Kupang, KN –Keluarga Konay kembali menegaskan posisi hukumnya, dalam perkara tanah seluas 9 hektare di Jl. Piet A. Tallo, Kota Kupang, yang kini menjadi objek perkara dugaan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan Tinggi NTT.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi III DPR RI yang digelar di ruang rapat utama lantai 3 Polda NTT, Jumat (25/7/2025), berbagai fakta hukum dan historis disampaikan oleh kuasa hukum keluarga Konay, Fransisco Bernando Bessi.
RDP tersebut dipimpin langsung oleh anggota DPR RI dari Dapil NTT 2, Stevano Adranacus dari Fraksi PDI Perjuangan, serta dihadiri oleh perwakilan Kejaksaan Tinggi NTT dan instansi terkait lainnya.
Dalam keterangannya usai RDP bersama Komisi III DPR RI, Fransisco Bessi menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan kasus ini. Ia menyebut, Kejaksaan Tinggi NTT menggunakan data, dari pihak-pihak yang menurutnya telah kalah dalam berbagai proses hukum sebelumnya.
“Yang kami sesalkan adalah data yang digunakan dalam proses penyidikan justru berasal dari pihak yang telah kalah dalam perkara sebelumnya, yakni Piet Konay dan Bartholomeus Konay,” ujar Fransisco Bessi kepada Koranntt.com.
Ia menjelaskan bahwa perkara tanah yang disengketakan ini sudah dieksekusi secara sah oleh Pengadilan Negeri Kelas 1A Kupang pada 8 September 1997, dan diperkuat oleh sejumlah putusan pengadilan lainnya yang memenangkan pihak keluarga Konay.
Selain itu, keluarga Konay juga sebelumnya telah memenangkan perkara terhadap keluarga Isliko yang sempat mengklaim sebagai pemilik lahan.
Putusan pengadilan mulai dari tingkat pertama hingga kasasi menolak gugatan tersebut. Bahkan, keluarga Isliko disebut telah menerima ganti rugi dari pemerintah Provinsi NTT sejak 1976.
Fransisco juga menyoroti perkara dengan Pemerintah Kabupaten Kupang, yang dalam putusan nomor 35 tahun 2012 hingga kasasi Mahkamah Agung nomor 1151, juga dinyatakan kalah. Dalam perkara tersebut, Pemkab Kupang bahkan diwajibkan membayar ganti rugi senilai Rp16,82 miliar kepada keluarga Konay akibat pembangunan jalan yang dilakukan di atas lahan tersebut. Namun hingga kini, kewajiban tersebut belum dilunasi.
“Paling penting, perkara ini sudah diuji secara hukum dalam berbagai tingkatan dan tetap memutuskan bahwa eksekusi sah. Jadi penyidik kejaksaan tidak dalam kapasitas menilai sah atau tidaknya eksekusi tersebut karena bukan domainnya,” tegas Fransisco.
Ia juga menyoroti gugatan Piet Konay pada tahun 2018, yang kembali dinyatakan kalah oleh pengadilan dari tingkat PN, PT, kasasi hingga PK. Menurutnya, hal ini semakin menegaskan bahwa Piet dan Bartholomeus Konay adalah pihak yang telah kehilangan legal standing atas tanah tersebut.
Ia menambahkan bahwa, pihak-pihak yang menjual tanah, seperti Yuliana Konay, Yonas Konay, dan Nixon Lili, selain telah meninggal dunia, juga telah kalah dalam perkara perdata yang berlangsung sejak 2015 hingga 2022.
“Semua data dan bukti hukum yang kami sampaikan telah diterima dengan baik oleh Komisi III DPR RI. Kasus ini juga menjadi atensi dari Ketua Komisi III, Bapak Habiburrahman,” tambahnya.
Fransisco mengapresiasi Ketua Tim Komisi III DPR RI Stevano Adranacus, yang telah memberikan pernyataan yang sangat penting, dalam closing statement saat RDP.
“Negara bisa salah, penyidik kejaksaan juga bisa salah. Terima kasih kepada keluarga Konay yang telah menyampaikan data-data ini,” ujar Fransisco menguti pernyataan Stevano.
Bessi memastikan pihaknya akan terus menjalin koordinasi dengan penyidik untuk membuka secara terang perkara ini.
“Kami tidak pernah menjual tanah itu. Khususnya klien kami, Bapak Marthen Soleman Konay, sama sekali tidak terlibat dalam transaksi apapun. Dan saya selaku kuasa hukum selama lima tahun terakhir memastikan itu,” tutupnya. (*)