Dukungan Kabinet, DPR RI dan Presiden, Sangat Vital untuk Bangun NTT 5 Tahun ke Depan

Pengamat politik Unwira Kupang, Mikhael Rajamuda Bataona / Foto: Istimewa

Kupang, KN – Pengamat politik Universitas Katolik Widya Mandira Kupang Mikhael Rajamuda Bataona mengatakan, dukungan kabinet, DPR RI dan Presiden sangat vital untuk membangun NTT lima tahun ke depan.

Hal ini disampaikan Mikhael Rajamuda Bataona, menanggapi isu dan kotroversi soal dukungan pusat kepada Cagub dan Cawagub yang berkontestasi di Pilgub NTT 2024.

“Dukungan Pemerintah pusat, dalam hal ini presiden Prabowo dan koalisi besar di pusat pemerintahan yaitu para anggota kabinet, juga dukungan dari DPR RI, adalah sesuatu vital dalam urusan kekuasaan lima tahun ke depan,” kata Mikhael Rajamuda Bataona kepada wartawan, Sabtu (2/11/2024).

Ia menjelaskan, siapa pun Gubernur NTT, dia wajib membangun komunikasi intens untuk punya koneksi secara personal dan institusional dengan tiga kekuatan itu, yaitu Presiden Prabowo, para anggota kabinet dari KIM, maupun anggota parlemen.

“Jadi ini bukan soal pilihan atau sesuatu yang opsional, tapi secara konstitusional, ini sesuatu yg wajib. Karena pemerintah provinsi, Gubernur dan Wakil Gubernur itu perpanjangan tangan pemerintah pusat. Daerah otonom itu ada di Kabupaten/kota. Artinya, Gubernur yang satu garis partai, atau koalisi dengan Presiden Prabowo saat ini, tentu punya privilese dan keuntungan lebih secara politik. Komunikasi soal program dan dukungan anggaran akan lebih mudah diperoleh,” tegasnya.

Mikhael menyatakan, komunikasi politik yang dibangun oleh Cagub Cawagub dari partai koalisi, akan berbeda dengan partai non koalisi. “Sebab, ini bicara praksis politik, bukan bicara ideal politik dengan segala tata krama dalam demorkasi. Dalam praksis politik, tidak ada politisi yg mau membesarkan lawan politiknya. Jika itu dilakukan pun, akan dengan hitungan tertentu,” ungkapnya.

Jadi, lanjutnya, meskipun di permukaan para politisi itu saling kenal, bersahabat, akur dan harmonis, bahkan saling menghormati, tapi dalam urusan distribusi dan alokasi sumber daya, mereka akan bertarung dan berbeda. Sebab, politik praktis itu soal pertarungan kepentingan lewat akumulasi kekuasaan dan pengaruh.

“Selain itu, gagasan bahwa seorang Gubernur butuh dukungan pemerintah pusat adalah argumentasi yg punya basis yuridis yang jelas. Hal ini dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Di situ dikatakan bahwa, Gubernur memiliki peran penting sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Tugas dan wewenang gubernur adalah sebagai perpanjangan tangan dari presiden yaitu pemerintah pusat. Beda dengan daerah kabupaten/kota. Bupati atau wali kota itu dievaluasi, diawasi dan diberi pembinaan oleh Gubernur. Jadi bupati itu daerah otonomi yang berada di daerah. Tapi Provinsi itu dalam asas dekonsentrasi, dia adalah bagian dari pemerintah pusat di daerah,” jelas pengajar ilmu komunikasi politik itu.

Dikatakannya, Gubernur memiliki sekitar 46 tugas dan wewenang sebagai perpanjangan tangan presiden dalam menjalankan pembinaan dan pengawasan terhadap seluruh kabupaten. Itulah mengapa secara politik, bagian ini dieksplorasi untuk kampanye politik. Sehingga semua kandidat Gubernur boleh menyatakan kedekatan mereka dengan pemerintah pusat.

BACA JUGA:  Buka Lomba Mewarnai, Melki Laka Lena: Golkar Konsisten Bela Hak-hak Anak Lewat Jalur Politik

“Itu sah dalam politik elektoral dan marketing politik. Tinggal saja rakyat melihat fakta empiriknya, siapa yg memang punya kedekatan secara personal dan institusional dengan Presiden sekarang dan kabinetnya,” pinta Mikhael.

Ia menegaskan, jika dilihat dari dukungan pusat, maka tentu saja Melki-Jhoni punya posisi yang lebih kuat. Karena Melki adalah ketua Pemenangan Prabowo-Gibran di NTT, sekaligus Wakil Ketua Umum Goljar. Melki tentu punya kedekatan yg lebih dalam dengan Presiden Prabowo. Dan siapa pun paham bahwa jika seorang Gubernur berbeda kepentingan, aliran, faksi politik, atau berada di luar koalisi pemerintah pusat dan berlawanan secara diamteral dengan Partai Penguasa yg menjadi rezim kekuasaan saat ia menjadi Gubernur, maka ia akan sulit berakselerasi dari sisi dukungan anggaran, program kerja, dan fiskal.

“Meskipun nanti, ia akan tetap mendapat dukungan pemerintah pusat dalam urusan-urusan formal pemerintahan.
Sehingga ini soal bagaimana kekuatan mendapat anggaran pembangunan untuk rakyat. Karena rakyat NTT sangat membutuhkan perubahan. NTT tidak bisa dibangun hanya dengan dana rutin dan anggaran wajib. Artinya, NTT butuh Gubernur yg secara politik dekat dengan pusat kekuasaan,” terangnya.

Mikhael menegaskan, politik itu pertarungan kepentingan dan alokasi sumber daya melalui perebutan kekuasaan. Ketika kekuasaan sudah direbut, yang diutamakan adalah kepentingan mengkonsolidasi kekuasaan bagi mereka yang sedang berkuasa. Menteri yang satu partai atau satu koalisi dengan Gubernur tentu akan memberi dukungan anggaran yang berbeda dengan yang bukan satu partai. Itu praksis politiknya demikian. Meskipun dalam ideal politik, tentu semua pejabat negara itu diandaikan negawaran. Masalahnya adalah, itu hanya dalam ideal politik. Dalam praksis politik tidak seperti itu.

“Sehingga saya kira, semua calon berhak untuk membuktikan ke publik seberapa dekat mereka dengan presiden dan komposisi kabinet saat ini. Itu startegi marketing politik yang sah digunakan karena mereka paham bahwa Gubernur itu hanya perpanjangan tangan Presiden di daerah. Nah, dari situ rakyat akan melihat realitanya. Bahwa dari ketiga Cagub saat ini, mana calon Gubernur yang benar-benar memiliki dukungan kuat di pusat kekuasaan saat ini,” ucapnya.

“Dan saya kira, Melkiades Laka Lena memiliki itu. Dia sekaligus adalah Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Di mana, sebagai partai terbesar di koalisi KIM, bargaining posititionnya sangat besar. Di samping itu, Jhoni adalah kader Gerindra. Dia maju karena diputuskan Presiden Prabowo. Dan saat ini keduanya didukung oleh koalisi besar, 11 partai pengusung dan pendukung yang segaris atau sekoalisi dengan koalisi di tingkat pusat, dengan kekuatan: 7 kursi di DPR RI asal NTT (54%) dan 36 kursi di DPRD NTT (55%) dari koalisi besar ini. Kekuatan ini bagi rakyat banyak tentu saja menjadi anugerah bagi NTT,” tandas Bataona. (*)