Ruteng, KN – Sengkarut objek tanah di Nanga Banda Reok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga saat ini belum menemui titik terang.
Pemda Manggarai maupun pemilik tanah masih saling klaim terkait kepemilikan sah atas objek tanah tersebut. Terbaru, Pemda Manggarai menggusur tanah milik H. Zainal Arifin Manasa, yang diketahui telah mengantongi bukti kepemilikan.
Zainal Arifin Manasa, selaku pemilik tanah, menjelaskan, sejak masa kesulitan Bima di wilayah Kecamatan Reok, yang dipimpin Naib (raja bicara), Abullah Daeng Mananja tahun 1930 silam, terdapat juga staf kerajaan, atau dikenal dengan istilah Rato (tetua) yang bernama Abdurrahman.
Abdurrahman kemudian memiliki seorang anak bernama Khadijah. Ia kemudian dipersunting oleh Muhammad Saleh Daeng Manasa, yang saat itu menjabat sebagai Kades Nanga Lare untuk tiga wilayah. Diantaranya Desa Reok, Desa Baru dan Desa Kedindi.
Menurut Zainal, pada tahun 1960 silam, Muhammad Saleh Daeng Manasa sempat menjabat juga sebagai Kepala Kampung Bari selama 4 tahun, sebelum ada Pilkades gaya baru untuk dua wilayah, yaitu Nange Lere dan Tengku Romot.
Ia menjelskan, dari pernikahan Muhammad Saleh Daeng Manasa dan Khadijah, mereka kemudian dikaruniai empat orang anak bernama Marwia Manasa, Syarifudin Manasa, Marlia Manasa dan H. Zainal Arifin Manasa.
“Dari empat kakak beradik itu, Syarifudin Manasa yang sudah meninggal dunia,” ujar H. Zainal Arifin Manasa kepada wartawan, Jumat 1 Juli 2022.
Berdasarkan fakta itu, kata dia, maka duduk letak penguasaan tanah Nanga Banda oleh H. Zainal Arifin Manasa sangat jelas, karena ia merupakan keturunan langsung dari kakeknya Abdurrahman, melalui garis sang ibu Khadijah yang merupakan anak tunggal dari Abdurrahman sebagai Rato.
“Pemberian tanah Nanga Banda ke Manasa dapat dianggap sebagai simbol kedekatan sekaligus hubungan baik antara Naib dan Rato. Setelah Rato (Abdurrahman) meninggal, lahan tersebut secara otomatis dikuasakan kepada Khadijah, ibu kami dan selanjutnya diserahkan ke saya waktu saya muda,” jelasnya.
“Penguasaan lahan oleh saya di Nanga Banda diperkuat dengan beberapa alat bukti, berupa hak atas tanah yang dikeluarkan Lurah Kelurahan Reo yaitu Badarudin Har pada tahun 2011 yang dikemudian hari terjadi pembaruan pada tahun 2020 di bawah kepemimpinan Lurah Yos Sudarso,” jelasnya menambahkan.
Ia menerangkan, objek tanah itu kemudian dimanfaatkan untuk tambak garam. Sementara dilahan kering digunakan sebagai lokasi penggembalaan hewan ternak sapi dan kerbau. Tanah warisan itu juga digunakan warga sekitar untuk menggarap.
“Sebagai catatan bahwa aktifitas pertanian garam di Nanga Banda sudah eksis jauh sebelum pemerintah kabupaten Manggarai dibentuk. Tambak garam Nanga Banda berkontribusi terhadap program pengembangan garam yodium pada tahun 2001,” ungkapnya.
Menurut Arifin, ia selalu rutin membayar pajak, hanya belum mengurus sertifikat, dikarenakan persoalan administrasi di tingkat Desa Reok dan Desa Baru.
“Tetapi surat pajak dari tahun 1984 hingga tahun 2021 menjadi bukti autentik bahwa lahan seluas 3 hektare di Nanga Banda adalah milik saya,” tandasnya.
Objek tanah milikĀ H. Zainal Arifin Manasa dipagar sejak lahan itu digarap. Namun pagar yang dibuat adalah pagar bambu, sehingga gampang dirusak sapi yang diikat dan berkeliaran di lokasi tersebut.
“Pada bulan Juli 2021,l saya mengganti pagar bambu dengan tiang beton dan kawat duri. Hal itu kemudian menjadi alasan bagi pihak tertentu mengarang cerita tentang tanah kami di lokasi Nanga Banda,” beber H. Arifin.
Bukan di tanah pemda
Zainal Arifin Manasa membenarkan klaim kepemilikan tanah Pemda Manggarai di Nanga Banda. Namun posisi tanah Pemda berbeda titik dengan tanah miliknya.
“Saya berbatasan langsung di sebelah Timur dengan tanah pemda. Dari pilar yang saya buat hingga ke sisi utaranya mencakup arena pacuan kuda,” terang Arifin.
Ia menambahkan, tanah milik Pemda merupakan tanah yang pada masa kolonial diserahkan kepada pihak Belanda oleh Raja Bicara Abdullah Daeng Mananja dengan alasan untuk dijadikan pangkalan udara guna mendukung aktifitas penjajahan pada masa itu. (*)