Kupang, KN – Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena hadir dalam kegiatan Rekonsiliasi dana BOSP Tahap I TA. 2025 dan sisa dana BOSP Tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT di Aula Komodo Disdikbud NTT pada Kamis,( 24/7/25) siang.
“NTT ini, dulu kita santai dengan yang namanya dukungan pemerintah pusat. tapi pada hari-hari ini kita harus meningkatkan kemampuan kapasitas kita untuk meningkatkan kemampuan PAD kita,” kata Gubernur Melki Laka Lena.
Gubernur Melki juga menyoroti Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari sektor pendidikan, yang saat ini hanya sekitar Rp1 miliar.
“Dari total APBD Provinsi NTT yang mencapai 5 triliun rupiah, alokasi anggaran untuk pendidikan sudah sebesar 2,3 triliun rupiah. Tapi PAD kita dari sektor ini baru sekitar 1 miliar. Ini tentu menjadi tantangan besar sekaligus peluang untuk kita benahi bersama,” ujarnya.
Gubernur Melki menekankan pentingnya peningkatan kapasitas dan kemandirian daerah, termasuk optimalisasi potensi yang ada di satuan pendidikan untuk berkontribusi terhadap PAD, tanpa membebani masyarakat.
Menurutnya, pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, partisipasi masyarakat menjadi komponen penting dalam mendukung kemajuan pendidikan di daerah.
“Kita tidak bisa berjalan sendiri. BOS tentu tidak akan pernah cukup untuk memenuhi seluruh ekspektasi dan kebutuhan program-program di masing-masing sekolah,” ungkap Gubernur Melki.
Menanggapi pentingnya peran serta masyarakat, Pemerintah Provinsi NTT melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan saat ini sedang menyusun Peraturan Gubernur sebagai panduan agar partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan (IPP) memiliki dasar hukum yang jelas, baik dari sisi aturan, syarat, maupun bentuk kolaborasi yang memungkinkan terhadap penggunaan dana BOSP, namun tetap berpedoman pada Permendikbudristek Nomor 8 Tahun 2025.
Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Melki memberikan ruang bagi para Kepala Sekolah yang telah menerapkan konsep sekolah gratis untuk berbagi pengalaman dan inspirasi praktik baik di satuan pendidikan masing-masing.
Tujuannya adalah mendorong semangat kemandirian dan inovasi dalam pengelolaan pendidikan, tanpa harus terlalu bergantung pada iuran peserta didik.
Salah satu yang tampil berbagi adalah Rm. Dicky Mau dari SMKS St. Pius X Insana – Bitauni. Ia menjelaskan bahwa di sekolahnya, dari setiap program keahlian diterapkan skema pembagian hasil : 60% untuk siswa, 20% untuk sekolah, dan 20% lainnya dikembalikan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Sebanyak 75% siswa tidak lagi membayar uang sekolah karena sekolah mengedepankan konsep pemberdayaan melalui produksi. Hasil bersih dari kegiatan usaha di sekolah digunakan untuk memberdayakan siswa agar mandiri secara finansial,” ucapnya.
Hal serupa diterapkan di SMK Negeri 2 Loli, Kabupaten Sumba Barat. Sekolah ini memiliki jurusan unggulan : Agribisnis Ternak Unggas dan Agribisnis Tanaman Pangan dan Hortikultura. Hasil produksi dibagi dengan proporsi : 45% untuk siswa, 35% untuk pengelola, 10% untuk tambahan APBD, dan 10% untuk modal usaha. Dengan skema ini, para siswa tidak lagi dikenakan biaya sekolah.
SMK Negeri 1 Sabu Barat juga menunjukkan praktik serupa. Di jurusan Peternakan Air Tawar, siswa beternak ikan lele dan hasil penjualannya digunakan untuk membiayai kebutuhan sekolah mereka.
Sementara dari SMK Negeri Situmean di Kabupaten Malaka, Kepala Sekolah melaporkan bahwa sekolah mereka benar-benar gratis, tanpa pungutan apa pun. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat sekitar yang sangat memprihatinkan. Sekolah memberdayakan siswa melalui ternak kambing dan budidaya ayam lokal untuk menopang kegiatan belajar mengajar.
Kemudian contoh lain dari Kota Kupang, SLB Asuhan Kasih juga menerapkan konsep sekolah gratis, baik di sekolah maupun di asrama. SLB ini membekali peserta didiknya dengan keterampilan tata boga dan tata busana. Tata boga dikembangkan melalui pesanan makanan untuk kegiatan pesta dan rapat instansi, sementara tata busana dilakukan melalui produksi dan penjualan pakaian bermotif daerah.
Menanggapi pengalaman yang dibagikan oleh lima sekolah yang telah berhasil menerapkan konsep sekolah gratis, Gubernur Melki memberikan apresiasi serta penegasan penting mengenai arah pengembangan sekolah ke depan.
“Setiap sekolah memiliki karakter yang berbeda-beda, tergantung pada visi dan misi pendirinya, kondisi lingkungan sekitar, serta latar belakang mayoritas siswanya. Namun, ada satu tujuan yang sama : kita semua ingin menghadirkan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak kita,” ujar Gubernur Melki.
Ia menegaskan bahwa salah satu aspek mendasar dalam mewujudkan kualitas pendidikan adalah kemampuan sekolah untuk menyejahterakan Guru-Gurunya serta memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana pembelajaran. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi mendorong agar setiap sekolah mampu membangun kemandirian dan ketangguhan dalam pengelolaan dan pemberdayaan sumber daya.
“Prinsip utamanya adalah kreativitas dan inovasi dari pihak sekolah. Sekolah harus berani berinovasi dan memaksimalkan potensi yang dimiliki,” tegasnya.
Dalam konteks itu, Gubernur Melki juga menyinggung dua program strategis Pemprov NTT : Gerakan Beli NTT dan program One Village One Product (OVOP). Sebagai penutup, Gubernur Melki mengajak seluruh Kepala Sekolah untuk turut mengambil bagian dengan melahirkan inovasi lokal dari lingkungan sekolah.
“Saya mengajak setiap sekolah menciptakan minimal satu produk unggulan. ‘One School One Product’. Kembangkan sesuai potensi sekolahnya.” tutupnya. (*/ab)