersulit masyarakat dalam penanaman padi, sayur-sayuran atau jenis bibit pertanian lainnya.
Beberapa tahun lalu, Goloworok dikelilingi hutan yang luas. Masyarakat masih menjaga hutan dengan baik. Mereka hanya melakukan tebang pilih untuk kebutuhan pembangunan rumah dan kayu api. 20 tahun terakhir terjadi perambahan hutan besar-besaran.
Beberapa desa di sekitar hutan dekat Goloworok melakukan perambahan hutan untuk dijadikan ladang pertanian. Mereka menebang pohon-pohon untuk digantikan dengan tanaman perdagangan seperti kopi dan cengkeh.
Itu cukup berpengaruh pada ekosistem hutan dan yang kemudian menyebabkan perubahan iklim di Goloworok. Ini sungguh terasa beberapa tahun terakhir.
Menghadapi perubahan iklim yang ekstrim ini, ada beberapa upaya yang dilakukan oleh beberapa petani dan beberapa anak muda yang punya concern untuk perubahan iklim. (*)