Kupang, Koranntt.com – Tepat tanggal 15 Februari 2019, atau lima bulan setelah dilantik, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Laiskodat melakukan mutasi besar-besaran.
Sejumlah Pejabat Tinggi Pratama (PTP) dirotasi oleh Gubernur Viktor Laiskodat. Sebagian didemosi, dan sebagian besar dinonjobkan dari jabatannya.
Tercatat ada 15 PTP yang dinonjobkan antara lain, Alexander Sena, Anis Tay Ruba, Andre Koreh, Boni Marasin, Bruno Kupok, Frediy Thilman, Haji Husein, Jhon Huwala, Mikhael Fernandez, Nike Mitak, Paul Manehat (Alm), Simon Tokan, Tini Tadeus, Wellem Foni dan Yulia Afra.
Persoalan 15 PTP yang dinonjobkan oleh Gubernur Viktor Laiskodat ini, lantas mendapat tanggapan dari pengamat Hukum Tata Negara, Universitas Nusa Cendana Kupang, Jhon Tuba Helan.
Ia menilai mutasi yang dilakukan tersebut tidak sehat, dan alasan perampingan yang digunakan tidak tepat. Buktinya, banyak jabatan yang lowong, setelah terjadi mutasi tersebut.
“Kalau jabatan berkurang memang boleh terjadi (nonjob, red). Tetapi ini jabatan masih ada tersisa, dan jabatan tersebut bisa diisi oleh mereka yang sekarang nonjob itu,” ujar Jhon Tuba Helan kepada wartawan di Kupang, Rabu 17 Februari 2021.
Menurutnya, jika para PTP diberhentikan karena penegakan disiplin, atau melanggar aturan lalu dijatuhkan hukuman disiplin, itu bisa dibenarkan oleh Peraturan Pemerintah (PP) dan Undang-Undang ASN.
“Karena nonjob itu masuk dalam hukuman berat. Sehingga harus ada pemeriksaan dan alasan yang jelas, dia melanggar apa. Karena di PP 53 itu sudah jelas terkait perbuatan dan hukuman bagi yang melanggar,” tutur Tuba Helan.
Meski demikian, ia menjelaskan, perihal mutasi bukan hanya di NTT, tetapi seluruh wilayah di Indonesia selalu beraroma balas jasa dan balas dendam.
“Ketika suksesi kepala daerah, biasanya birokrasi itu bergabung dan mendukung paslon-paslon yang maju itu. Sehingga ketika calonnya menang, maka mereka akan disiapkan tempat yang layak. Artinya diangkat jadi pejabat dalam posisi yang baik,” ungkap Tuba Helan.
“Tetapi kalau pejabat yang mendukung pasangan calon yang kalah, berarti siap untuk dinonjobkan, atau digusur ke jabatan yang sering disebut lahan basah dan kering,” tambah dia.
Ia juga mengingatkan agar birokrasi harus netral dalam politik praktis. Fakta yang didapat selama ini adalah, birokrasi juga ikut terlibat. Karena pada umumnya ada calon yang menarik birokrasi untuk ikut terlibat dalam Pilkada.
Sementara itu, dalam akun instagramnya, salah satu pejabat yang dinonjobkan, Andre Koreh menyampaikan, mereka diberhentikan tanpa alasan yang jelas dari pimpinan dalam hal ini Gubernur Viktor Laiskodat.
“Kami diberhentikan begitu saja tanpa alasan yang jelas dari pimpinan. Bahkan SK pemberhentian pun belum kami terima sampai saat ini,” tulis Andre Koreh dalam akun instagramnya, @andrekoreh 15 Februari 2021.
Menurut mantan Kadis PUPR NTT ini, pihaknya menghadapi suatu kondisi yang tidak menyenangkan, tidak memberikan sukacita, dan tentunya tidak berkeadilan karena mutasi tersebut tidak sesuai dengan UU ASN.
“Walaupun demikian, kami memilih untuk menerima dan menjalaninya, agar tidak terkesan ambisius akan jabatan dan tidak menimbulkan kegaduhan. Karena kami cinta damai dan cinta NTT,” ungkap Andre Koreh.
Ia menuturkan, per tanggal 15 Februari 2021, dari total 15 PTP yang dinonjobkan, 10 orang telah memasuki masa pensiun, 1 orang meninggal dunia, dan tinggal 4 orang menyandang status sebagai Staf Khusus Gubernur NTT.
“Tidak ada kata yang dapat mewakili perasaan kami, selain mensyukuri berkat kehidupan yang Tuhan berikan. Terima kasih untuk kondisi seperti ini. Terima kasih untuk kehadiran negara bagi pengabdian kami. Sejarah mencatat bahwa kami pernah berada dalam kondisi ini, dan kami berharap biarlah kondisi seperti ini hanya kami yang mengalaminya dan berakhir hanya pada kami,” tulisnya lagi.
Andre Koreh melanjutkan, terlalu mahal, nilai pengabdian selama puluhan tahun yang diberikan bagi negara, jika harus dihapus begitu saja atas alasan apapun, apalagi hanya karena ketidak sukaan.
Kekuasaan yang Tuhan berikan hendak membuat banyak orang menjadi sejahtera, bangkit dari keterpurukan dan mengalami sukacita. Bukan untuk menzalimi, apalagi dipakai secara sewenang-wenang. Karena pemerintah itu berbeda dengan kerajaan, dan pemimpin itu berbeda dengan penguasa.
“Apapun itu, hidup akan tetap berlanjut karena jabatan hanya ladang pengabdian. Maka setiap masa ada pemimpinnya, dan setiap pemimpin ada masanya. Salam sukses buat kita semua,” tandas Andre Koreh. (EK/AB/KN)