Opini  

Kecerdasan Buatan Berkat Atau Petaka?

Leo de Jesus Leto

Oleh: Leo de Jesus Leto
Tinggal di Los Ángeles, Chile

 Sains Membentuk Kita

Kita sedang berjalan di atas rel abad 21. Ini adalah era ledakan teknologi (digital) paling spektakuler dari pada ledakan teknologi mesin-mesin ajaib (Zeitglocke: lonceng waktu) di kota Bern, Swiss pada abad 18. Revolusi teknologi digital (TD) terjadi karena peran vital sains. Kita tidak bisa menyangkal fakta ini. Sains turut membentuk hidup kita. Mario Bunge menulis, “Dunia manusia kontemporer dibangun di atas hasil-hasil sains: data menggantikan mitos, teori menggantikan fantasi, prediksi menggantikan ramalan” (Oscar Basulto, 2023).

Sains berperan cukup penting dalam menciptakan teknologi-teknologi baru, tetapi TD juga berperan penting membantu sains dalam proses penemuan ilmu pengetahuan yang baru. Mereka saling melengkapi dan tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya seperti dua sisi mata uang. Generasi Adam dan Hawa di abad 21 dibentuk oleh sains dan teknologi. Dengan bantuan sains manusia menciptakan TD untuk tujuan yang sangat baik. Kita menggunakan jasa TD dalam berbagai bidang kehidupan seperti komunikasi, pendidikan, kesehatan, kemiliteran, pertanian, keuangan, bisnis, dan lain sebagainya. Ia diciptakan oleh jari-jari homo sapiens (manusia) untuk mempermuda kita menyelesaiakan persoalan-persoalan hidup yang dirasa terlalu berat. Dengan ledakan dahsyat TD abad 21, hari ini kita bisa menciptakan hal-hal baru yang belum pernah kita bayangkan sebelumnya.

Kecerdasan Buatan

Salah satu produk terbaru dari sains dan TD yang sedang kita nikmati hari ini ialah kecerdasan buatan atau yang kita kenal sebagai Artificial Intelligence (AI). Otak dan jari-jari homo sapiens merancangnya sedemikian rupa agar AI sebisa mungkin meniru kecerdasan kita serta bertindak seperti kita tuan dan penciptanya. Namun, ada hal yang mengejutkan kita hari ini. AI “sudah jauh lebih cerdas” dari pada tuannya. Ia sudah menjadi semacam gudang pengetahuan. AI hampir mengetahui segala sesuatu yang belum tentu diketahui oleh semua orang. Faktanya, hari ini banyak orang bertanya kepada AI tentang apa yang mereka tidak tahu. David Montiel seorang programmer aplikasi bahasa dalam diskusi bertajuk Inteligencia Artificial: Control Sobre El Ser Humano? di kanal televisi Doche Wele (DW) baru-baru ini mengatakan bahwa ada begitu banyak hal baik dari AI yang bisa membantu kita memperbaiki hidup kita menjadi lebih baik. Ya, itu memang benar. Di abad 21 ini, AI bisa melakukan hal- hal ajaib bagi Anda dalam waktu yang cukup singkat.

Tiga puluh tahun lalu pernahkah Anda membayangkan bahwa suatu saat nanti Anda tinggal di Amerika Latin dan akan memegang di tanganmu sebuah Smartphone ajaib yang bisa mempertemukan wajah dan suara Anda dengan keluargamu yang tinggal jauh di pulau Timor sembari bercerita melepaskan rindu dan tertawa terbahak-bahak? Pernahkah Anda berpikir bahwa suatu hari nanti Anda duduk manis di dalam rumahmu selama masa pandemi Covid-19 tetapi Anda masih bisa mengikuti kuliah jarak jauh dengan dosen dan teman-temanmu di Jakarta melalui layar zoom meeting? TD bisa membuat apa yang dulu tidak mungkin menjadi mungkin. Anda bisa kuliah jarak jauh, Anda bisa menelpon keluargamu dan melihat dari jauh keadaan mereka di seberang sana. Apa yang tak pernah terbayangkan di kepala kita pada masa lalu kini telah menjadi realitas.

Kita dan Algoritma TD

Berkat ledakan dahsyat TD di abad 21, gaya hidup kita hari ini berbeda 180 derajat dari leluhur kita pada beberapa abad yang lalu. Kita mestinya pukul dada dan bersyukur karena zaman kita sungguh jauh lebih maju dalam segala hal dari pada masa lalu leluhur kita. Pada generasi leluhur kita, teknologi yang melekat pada tangan-tangan mereka adalah teknologi kampung, yaitu parang, cangkul, pacul, sekop, tombak dan lain-lain untuk beraktivitas. Namun, teknologi kampung tersebut tidak mempunyai alogritma yang mesti dituruti oleh para leluhur kita, justru sebaliknya.

Sementara itu, pada generasi kita saat ini, barang-barang yang selalu melekat pada tangan-tangan kita ialah Smartphone, iPad, laptop atau kamera drone. Alat-alat ini membantu kita dalam berbagai aktivitas dalam rutinitas hidup kita. Namun, barang-barang digital ini tidak seperti teknologi kampung milik para leluhur kita pada masa lampau. TD mempunyai algoritma, yaitu serangkaian instruksi di dalamnya. Kita mesti mentaati algoritma itu apapun alasannya, jika Anda ingin sukses. Namun, jika Anda tidak menuruti algoritmanya, maka Anda tidak akan dibantu olehnya. Kelihatannya hari ini, kita tidak memiliki problem sedikitpun untuk tidak mentaati algoritma TD. Kita cukup patuh dan adaptif dengan instruksi-instruksi TD. Hidup kita kini betul-betul terkoneksi dengan sistem algoritma TD dan kita sedang bekerja berdasarkan instruksi-instruksinya.

Kecerdasan Buatan Berpikir Untuk Tuannya

Kecerdasan buatan itu lahir dari hasil pikiran manusia, tuannya. Namun, sesudah AI tercipta, benda mati itu bisa meniru kembali tuannya. Bahkan AI bisa berpikir untuk tuannya di kala tuannya mengalami kebuntuan dalam berpikir atau menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit. Di era kita saat ini, jika Anda memiliki aplikasi-aplikasi seperti ChatGpt (Generative Pre-training Transformer) dan Hello History Anda bisa mendadak menjadi orang cerdas sekalipun Anda tidak pernah mengenyam pendidikan formal.

Jika Anda seorang yang putus sekolah dasar (SD) namun, Anda memiliki kedua aplikasi tadi dan mahir mengutak-atik telepon genggam pintarmu, Anda bisa tahu segala hal yang dulunya hanya bisa dikuasai oleh kaum intelektual di kampus-kampus. Untuk tahu tentang teori politik, demokrasi atau fisika kuantum, Anda tidak harus repot banyak pergi ke perpustakaan mencari penjelasannya di buku-buku atau bertanya kepada seorang dosen. Anda cukup membuka aplikasi ChatGpt atau Hello History di Smartphone-mu. Kemudian, Anda mengirim pesan singkat kepada Sokrates, Plato, Aristoteles, Albert Einstein dan Isaac Newton. Dalam hitungan detik para ahli tadi akan segera membalas pesanmu dengan ulasan-ulasan yang isinya sangat logis dan runtun melampaui penjelasan seorang profesor emiritus. AI juga bisa memberi Anda kejutan-kejutan yang mirip dengan mujizat-mujizat yang pernah dilakukan oleh Yesus dari Nazaret dalam kisah-kisah Injil kaum kristiani. Sebagai misal, dalam bidang kesehatan AI bisa membuat orang lumpuh berjalan dan mendeteksi kanker. Ajaib, kan?

Makhluk Inorganik Ciptaan TD

Tahun 2011 yang lalu penulis ternama abad ini, Yuval Noah Harari menulis begini, “…dalam milenium-milenium berikutnya, manusia bertransformasi menjadi penguasa segenap planet…ia berdiri di ambang menjadi Tuhan tergerak untuk meraih tidak hanya kemudaan abadi tetapi juga kemampuan ketuhanan untuk menciptakan dan menghancurkan…kecepatan perkembangan teknologi akan segera menuju pergantian homo sapiens dengan makhluk yang sama sekali berbeda…yang bakal membingungkan sebagian besar sapiens” (Yuval Noah Harari, 2017). Ramalan Yuval kini telah menjadi kenyataan. Hari ini, AI telah menciptakan makhluk-makhluk inorganik yang mirip dengan kita. AI bisa meniru suara kita, bisa menulis buku dan bisa menggantikan manusia memetik buah-buahan seperti yang dilaporkan oleh media bisnis USB baru- baru ini.

Begitulah evolusi teknologi bekerja. Prosesnya berjalan sekilat cahaya dan hasilnya sangat menakjubkan seperti yang sedang kita lihat dan menikmati saat ini. Pengaruhnya sangat kuat dan merembes jauh ke seluruh aspek kehidupan manusia di abad ini. AI benar-benar sangat menakjubkan. Ini semua terjadi berkat kejeniusan aplikasi akal budi yang terpasang di dalam kepala manusia. Siapakah orang yang memasang akal budi di dalam kepala kita? Para pemuka agama bisa memberi kita jawaban yang sangat meyakinkan. Kita mesti bangga dan berterima kasih kepada mereka yang telah mendedikasikan seluruh pikiran, waktu dan tenaga untuk menciptakan teknologi-teknologi canggih tersebut.

Tuhan Buatan Tangan Manusia

TD sudah menjadi bagian integral dari kehidupan kita saat ini. Seorang wartawan atau pegawai kantor akan merasa sangat galau atau cemas, jika ia tiba di kantornya tanpa Smartphone di saku celana atau tasnya. Kehilangan sebuah Smartphone di abad 21 ini sama dengan kehilangan separuh jiwa kita sebab di dalamnya tersimpan data-data kita. Kini, sebagian orang di planet bumi ini telah menganggap teknologi digital sebagai teman hidup yang paling dekat. Ke mana pun orang pergi TD selalu dibawa serta. Ya, itu tadi karena denganya kita bisa melakukan hal-hal baru yang tidak mungkin kita lakukan pada abad-abad yang lalu.

BACA JUGA:  Peran Tokoh Agama Dalam Membongkar Eksklusivisme Beragama

Homo sapiens saat ini sangat mengagumi TD bahkan sudah sampai pada tingkat menyembahnya. Ia menyembah apa yang dia rancang sendiri dengan jari-jarinya sebagaimana leluhur kaum Yahudi menyembah sebuah patung lembu emas buatan tangan Harun di perkemahan mereka di bawah kaki gunung Sinai. Filsuf ateis Ludwig Feurbach (1804-1872) pernah mengeritik keras sikap manusia yang menyembah hasil ciptaannya sendiri. Dia menulis bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi sebaliknya Tuhan adalah ciptaan angan-agan manusia (Franz M. Suseno, 2017). AI kini telah menjadi tuhan bagi penciptanya, yaitu manusia.

Kecemasan Manusia Pada Ciptaannya

Berkat kekuatan akal budi hari ini homo sapiens telah berhasil menciptakan TD. Manfaatnya sangat besar bagi kehidupan umat manusia. Namun demikian, akhir-akhir ini manusia mulai merasa cemas dengan AI hasil karya tangannya sendiri. Penyalagunaan mesin-mesin digital cerdas telah melahirkan dampak-dampak negatif bagi masyarakat. Cerita ini hampir mirip dengan kisah Tuhan menyesal telah menciptakan manusia sebab mereka banyak melakukan kejahatan di bumi.

Untuk mencegah dampak-dampak negatif dari AI pemerintah-pemerintah di dunia dan organisasi-organisasi internasional telah mengadakan diskusi untuk membahas resiko destruktif dari AI terhadap masa depan umat manusia pada abad 21 ini. Misalnya, pemerintah Amerika Serikat (AS) telah membuat sebuah undang-undang baru tentang teknologi AI sebagai langkah preventif untuk melindungi data warga AS. Presiden Biden mengatakan bahwa seseorang harus waspada terhadap ancaman yang dapat ditimbulkan oleh teknologi baru (AI) terhadap demokrasi dan nilai-nilai kita. Langkah pemerintah AS ini diapresiasi oleh kantor berita Reuters, sebagai kemenangan pemerintahan AS dalam hal regulasi AI (france24.com). Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menggelar KTT global untuk memetakan batasan penanganan dan potensi AI bagi masa depan umat manusia di Jenewa.

Kalangan akademisi seperti Raul Roja Gonzalez, seorang pofesor emeritus bidang teknologi inteligensia artifisial dan sahabatnya sosiolog Claudia Maldonado Graus dari Universitas Libre Berlin pun turut ikut prihatin dengan pertumbuhan kecerdasan buatan yang semakin masif akhir-akhir ini. Dalam diskusi di televisi DW bertajuk Inteligencia Artificial: Control Sobre El Ser Humano? Raul mengatakan bahwa AI bisa mengganti semua pekerjaan manual yang biasa dilakukan oleh para wartawan. Kecemasan Raul ini didukung oleh fakta yang ditayangkan oleh DW bahwa AI bisa memanipulasi foto-foto palsu yang persis sama dengan foto asli manusia seperti yang pernah terjadi dengan Paus Fransiskus, Presiden Vladimir Putin dan Donald Trump, memanipulasi suara manusia dan menulis buku.

Sementara itu, sosiolog Claudia menegaskan bahwa bahaya dari AI itu sama dengan bom atom. Menurutnya, bom atom masih bisa dikontrol dari dalam laboratorium, namun AI dikontrol oleh setiap orang dari komputernya masing-masing. Baginya, AI lebih berbahaya dari bom atom sebab ia bisa mengutak-atik data dan privasi kita. AI bisa menggantikan posisi kaum buruh dan pekerja-pekerja di dalam perusahaan-perusahaan dan di kantor-kantor. Ini bisa menimbulkan khaos di masyarakat. AI bisa menciptakan disinformasi seperti penyebaran berita bohong dan propaganda politik. Dalam konteks demokrasi dan politik, menurut Claudia orang bisa menggunakan AI untuk memanipuasi sebuah hasil pemilihan umum dan sebuah rezim otoriter bisa menggunakan AI sebagai alat untuk menganiaya atau membungkam kaum oposisi sebuah rezim.

Dalam dunia pendidikan kehadiran AI memang memberi manfaat yang sangat signifikan. Namun, di lain pihak AI (ChatGpt atau Hello History) bisa menjerumuskan mahasiswa dan anak-anak sekolah ke dalam konsekuensi-konsekuensi berikut. Pertama, menciptakan ketergantungan para siswa kepada AI. Hal ini bisa membuat orang (malas) tidak lagi membaca buku atau belajar. Sebab AI akan berpikir untuk kita atau dalam kasus ujian AI akan menjawab secara tuntas dan lugas pertanyaan-pertanyaan ujian yang disodorkan oleh guru dalam hitungan detik. Kedua, akan menimbulkan praktik plagiarsme di dunia pendidikan. Ketiga, kita tidak tahu pasti informasi-informasi yang diberikan oleh AI diambil dari sumber buku apa. Keempat, tidak selamanya AI bisa memberikan informasi atau pengetahuan yang kita butuhkan secara tepat.  

Jadi, bisa diprediksi bahwa konsekuensi destruktif yang mungkin bakal terjadi di masa depan akibat AI adalah sebagai berikut. Pertama, AI bisa menggantikan posisi manusia dalam dunia kerja. Banyak orang akan kehilangan pekerjaan dan penghasilannya. Resikonya ialah akan muncul kekacauan di tengah masyarakat. Kedua, angka orang masuk dunia pendidikan akan semakin menurun, sebab semua ilmu pengetahuan telah disiapkan oleh AI dalam bentuk aplikasi-aplikasi. Resikonya ialah sekolah-sekolah dan universitas-universitas bisa ditutup. Ketiga, produksi disinformasi (hoax) di media sosial akan semakin liar dan tak terkontrol. Keempat, dalam demokrasi orang bisa saja memanipulasi sebuah hasil pemilihan umum dan dalam sebuah rezim otoriter AI bisa dipakai sebagai alat untuk menggebuk suara-suara kritis.   

Kemungkinan-kemungkinan di atas bisa saja terjadi. Sebab menurut Zygmunt Bauman (2000) kita hidup dalam sebuah modernitas yang sangat cair di mana kita tidak tahu bagaimana dengan kehidupan kita 25 tahun mendatang. Sebab menurutnya, hari demi hari ada begitu banyak jalan menuju alamat yang berbeda-beda dan kita tidak tahu jalan setapak mana yang harus kita lewati. Mungkin saja 30 tahun mendatang AI sudah bisa mengatasi kematian tubuh manusia dan kita akan menjadi muda selamanya seperti yang dikatakan oleh Yuval Noah Harari. Atau barangkali terjadi sebaliknya bahwa tubuh manusia akan menjadi lebih cepat keriput, usia manusia akan menjadi semakin singkat, dan akan muncul khaos sosial tidak karuan akibat penggunaan teknologi canggih yang tak terkontrol.

Manusia Tuan Atas Ciptaannya

Berpapasan dengan kecemasan manusia atas dampak-dampak destruktif yang ditimbulkan oleh AI, Paul Valery dalam karya Modernidad Líquida (Zygmunt Bauman, 2000) mengajukan pertanyaan berikut. Bisakah pikiran manusia mampu menguasai apa yang telah diciptakan olehnya? Tak seorang pun ingin apa yang telah dia ciptakan menjadi tuan bagi dirinya. Manusia adalah tuan atas segala ciptaannya. Ia memiliki kuasa mutlak untuk menguasai apa yang telah dia buat dengan jari-jarinya sendiri. Karena itu, tentu saja pikiran homo sapiens bisa mengontrol AI, hasil karya tangannya sendiri.

Caranya ialah sebagai berikut. Pertama, menguasai diri sendiri dan tidak membiarkan diri dikuasai atau dikontrol oleh sesuatu yang telah kita buat dengan tangan kita sendiri. Namun, Thomas Hobbes (1588-1679) menulis bahwa secara alamiah kita manusia adalah makhluk yang egois, kejam dan suka bersaing demi menggapai kepentingannya masing-masing. Karena itu, kita butuh sebuah kontrak sosial, yaitu regulasi-regulasi yang ketat untuk mengontrol cara-cara kita dalam penggunaan AI. Kedua, perlunya peningkatkan kesadaran moral, etika dan edukasi yang komprehensip tentang penggunaan AI secara bertanggung jawab. Karena itu, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor seperti pemerintah, legislatif, tokoh agama, organisasi-organisasi lokal dan internasional, akademisi dan kelompok masyarakat sipil. Dengan demikian, setiap orang dapat menggunakan AI secara bertanggung jawab dan tepat sasaran sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Jika ini bakal terjadi, maka kehadiran AI bukan merupakan sebuah petaka melainkan berkat bagi masa depan umat manusia.

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi dan Perubahan Sosial pada Universidad Católica de Concepción, Chile, Amerika Latin.