Kupang, KN – Secara global telah diakui bahwa perempuan termasuk kelompok rentan yang paling terdampak oleh perubahan iklim, namun di sisi lain perempuan juga memegang peranan kunci dalam aksi mitigasi dan adaprasi dampak krisis tersebut.
Oleh karena itu peningkatan peran dan kapasitas perempuan dalam merespon perubahan iklim menjadi sangat penting, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, di mana frekuensi bencana hidrometeorologis cukup tinggi.
Data 60 tahun terakhir mencatat NTT sudah mengalami kirang lebih 652 kejadian bencana, 75% di antaranya adalah bencana hidrometeorologis, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla), angin topan, gelombang esktrim, dan sebagainya.
Untuk menyebarluaskan informasi tentang pentingnya penguatan peran perempuan dalam pembangunan berketahanan iklim dan menggali lebih jauh penguatan peraturan/kebijakan pemerintah daerah peka gender, kegiatan yang sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah serta para mitra, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi NTT, Yayasan Pusat Studi Pemberdayaan Perempuan dan Anak, sertaWorld Agroforestry (ICRAF) Indonesia melalui Land4Lives menyelenggarakan Diskusi Terpumpun (FGD) bertajuk Perubahan Iklim dan Pengarustamaan Gender di Provinsi NTT, pada Jumat, 19 Agustus 2022, di Hotel Kristal, Kupang.
Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi NTT Domu Warandoy SH, MSi dalam sambutannya mengatakan bahwa dampak perubahan iklim telah dirasakan hampir di seluruh belahan bumi. Partisipasi masyarakat dalam mitigasi dan adaptasi sangat dibutuhkan dalam prakteknya.
“Perubahan iklim memiliki korelasi yang erat dengan kesetaraan gender, khususnya dengan peran perempuan masa kini yang tidak hanya memegang tanggungjawab sebagai penyedia kebutuhan domestik keluarga,tetapi semakin banyak yang memiliki peran sosial di luar rumah,” kata Domu.
Perempuan mendapat tambahan beban dari perubahan iklim ketika mereka harus berjalan lebih jauh lagi untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan domestik, Domu memberi contoh.
Pemerintah Provinsi NTT sudah memiliki komitmen untuk menjawab tantangan dalam upaya pengarustamaan gender yang diharapkan akan mendorong peran perempuan dalam adaptasi perubahan iklim. Data menunjukkan Indeks Pemberdayaan Gender NTT memang masih di bawah rata-rata angka nasional, yaitu 74.53 pada 2021.
Peneliti senior ICRAF Feri Johana, yang juga salah satu koordinator untuk paket kerja Land4Lives, menyampaikan ICRAF Indonesia adalah lembaga penelitian yang bergerak di berbagai aspek pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim, termasuk di dalamnya penerapan agroforestri dan pemberdayaan masyarakat dan khususnya perempuan dalam konteks penguatan penghidupan berketahanan iklim.
“Kami akan sangat senang jika diberi kesempatan untuk bergandeng tangan bersama-sama memajukan perempuan di NTT. Bersama DP3A kami menginisiasi proses ini, menyamakan persepsi lalu menyusun tindak lanjut supaya kegiatan kami makin terarah,” kata Feri.
Feri berharap dengan kerja sama ini kegiatan pengarustamaan gender makin nyata dan produk legislasi yang peka gender akan mendapatkan perhatian lebih sehingga bisa masuk dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah.
Proyek Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods (Land4Lives) yang dilaksanakan oleh ICRAF adalah proyek riset aksi kerja sama antara Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan (PPN)/Bappenas dan Pemerintah Kanada melalui Global Affairs Canada.
Proyek ini berlangsung hingga 2026 di tiga provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, yang mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk mencapai prioritas pembangunan nasional dalam menciptakan penghidupan berketahanan iklim dan ketahanan pangan untuk masyarakat rentan, khususnya perempuan dan anak perempuan di Indonesia.
Turut hadir sebagai pemateri dalam kegiatan ini adalah Asisten Deputi Pengarustamaan Gender untuk Bidang Sosbud Muhammad Ihsan, Dr Ir Rodialek Pollo MSi dari Universitas Cendana dan Yayasan Pikul. (*/KN)