Hukrim  

Proses Hukum Eks Kapolres Ngada Mandek, Asti Laka Lena dan APPA NTT Datangi DPR RI

Proses Hukum Eks Kapolres Ngada Mandek, Asti Laka Lena dan APPA NTT Datangi DPR RI. (Foto: Istimewa)

Jakarta, KN – Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Mindriyati Astiningsih Laka Lena, bersama Forum Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak (APPA) NTT, mendatangi Gedung DPR RI untuk menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III dan Komisi XIII, Selasa (20/5).

Kehadiran mereka didampingi oleh Forum Perempuan Diaspora NTT serta sejumlah lembaga pemerhati hak perempuan dan anak. Mereka menyuarakan kekhawatiran atas mandeknya proses hukum dugaan kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh mantan Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja.

Dalam RDPU tersebut, Asti Laka Lena menyampaikan bahwa hingga saat ini belum ada kejelasan terkait kelanjutan proses hukum. Berkas perkara disebutnya masih bolak-balik antara penyidik Polda NTT dan Kejaksaan Tinggi NTT.

“Kami hadir karena keadilan bagi korban harus ditegakkan. Kasus ini sudah terlalu lama tanpa kejelasan, sementara data menunjukkan bahwa 75 persen narapidana di lembaga pemasyarakatan di NTT adalah pelaku kejahatan seksual,” ungkap Asti.

RDPU juga dihadiri oleh berbagai instansi negara seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Komisi Nasional Disabilitas. Organisasi sipil seperti OUR Rescue dan Jaringan Nasional Anti TPPO turut berpartisipasi.

Koordinator Forum Perempuan Diaspora NTT, Sere Aba, meminta DPR RI untuk mengawasi jalannya proses hukum dan mendesak institusi terkait agar memenuhi hak-hak korban, termasuk hak atas pemulihan dan restitusi.

Ia juga menekankan pentingnya keterlibatan majelis hakim yang berpihak pada korban serta memiliki sensitivitas gender.

Veronika Ata Tori Ata, Ketua LPA NTT sekaligus pendamping hukum korban, menegaskan bahwa lambannya proses hukum menjadi alasan utama permintaan RDPU ini.

“Kami sebagai pendamping hukum akan terus mengawal proses hukum ini sampai pada putusan yang adil bagi korban. Permintaan RDPU ini dilakukan oleh kami, karena kami melihat penanganan kasus ini sangat lamban dan tidak transparan,” terang Pendamping hukum korban Veronika Ata.

BACA JUGA:  Jelang Sidang Pemeriksaan Tambahan, Keluarga Naput Yakin Ada Titik Terang Terkait Sengketa Tanah Karangan

Ia berharap hak-hak korban ditegakkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam forum tersebut, APPA NTT menyampaikan tiga tuntutan utama kepada DPR RI:

1. Komisi III DPR RI mengawasi dan mengawal proses hukum yang diduga dilakukan oleh AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja (eks Kapolres Ngada), meminta agar proses hukum  dilakukan secara transparan, akuntabel, dan tidak tunduk pada kekuasaan struktural pelaku,  menjerat dan menghukum pelaku seberat-beratnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan pidana penjara maksimal dan hukuman kebiri kimia serta, melindungi korban, keluarga korban dan saksi.

2. Meminta Komisi III DPR RI mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk memastikan Penyidik Kepolisian Daerah NTT menjerat pelaku dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang, UU RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
3. Memastikan proses hukum yang ramah pada korban dan anak.

Aksi ini menjadi bukti kuat dorongan masyarakat sipil, untuk memastikan tidak ada kekerasan seksual yang dibiarkan tanpa penyelesaian hukum yang adil dan berpihak pada korban. (*)