Opini  

Wae Rebo, Dari Determinasi ke Konservasi

Oleh: Bernardus Tube Beding (Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng)

Bernardus Tube Beding

Oleh: Bernardus Tube Beding
Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng

Wae Rebo, kampung wisata. Tentu, tidak sedikit orang sudah mengenal kampung yang menyimpan tujuh puluh kali tujuh kali nilai budaya dan tradisi ini. Saya pribadi sudah menapak negeri di atas awan ini. Bahkan, memeluknya semalam bersama cerita-cerita sejarah dari para penghuni.

Kampung Wae Rebo masuk dalam Warisan Budaya Dunia melalui penghargaan Top Award of Excellence dari UNESCO dalam UNESCO Asia Pacific Heritage Awards 2012. Wae Rebo juga masuk dalam Nominasi UNWTO sebagai desa terbaik dunia. Sementara tingkat nasional, Wae Rebo terpilih sebagai juara I pada kategori Daya Tarik Wisata Alam, Budaya, dan Buatan dalam ajang Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021. Hal ini membuat pemerintah telah mendeterminasikan Wae Rebo sebagai destinasi pariwisatan level nasional. Bahkan intenasional berdasarkan “keunikan” dan daya tarik.

Keberadaan sektor pariwisata sangat signifikan. Secara global, pariwisata diproyerksikan memberi pertumbuhan ekonomi dunia. Sementara secara nasional, pariwisata meyumbang devisa terbesar. Demikian halnya kampung pariwisata, Wae Rebo. Wae Rebo diyakini memberi dampak positif bagi pembangunan daerah. Peningkatan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar Wae Rebo pun mengalami dampaknya.

Pemerintah menggaungkan optimisme. Berbagai lapisan masyarakat memberikan antusiasme. Ini semua karena pengakuan koletif: Wae Rebo, kampung adat sebagai tempat pariwisata luar biasa. Ini semua karena keunikan warisan leluhur. Lebih dari itu, keistimewaan peradaban masyarakat yang tinggal dan menyatu dengan alam. Karena itu, pengelolaan harus baik dan benar, sekaligus dimanfaatkan untuk tujuan pembangunan kesejahteraan. Jika dikelola dengan tepat dan holistis, pariwisata Wae Rebo akan berdampak positif luas karena berdasar pada sumber daya historis, alam, dan berbasis pada masyarakat, serta budaya luhur.

Baik kalau determinasi pemerintah didukung dengan eksekusi konversi. Restorasi daya dukung kawasan dan keaslian pola hidup menjadi pertama dan utama. Pemberhentian aktivitas ekonomis dan nirekonomis yang telah mengakibatkan degradasi dan kerusakan lingkungan. Pola hidup “asli” perlu kembalikan untuk menjaga warisan leluhur dan nilai kultur. Wajah pemukiman dan penggunaan peralatan “modern” merupakan “bercak” yang menghiasi bersihnya nilai kehidupan warisan leluhur. Aktivitas masyarakat mengikuti perkembangan zaman dapat dinilai merusak; bukan hanya keindahan, melainkan juga daya hidup dan daya dukung kawasan.

Pemertahanan

Pemertahanan kawasan hutan lindung di Wae Rebo dan sekitarnya pun perlu mendapat perhatian. Kawasan ini menjadi sumber pasokan air. Perlindungan hutan sebagai wujud pengembalian keindahan serta pemulihan daya dukung alam untuk sebuah industri ekoturisme. Jika ini berhasil, maka tampak keunggulan paradigma pembangunan berbasis alam dan bukan paradigma yang merusak alam melalui kegiatan ekstraktif dan eksploitatif, seperti pertambangan atau perkebunan modern.

Dalam konteks ekoturisme, kegiatan restorasi perlu didampingi dengan pemetaan kawasan untuk fungsi tertentu, tanpa menghilangkan “roh” hutan lindung. Dalam hal ini konversi lahan menjadi dominan. Ini harus diwaspadai karena kerap menimbulkan kontroversi. Secara indikatif konversi ini bisa mencakup pengalihan fungsi, perluasan manfaat, sekaligus pemaknaan ulang terhadap alam dan lingkungan hidup Wae rebo dan sekitarnya.

Pengalihan fungsi terjadi pada lahan atau area yang tidak ekonomis. Perlu menghindari pengalihan lahan/kawasan yang potensial untuk pertanian atau pengalihan kawasan yang memiliki situs historis, kebudayaan, atau bermakna sakral dan religious. Lereng bukti yang sangat terjal, tandus, dan rawan longsor dapat dialihfungsikan jadi kawasan berpotensi edukatif dan rekreatif. Rekayasa sains dan teknologi amat membantu konversi semacam ini.

BACA JUGA:  Jangan Salah Menilai Kedatangan Presiden Jokowi di Nian Sikka

Konversi yang merupakan upaya peningkatan manfaat tampaknya tak terlalu sensitif. Sebagai ilustrasi, jika selama ini kawasan Wae Rebo dan sekitarnya hanya sekadar tempat tinggal bagi penduduk setempat, melalui pariwisata daerah itu menjadi tempat tujuan banyak orang mendapat pelajaran dan pengetahuan. Kampung adat yang memiliki estetika rumah adat perlu dipertahankan menjadi obyek wisata tempat siapa saja belajar dan mengalaminya. Jika Wae Rebo yang selama ini diduga sebagai wadah untuk mencari keuntungan ekonomis dengan keluar dari hakikat pola historis dapat kembalikan menjadi sarana edukasi historis dan budaya Manggarai. Artinya, Wae Rebo harus menjadi tempat orang belajar budaya, sejarah, dan keaslian pola hidup leluhur.

Satu sisi, perlu dicermati sungguh-sungguh bahwa jika terjadi pengalihan dan perluasan fungsi lahan di daerah Wae Rebo dan sekitarnya sangat rentan terhadap terjadinya kemungkinan tuduhan praktik perampasan, penyerobotan lahan, atau bahkan penggusuran penduduk. Tentu, ini akan memicu perdebatan, pertikaian, bahkan tindak kekerasan. Kita tahu dan tak bisa dimungkiri bahwa dalam banyak kasus, klaim atas kepemilikan lahan/tanah baik secara legal maupun kultural tidak selalu mudah dikompromikan dan berakhir dengan solusi-solusi yang beradab. Banyak kasus kepemilikan lahan berlabel “warisan”. Yah, semoga Wae Rebo dan sekitarnya aman dari hal-hal tersebut.

Estetika dan keunikan Wae Rebo tak dapat dipisahkan dari masyarakat setempat. Ini termasuk seluruh aspek kebudayaan yang dimilikinya. Sehingga tepat pariwisata Wae Rebo merupakan wisata historis, wisata kultural, wisata spiritual, juga wisata alam. Ada satu kesatuan dari alam, masyarakat, dan budaya setempat. Karena itu, seluruh unsur kebudayaan harus dijaga dan dirawat. Ini meliputi system pengetahuan dan kepercayaan, system ekonomi dan pola hidup, serta tatanan sosial kemasyarakatan yang, sekali lagi, menyatu dengan lingkungan alamnya (tanah dan budaya).

Pemerintah dan seluruh pihak yang terkait dengan pembangunan wisata budaya tak boleh mengabaikan kekhawatiran/ketakutan sebagian masyarakat bahwa pariwisata justru akan menggusur masyarakat dari tanah kelahirannya, bahkan dapat mencabut mereka dari akar budaya dan sistem kepercayaan yang diwarisi dari nenek moyangnya selama berabad-abad.

Fakta “ikut trand” menjadi kekhawatiran tersendiri. Apalagi dikemas dengan berbagai argumentasi akademis bahkan ideologis, kekhawatiran semacam itu dapat berubah menjadi penolakan. Akibatnya, keputusan pemerintah hanya sekadar keputusan tanpa implementasi.

Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah pusat ataupun jajaran kabupaten, kecamatan, dan desa perlu segera mengambil langkah antisipatif. Sosialisasi kebijakan pembangunan pariwisata perlu dilakukan sejak dini, terstruktur, dan berkelanjutan. Lebih jauh, melibatkan komponen masyarakat, seperti sekolah, lembaga keagamaan, dan asosiasi adat. Masyarakat perlu dipersiapkan. Berbagai ragam organisasi masyarakat sipil lain dapat disertakan dalam edukasi ini.

Kombinasi aparat pemerintahan (hingga desa), tokoh adat atau marga, dan unsur masyarakat sipil lain dapat jadi critical mass yang mengusung semangat pembangunan dan konservasi. Semuanya membawa pesan sama bahwa pembangunan pariwisata Wae Rebo tak akan menghilangkan nilai historis, budaya, dan pola hidup.

Tujuan sosialisasi dan edukasi adalah mendapatkan pengertian dan dukungan dari masyarakat bahwa pembangunan Wae Rebo melalui jalan pariwisata justru dimaksudkan menjaga alam dan merawat budaya leluhur sembari memberi manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Dengan edukasi yang baik, masyarakat akan ambil bagian, jadi pelaku utama, dan penerima utama industri jasa pariwisata. Yah, mudah-mudahan.
(*)

IKUTI BERITA TERBARU KORANNTT.COM di GOOGLE NEWS