Oleh: Haryono Kapitang
Direktur Eksekutif PUNDI (Pegiat Pendidikan Indonesia), Pengamat Pendidikan, Pegiat Literasi NTT
Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan keputusan No. 65/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan kampanye di lingkungan pendidikan dalam menyambut pemilu 2024 mendatang. Keputusan yang membolehkan kampanye di sekolah dan kampus dengan syarat tidak menggunakan atribut kampanye dan mendapat izin dari pihak terkait menuai pro-kontra di tengah masyarakat.
Pro-Kontra
Beragam reaksi masyarakat yang muncul guna merespon keputusan tersebut, diantaranya Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti. Ia menerangkan bahwa walaupun diperbolehkan, lembaga pendidikan Muammadiyah akan sangat hati-hati, bahkan mungkin tidak memberikan izin untuk berkampanye di sekolah dan di kampus.
Sama halnya dengan Muhammadiyah, Ketua PBNU Ahmad Fahrur Rozi juga keberatan, terutama soal diizinkannya kampanye di tempat pendidikan. Kampanye di sekolah atau kampus menurutnya harus dihindari. Respon yang sama ditunjukan oleh FSGI (Federasi Serikat Guru Indonesia), menurut mereka pendidikan harus jadi ruang netral untuk kepentingan publik.
Sementara itu, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) melalui Tama Satrya Langkun, ketua DPP Bidang Hukum dan HAM membolehkan kampanye di lembaga pendidikan. Menurutnya, tempat pendidikan dijadikan sebagai tempat untuk menguji program yang akan diusung oleh para kandidat. Adapun respon lain yang memihak pada keputusan tersebut beranggapan hal demikian sebagai bentuk keterbukaan politik nasional. Selin itu, ada juga yang beranggapan hal tersebut sebagai upaya untuk memberikan pendidikan politik secara langsung kepada peserta didik dan mahasiswa.
Dilema Ruang Akademik
Keputusan yang memperbolehkan kampanye di lingkungan pendidikan memberikan dilema akut pada ruang akademik. Hal tersebut dikarenakan akan adanya interaksi langsung dengan politik praktis. Sudah menjadi rahasia umum bahwa wajah politik praktis di Indonesia terlihat bopeng dan koreng. Politik uang, korupsi, pecah belah, hujat-menghujat hingga caci maki, merupakan wajah politik praktis yang masyhur ditampilkan.
Di sisi lain, kampanye di lingkungan pendidikan berpotensi terbentur dengan cita-cita dan tujuan dari pendidikan itu sendiri untuk menciptakan insan berakhlak, bermoral, dan budipekerti. Potensi itu muncul bukan tanpa alasan, seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa dominasi politik praktis hari ini cenderung muncul dengan wajah bopeng dan korengan. Hal demikian tentu berbenturan dengan apa yang menjadi substansi dari tujuan pendidikan.
Secara subtansi, Pendidikan harus menjadi ruang netral dan terbebas dari tendensi politik kepentingan dengan pihak manapun. Hal tersebut juga berkaitan dengan objektivitas nilai akademik terhadap beragam persoalan yang ada. Dengan dibolehkan kampanye di lembaga pendidikan, dikhawatirkan akan terpengaruh oleh retorika para politisi yang cendeurng emosional dan polarisasi.
Ditambah lagi afiliasi politik bawah meja yang sering diperankan oleh oknum ASN, termasuk tenaga pendidik, semakin memperkuat kekhawatiran perilaku-perilaku yang mempolitisasi ruang akademik. Tentu hal demikian tidak menciptakan nuansa politik yang sehat. Selain itu, ruang akademik yang harusnya netral dan bersih dari segala kepentingan politik dikotori dan di tarik ulur untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu.
Hal demikian selaras dengan pelajar dan mahasiswa yang masih dalam tahap pengembangan intelektual yang belum matang, akan sangat mudah digiring untuk kepentingan kelompok tertentu. Puncaknya, potensi konflik horizontal bisa terjadi di lembaga pendidikan. Di sisi lain, sebetulnya ada sisi posisitf dari keputusan tersebut.
Para pelajar dan mahasiswa dapat berpartisipasi aktif dalam momentum politik yang akan dilangsungkan. Secar langsung mereka dapat menilai mana yang berkualitas dan mana yang tidak berkualitas. Perlu digarisbawahi bahwa substansi perdebatan di ruang akademik adalah perdebatan pikiran dan gagasan, bukan perdebatan sentimen emosional. Pada konteks ini agaknya patut diapresiasi dan dicoba, tentu dengan aturan dan SOP yang terukur. Hal tersebut sebagai bentuk komitmen terhadap prinsip ruang akademik.
Jika memang terpaksa atau bahkan “dipaksa” untuk berkampanye di lembaga pendidikan maka ada hal yang menjadi sangat penting untuk prioritaskan. Kampanye di lembaga pendidikan tidak cukup hanya menyampaikan ide dan gagasan semata, melainkan haurs bersifat rasional, dialogis, dan etis. Tidak boleh ada kelompok yang mendiskreditkan kelompok lainnya yang justru dapat merusak stabilitas dan kesatuan yang telah terjalin dengan baik.
Ada hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut, jangan sampai aktivitas politik di lingkungan pendidikan justru lebih mendominasi bahkan mengganggu peroses belajar mengajar. Kampus dan sekolah hendaknya menjaga jarak bahkan menjauh dari afiliasi politik secara langsung. Selebihnya lembaga-lembaga pendidikan yang nantinya akan digunakan harus tetap menjaga netralitas dan integritas sebagai lembaga pendidikan.***