Kupang, KN – Pengamat politik Universitas Muhammadiyah Kupang Ahmad Atang menilai, konsep pengelolaan birokrasi yang ditawarkan Paslon Cagub Cawagub NTT Melki-Johni cukup relevan.
Analisis ini disampaikan Ahmad Atang terkait Debat Perdana Pilgub NTT, yang dilaksanakan di Milenium Ballroom, Rabu (23/10/2024).
“Calon gubernur nomor urut dua, Melki Laka Lena melihat bahwa pelaksanaan pelayanan publik oleh birokrasi harus bersifat memberdayakan. Konsep ini menunjukkan bahwa pemimpin tidak boleh di belakang meja, tapi harus hadir ketika rakyat membutuhkan. Sehingga pemimpin harus dekat dengan rakyat agar tahu apa maunya rakyat. Konsep ini cukup relevan di tengah adanya jarak antara pemimpin dan rakyat,” kata Ahmad Atang menjawab Koranntt.com, Kamis (24/10/2024).
Selain paslon nomor urut 2, Ahmad Atang juga menyebut, calon gubernur nomor urut 1, Ansy Lema saat debat perdana lebih menekankan pada aspek keteladanan seorang pimpinan sebagai pelayanan dengan konsep jemput bola.
“Hadirnya seorang pemimpin adalah untuk melayani, sehingga dibutuhkan aparatur birokrasi yang memiliki integritas, kapasitas dan profesionalitas. Pandangan ini merupakan pendekatan organik dalam tata kelola birokrasi yang melayani, dan ini sangat diperlukan dalam proses transformasi birokrasi dimaksud,” terangnya.
Sementara terkait performa cagub cawagub NTT nomor urut 3, Ahmad Atang menyatakan, calon gubernur nomor urut tiga, Simon Petrus Kamlasi menyoroti soal pelayanan publik yang dimulai dari penegakan hukum, kolaborasi dan digitalisasi dengan target world class birocration.
“Tuntutan era digitalisasi mengharuskan semua pelayanan publik berbasis teknologi, agar lebih efektif, efisien dan tepat sasaran. Maka kerja sama dan penegakan hukum menjadi kata kunci untuk mendorong birokrasi kelas dunia,” tuturnya.
Secara umum, Ahmad Atang menilai, ketiga paslon tampil cukup bagus, dilihat dari penguasaan materi debat, argumentasi yang dubangun serta penguasaan panggung.
“Ketiga pasangan calon telah tampil cukup baik, dapat dilihat dari penguasaan materi debat, argumentasi yang dibangun, penguasaan Penggung, sehingga enak ditonton,” jelasnya.
Akademisi asal pulau Lembata ini menambahkan, pertanyaan yang dibuat oleh panelis debat memiliki bobot yang berbasis pada empirical problem.
“Sehingga ketiga Paslon dapat mengelaborasi tentu dengan perspektif yang berbeda, walaupun pada aras tertentu secara substansial terdapat kesamaan pemikiran, namun yang beda hanya kemasan dan narasi yang dibangun,” pungkasnya. (*/tim)