Penulis: Wilibaldus Kuntam (Tenaga Ahli DPR RI)
Suhu politik menjelang pemilukada sudah terasa. Di berbagai media sosial dan media massa mulai muncul nama bakal calon kepada daerah. Tentu saja siapa yang layak terpilih pada pemilukada tahun ini adalah urusan rakyat. Namun, siapa bakal calon yang pantas diusung sangatlah penting jadi bahan diskursus di ruang publik.
Syarat menjadi kepala daerah banyak muncul dalam diskusi informal dan formal. Ada yang memberi syarat ideal, selagi itu hanyalah harapan yang tak kunjung tercapai. Betul sekali kata Franz Magnis Suseno. Ia bilang bahwa dalam pemilu kita tidak memilih pemimpin yang terbaik tetapi mencegah yang terburuk berkuasa. Itu artinya semua calon pemimpin adalah buruk tapi yang kurang buruknya itu yang dipilih. Pernyataan ini tentu bukanlah satu bentuk sikap pasrah dan penolakan aspek normatif kepemimpinan. Ini lebih menyangkut realitas politik. Tentunya, apa yang dibilang Magnis Suseno adalah harapan semua pihak meski kadangkala harapan begitu sering jatuh cinta pada kegagalan. Pemilukada justru memilih yang terburuk. Koreksi wakil rakyat Benny K. Harman beberapa waktu yang lalu bisa dilihat dalam arti itu. Dia bilang bahwa di NTT, pencuri dan setan bisa menjadi pemimpin asal punya uang (Pos Kupang.com, 20/03/2024). Ia rupanya begitu polos, lugas, dan terbuka berkata tentang realitas politik. Sebetulnya, bukan hanya anggota dewan itu saja yang memotret kenyataan politik lokal serupa. Banyak pihak juga merasakannya. Saya pun sesungguhnya tak gairah bicang pemilukada terutama di provinsi miskin ini sebab hingga kini NTT masih berstatus provinsi terbelakang dalam banyak aspek. Problem ini tentu kompeks. Ibarat benang kusut. Mengurainya pun membutuhkan kesengajaan dan kesabaran. Mungkin Anda mempunyai solusi mengurai kekusutan persoalan yang ada. Hemat saya, bolehlah kalau di sini kita melihatnya dari sisi paham yang bernama fundamentalisme pasar. Karena setiap paham membutuhkan pelaku, maka fundamentalisme pasar pun membutuhkan pelaku agar proyek predatornya bisa rampung. Katakanlah pelakunya itu adalah “para Tuan”. Para Tuan ini terdiri dari kelompok orang yang mengejar kepentingan diri. Tuan-tuan ini bergerak dengan logika homo economicus. Artinya manusia adalah makhluk ekonomi. Lantas, apa yang menjadi persoalan dari homo economicus? Persoalannya bisa dijelaskan begini. Dalam logika homo economicus, manusia adalah makhluk ekonomi tak hanya pada aspek ekonomi saja tetapi juga bidang lain (Herry B. Priyono, 2008). Jadi, manusia direduksi hanya menjadi makhluk ekonomi saja. Nyatanya, manusia adalah makhluk multidimensional. Manusia adalah makhluk sosial (homo socius), makhluk budaya (homo culturalis) dan sebagainya. Soal ini mungkin butuh contoh sederhana. Budi terpilih menjadi kepala daerah di kabupaten A. Selama berkuasa, Budi praktis hanya mengejar kepentingan diri. Demi pemenuhan kepentingan diri, maka keputusan dan kebijakannya lebih didasari kalkulasi untung dan rugi. Kalau merugikan dirinya, ia tidak mengambil keputusan apapun. Kalau menguntungkan diri sendiri, segala keputusan dan kebijakan dibuat dengan begitu cepat. Bagaimana dengan kepentingan umum dan kesejahteraan sosial? Itu sama sekali bukan tujuan utama ia memimpin tetapi hanyalah akibat yang tidak disengaja. Lugasnya, kalau saja keputusan dan kebijakan yang diambilnya menguntungkan masyarakat, ya syukurlah tapi kalau tidak menguntungkan, memang bukan itu tujuannya. Karenanya, Anda tak perlu kaget bila “para petani” yang merupakan pekerjaan mayoritas masyarakat di NTT belum bebas dari derita kelaparan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial.
Melawan para Tuan tidaklah gampang sebab kekuasaan mereka sangat besar.
Kuasa Tuan
Semenjak orde baru tumbang, para Tuan kehilangan kekuasaannya. Untuk mendapatkan kembali kekuasaan itu, maka mereka menyesuaikan diri dengan arus gelombang demokratisasi lokal. Para Tuan yang beroperasi tingkat nasional menyadari betul bahwa tanpa dukungan Tuan tingkat lokal, mereka akan kehilangan kendali (Max Lane, 2014). Hanya dengan langkah itu, kelompok predator ini mampu mendapatkan kekuasaan.
Mengapa mereka mampu berkuasa? Ini pertanyaan klasik yang sering muncul. Sebabnya tentu beragam. Bisa jadi “modal ekonomi” Tuan-tuan bisa menjelaskan soal ini. Pierre Bourdieu bukan kebetulan bilang bahwa kapital ekonomi merupakan modal hidup manusia yang mudah dialihkan ke modal-modal yang lainnya, misalnya modal sosial, budaya dan simbolik (Haryatmoko, 2023). Soal ini contoh sederhana berikut bisa membantu. Seorang Anton mempunyai modal ekonomi (uang) yang banyak. Uang ini menjadi alat yang dipakai untuk mendapatkan modal simbolik seperti kepala daerah. Jabatan sebagai Gubernur, Bupati atau Walikota didapat dengan mudah karena mempunyai modal ekonomi. Lalu apa yang salah dengan semua ini? Memperoleh modal ekonomi yang banyak tentu tak salah sebab itu hak setiap orang. Saya dan Anda tak bisa melarang siapapun untuk menjadi miliarder. Saat yang sama, siapapun tak bisa melarang orang menjadi miskin. Dari sini, kita kembali menengok sejarah. Ia memberikan pelajaran bahwa pembagian kekuasaan berdasarkan kekuasaan material sangat bertahan lama bahkan seusia rasi manusia (Jefrey A.Winters, 2014). Meski begitu, para Tuan menjadi problem dalam demokrasi justru karena mereka beroperasi dengan logika homo economicus sepertidisinggungdi awal tulisan ini. Bila ini dibilang cacat, maka ini adalah cacat bawaannya. Karenanya, jangan heran apalagi marah lantaran mereka hanya sibuk mencari keuntungan diri selama menjadi penguasa. Mereka tak pedui dengan kemiskinan ekstrem dan pengangguran yang kian meningkat. Para Tuan tak pikir dengan banyak anak di daerah yang menderita kurang gizi. Mereka pun tak gubris dengan urusan jurang antara kelompok miskin dan kaya semakin melebar. Para Tuan hanya membangun siasat memperkaya diri sekalipun hasil korupsi. Kita tak boleh lupa dengan kisah memalukan Tuan-tuan di NTT. Begitu banyak para Tuan terpenjara karena korupsi uang rakyat. Lantas, apa pemilukada tahun 2024 para Tuan akan berkuasa? Jawabannya bisa ya. Bisa juga tidak. Rakyatlah yang yang berdaulat memilih. ***