Buah Pertobatan dari Penjara

P. Moses Hodehala Beding, CSsR / Ama Beding

Oleh P. Moses Hodehala Beding, CSsR (Alm)

“LEMBAGA Pemasyarakatan atau Penjara tidak pernah mempertobatkan orang kecuali yang bersangkutan berupaya bertobat”.

Kalimat atau pernyataan ini saya dengar pada suatu siang tanggal 6 Februari 2014, keluar dari mulut seseorang yang tidak saya kenal sebelumnya dan orang itu bernama Yoppi Ririhena asal Ambon, yang belum lama keluar dari penjara Nusakambangan.

Dan pernyataan ini telah diabadikan dalam suatu percakapannya dengan wartawati mingguan HIDUP, Maria Etty, yang termuat dalam majalah HIDUP, 7 September 2003. Ia sendiri bersaksi atas pernyataannya itu.

Beberapa rekannya, sesama tahanan, tak pernah jera dengan perbuatannya. Ada di antara mereka yang keluar-masuk penjara berkali-kali. “Ada yang sampai 14 kali masuk tahanan, sampai saya bosan melihatnya,” keluhnya. Kasus homoseksual juga kerap ia temui.

Biasanya bila ada tahanan yang berwajah tampan baru masuk penjara, seketika akan jadi santapan ramai-ramai. “Kasihan sekali, sampai jalannya tertatih-tatih.” Begitulah sebagian dari pernyataannya kepada Etty, yang direkam dalam mingguan HIDUP. Edisi ini digulung rapih dalam genggaman tangannya.

Sore itu sebenarnya saya keluar menemui seorang tamu di ruangan tamu komunitas Soverdi Jakarta. Di samping itu ada seorang bapak yang tidak saya kenal. Saya kurang memperhatikannya, tetapi sepintas pada wajahnya nampak muatan persoalan hidup yang berat. Saya mengajak tamu saya berbicara di ruang dalam sementara ia duduk sendirian, entah sedang menanti seseorang atau merenungkan nasib?

Setelah kurang lebih setengah jam kemudian, tamu saya pamit pulang, dan saya bergegas kembali masuk. Dengan cepat ia bangkit dan seolah mengejar saya. Ia bertanya apakah saya seorang Romo? Saya menjawab, ya! Dan menambahkan bahwa saya adalah tamu di rumah ini.  Ia langsung berkata: “Romo, saya minta didoakan dan diberkati sekarang! Saya ini bekas tahanan di Nusakambangan!”.

Mendengar kata Nusakambangan, telinga saya mulai berdiri, karena saya pernah dibawa oleh seorang rekan pastor pembantu Cilacap, mengunjungi pulau yang menakutkan itu. Saya lalu mengajaknya masuk ke pendopo ruangan dalam. Secara singkat, sebelum mendoakan dan memberkatinya, ia memperkenalkan diri secara singkat, membuka pertemuan kami.

BACA JUGA:  Sahabat Milenial dan Keluarga Deklarasi Yuvensius Tukung Maju Pilkada Kota Kupang 2024

Ia sebenarnya mantan Kepala Kamar Mesin (KKM) dari kapal berbendera Yunani Joifelouf  yang malang melintang menjelajah seantero dunia. Ia lulusan Akedemi Ilmu Pelayaran (AIP) Jakarta. Kedudukannya di kapal sangat menentukan. Karena dialah yang dapat menentukan apakah kapal itu dapat berlayar atau tidak. Semua kru, bahkan kapten sekalipun, harus tunduk kepada keputusannya.

Bertahun-tahun lamanya ia bertarung di laut menerjang ombak dan gelombang. Menembus amukan badai dan gelora samudra. Pada suatu waktu, ia mengemukakan keinginannya agar gajinya dinaikin, supaya memenuhi standard gaji seperti di kapal yang lain.

Ternyata beberapa kali disampaikan, tidak direspon oleh pimpinan, malah dipermalukan di muka orang lain. Akhirnya dendam kesumat membara dari hari ke hari, dan memuncak pada keputusannya nekatnya untuk mengeksekusi kedua kapten kapalnya itu yang berkebangsaan Jerman atas tanggung jawab sendiri.

Keputusan hatinya menjadi bulat dan dilaksanakannya pada 1986, tiga hari menjelang Natal. Sakit hati dan dendamnya harus impas dengan melenyapkan nyawa kedua kapten pada malam itu.

Saat kapal mulai melintasi perbatasan antara Singapura dan Indonesia, sebuah pistol jenis vickers yang berisi 6 peluru, dalam genggamannya, mencabut nyawa kedua kapten kapal itu. Dalam hitungan detik, ia masih membabat leher kedua sasarannya itu.

Ia lalu membuang kedua jasad itu ke laut di antara deru ombak yang bergulung-gulung dalam kepekatan malam. Dengan pakaian yang masih berlumuran dara, Yoppi menurunkan sekoci, dan menyerahkan diri pada polisi perairan. Dengan sengaja ia menjalankan eksekusi itu di perairan Indonesia, karena kalau terjadi di perairan Singapura, ia akan dihukum mati di atas kursi listrik. Ia nekat dan tetap mau mempertanggung jawabkan perbuatnnya.

Pria yang selama 13 tahun menjelajah manca negara tak bisa lagi berkawan akrab dengan ombak samudra. Ia dijatuhi vonis 22 tahun penjara, pertama dikirim ke Lembaga Pemasyarakatan Tolako (Makasar), 3 tahun kemudian pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang selama 7 tahun, dan terakhir di Nusakambangan.