RD. Hironimus Nitsae
Injil Yohanes : 6:24-35
Judul renungan ini dapat menghantar kita pada sebuah refleksi lebih dalam tentang bangunan kepercayaan yang kita buat diantara kita dengan Tuhan yang diimani. Teks injil hari ini bercerita kepada kita perihal begitu banyak orang yang datang kepada Yesus sebagai konsekuensi dari pergandaan 5 roti dan 2 ekor ikan. Tentu, dengan catatan bahwa mereka telah dikenyangkan perutnya.
Itu pemahaman manusiawi yang terjadi dalam diri masyarakat saat itu. Lebih lanjut, mereka pada akhirnya datang mengikuti Yesus karena mereka ingin mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekedar yang telah mereka dapatkan (dikenyangkan efek mukjizat penggandaan roti dan ikan).
Di sinilah, kita dapat melihat takaran kualitas kepercayaan kita juga. Masyarakat dalam teks injil ini meminta tanda lebih dari Tuhan untuk membuat mereka bisa percaya. Bahkan mereka dapat percaya jika Yesus memberi mereka Roti Kehidupan itu. Pemahaman mereka tidak dilandasi dengan kepercayaan bahwa Yesus adalah tanda terbesar yang dihadirkan Allah bagi mereka bahkan Yesus adalah Roti Kehidupan yang sungguh dinyatakan kepada mereka. Bagi mereka, tanda dan Roti Kehidupan itu adalah sesuatu yang berada di luar diri Yesus.
Sebagai orang beriman, kita menyatakan diri sebagai orang-orang yang percaya kepada Kristus. Bahkan kita menyebut diri sebagai pengikut Kristus. Maka kita diajak untuk menjadi pribadi yang tak semata-mata percaya pada sesuatu yang dapat mengenyangkan diri kita secara partial atau momental. Iman yang kita bangun dalam diri pada akhirnya harus dinyatakan lebih dari sekedar hal-hal fisik. Atau justeru sebaliknya harus dipahami bahwa hal-hal fisik yang menjadi berkat bagi kita perlu dinyatakan sebagai syukur kita pada Tuhan secara utuh.
Pada porsi inilah, kita kadang keliru memaknai berkat Tuhan. Kadang kita memaknai berkat Tuhan semata soal tampilan yang terlihat di depan mata atau yang memuaskan kebutuhan duniawi kita. Lebih dari pada itu mungkin saja tidak. Atau bahkan kita baru akan percaya kepada Tuhan jika secara publik ada pembuktian yang turut dirasakan secara pandangan mata duniawi. Lebih dari itu berkat Tuhan yang tak tampak malah menjadi pertanyaan yang tak kunjung kita perjuangkan untuk mendalami rahasia cinta Tuhan yang nyata bagi kita.
Inilah mengapa Tuhan meminta kita percaya kepada-Nya. Karena setiap berkat Tuhan, termasuk yang nyata secara fisik di depan mata kita sekalipun haruslah dimaknai sebagai sebuah ‘tanda’ bahwa dibalik tanda itu (berkat Tuhan yang kita terima) bukan semata sebagai berkat tanpa arti. Itu adalah tanda yang menyatakan bahwa Tuhan adalah sungguh berkat atau tanda terbesar dan bahkan Roti yang hidup bagi kita.
Kita berada pada posisi membangun kepercayaan: percaya sekedar melihat yang ramai terlihat fisik demi tampilan fisik semata atau percaya termasuk ‘dalam hening’ bahwa berkat Tuhan bagi kita adalah bukti Tuhan mencintai kita juga dalam diam? (*)