Opini  

OPINI: PEREMPUAN DI JALAN PERJUANGAN HUKUM

Bernardus T. Beding

Bernardus T. Beding
Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng

Tidak dapat dimungkiri bahwa realitas selalu menampilkan kaum perempuan senantiasa berjuang untuk memperoleh hak-hak dasar, termasuk hak untuk ‘hidup’. Kesetaraan jender memang telah terbangun sehingga perempuan dapat berkiprah dan berkarya di berbagai sektor. Perempuan Indonesia sudah sangat maju. Namun, pada saat yang sama, ternyata perempuan kita masih harus berjuang untuk hak-haknya yang asasi.

Betapa tidak? Berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik dan online memberitakan peristiwa-peristiwa tragia yang mengorbankan kaum perempuan Indonesia. Komnas Perempuan mencatat sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020. Bahkan, seperti diterbikan oleh Tempo.co (5 Maret 2021), dari 8.234 kasus yang ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, jenis kekerasan terhadap perempuan tercatat kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama dengan 3.221 kasus, kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus, dan sisanya kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Kaum perempuan di jalan perjuangan untuk memperbaiki status dan mengaktualisasikan diri sangat hebat. Bahkan, tanpa banyak campur tangan pemerintah pun, perempuan kita luar biasa. Hampir di semua sektor di Indonesia selalu ada tokoh-tokoh perempuannya. Bahkan, kita pernah punya perempuan presiden.

Namun, dalam hal perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM), negara tidak boleh membiarkan perempuan berjuang sendiri. Adalah kewajiban negara untuk melindungi hak hidup setiap warganya. Kasus-kasus kekerasan dan pembuntuhan terhadap perempuan tidak bisa tidak menuntut kehadiran negara secara pro-aktif.

Tragedi-tragedi yang menimpa kaum perempuan belakangan ini mengingatkan kita kembali pada peristiwa-peristiwa kebiadaban terhadap kaum perempuan di awal Orde Reformasi 1998. Sampai hari ini, teriakan-teriakan menolak lupa masih terus diserukan. Artinya, Teformasi Indonesia mempunyai tugas berat untuk melindungi dan memperhatikan nasib kaum perempuannya.

Semoga pemerintah Presiden Joko Widodo memberi hukuman berat terhadap pelaku kejahatan terhadap kaum perempuan benar-benar diwujudkan. Kita sudah memiliki perangkat komprehensif untuk menegakan perlindungan perempuan. Kementerian Hukum dan Ham, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kementerian Sosial perlu berkoordinasi efektif.

Kehadiran Negara untuk melindungi kaum perempuan harus semakin nyata dalam bentuk pengembangan payung hukum. Tentunya, bukan berarti kita kita belum punya payung dasar-dasar hukum. Misalnya, dalam hal melindungi perempuan dari kekeraan seksual, kita sudah punya Undang-Undang tentang HAM, Undang-Undang tentang Penghapusan KDRT, Undang-Undang tentang Kewarganegaraan, Undang-Undang tentang KUHP, Undang-Undang tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, juga berbagai peraturan pemerintah dan/atau menteri tentang perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.  

BACA JUGA:  Dorong Pemanfaatan Jaringan Tri, Kampanye ‘Jelajah Tri’ Berlanjut ke NTT

Khusus mengenai kekerasan seksual, sebenarnya kaum perempuan masih memerlukan undang-undang khusus, sebab perundangan yang ada sekarang terasa masih belum berperspektif korban, melainkan terkadang berpotensi memunculkan viktimasi terhadap korban. Misalnya, keterangan korban masih belum dianggap sebagai keterangan saksi sehingga pengusutan sering terhambat.

Menanggapi masalah tersebut, pemerintah telah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUUPKS). Randangan undang-undang tersebut merupakan rancangan undang-undang di Indonesia mengenai kekerasan seksual. RUU ini diusulkan pada tanggal 26 Januari 2016, yang isinya mencakup pencegahan, pemenuhan hak korban, pemulihan korban, hingga pengaturan tentang penanganan selama proses hukum.

Hingga saat ini dalam Rapat Kerja Badan Legislatif DPR RI, pemerintah, dan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI menyepakati UUPKS masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 dan Prolegnas 2020-2024. Tampaknya DPR RI belum siap benar dengan draf  RUUPKS. Karena itu, apa yang dikonsep oleh Komisi Perempuan tentang RUUPKS perlu jadi pertimbangan penting. RUUPKS dari Komnas perempuan mengandung empat poin, yakni (1) pengertian kekerasan seksual, (2) bentuk pidana kekerasan seksual, (3) penambahan bobot pidana supaya pelaku jerah dan tidak mengulangi kejahatannya selepas ditahan, dan (4) pemulihan korban dan keluarga.

Kekerasan seksual menurut Komnas Perempuan mencakup setidaknya 15 tindakan kejahatan, yakni pemerkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi-ancaman-percobaan perkosaan, pemaksaan kehamilan, prostitusi paksa, pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan dengan tujuan seksual, kontrol seksual seperti pemaksaan busana dan diskriminasi perempuan lewat aturan, penghukuman tidak manusiawi yang bernuansa seksual, praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan, dan pemaksaan sterilisasi (kontrasepsi).

Tentu masyarakat Indonesia mengharapkan pemerintah mempercepat lahirnya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (UUPKS). Kelahiran UUPKS menggambarkan hadirnya negara dalam memberikan perlindungan bagi warga negara yang mengalami kekerasan dan diskriminasi seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 dan Pancasila. UUPKS juga lahir sebagai payung hukum untuk melindungi dan mencegah kekerasan seksual yang secara kuantitatif dan kualitatif setiap dua jam sekali ada tiga perempuan Indonesia mengalami kekerasan seksual. Lahirnya UUPKS juga mengisi kekosongan atau ketidaklengkapan hukum tentang perlindungan untuk korban kekerasan seksual, mengingat delik kekerasan seksual dalam KUHP sangat terbatas, termasuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang tidak mengatur spesifik tentang eksploitasi sebagai bentuk jenis kekerasan seksual tersendiri. Mudah-mudahan harapan dan impian kaum perempuan di jalan perjuangan hukum tersebut menjadi kenyataan.***