Opini  

Perang Semua Melawan Semua

Leo de Jesus Leto

Oleh: Leo de Jesus Leto

“La guerra es un lugar donde
jóvenes que no se conocen
y no se odian se matan entre sí,
por la decisión de viejos
que se conocen y se odian,
pero no se matan…”
Erich Alfred Hartmann
(1922-1993)

Pada 24 Februari 2022, Presiden Rusia, Vladimir Putin membuat kejutan luar biasa di tengah dunia masih sedang hiruk-pikuk berperang melawan musuh bersama umat manusia, yaitu Covid-19.

Dari atas kursi empuk kekuasaan, Putin mengeluarkan sebuah titah maut kepada para serdadunya untuk menginvasi Ukraina. Tuan Vladimir Putin lebih memilih untuk membantai tetangga di samping halaman teritorinya dari pada memikirkan problem pandemi. Api perang pun segera berkobar di tanah air mantan pemain ternama AC Milan, Andry Shevchenko.

Dalam karya Plato berjudul Matinya Socrates yang diterjemahkan oleh A. Asnawi, Socrates mengajukan beberapa pertanyaan kepada Simmas sahabatnya soal peperangan. Katanya, “Karena dari manakah datangnya perang, pertempuran, dan perselisihan? Dari mana kalau bukan dari tubuh dan nafsu tubuh? Karena perang berkobar akibat kecintaan pada uang, dan uang harus diperoleh demi dan melayani tubuh” (Plato, 2017: 18).

Kita tentu saja sepakat dengan tesis Socrates ini. Namun, bukan soal nafsu pada uang saja perang bisa meletus, problem ideologi politik juga sangat rentan menggiring manusia ke arena perang untuk saling menghabisi.

Bencana kemanusiaan yang sedang terjadi di Ukraina saat ini lebih kepada masalah ideologi politik antara dua negara tetangga itu. Moskow mati-matian melarang Ukraina untuk berkawan terlalu lekat dengan Barat dan masuk dalam anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO). Sebab seandainya Ukraina masuk dalam keanggotaan NATO, maka bisa saja NATO akan membangun pangkalan militernya di sana.

Sementara itu, Kiev bersikukuh ingin bergabung dengan NATO agar memperkuat sistem pertahanan militernya. Mengapa Putin begitu keras melarang Ukraina untuk bergabung dengan NATO dan nekat menginvasi Ukraina? Jangan-jangan Putin sedang diganggu oleh bayangan masa lalu Perang Dingin? Atau barangkali Putin sedang timbang-timbang bahwa jangan sampai segera sesudah Kiev bergabung dengan Barat, NATO akan segera merontokkan kekuasaannya seperti yang pernah terjadi pada Saddam Husein di Irak 2003? Ataukah karena alasan historis dan kultural antara Rusia-Ukraina yang masih sangat dekat; atau karena sebuah konsensus masa lalu antara Moskow-Kiev yang kini tidak lagi diindahkan oleh Ukraina? Mungkin saja. Kita tidak bisa tahu pasti. Hanya Tuhan, Putin dan Ukraina yang tahu.

Tapi, menginvasi sebuah negara berdaulat dengan kekuatan militer dan membunuh ratusan warga sipil yang tidak berdosa dan tidak bermusuhan langsung dengan Putin adalah sebuah perbuatan yang tidak bisa dibenarkan secara hukum. Bukankah setiap negara berdaulat berhak mutlak untuk menentukan arah hidup rumah tangganya?

Drama serangan militer Rusia ke Ukraina telah menarik banyak negara terlibat di dalamnya. Negara-negara Barat secara tidak langsung sebenarnya sudah ikut bermain di dalam arena perang tersebut.

Cara bermain mereka cantik-cerdik, yakni melalui pengiriman bantuan sejata kepada militer Ukraina dan menjatuhkan sanksi ekonomi terberat kepada negeri beruang putih itu. Dalam konteks ini, Ukraina sebenarnya menjadi korban dari dua kekuatan ini.

Barat mengatakan bahwa mereka baru akan menghajar Rusia, seandainya anak buah Putin di lapangan perang melangkah ke dalam teritori dari salah satu negara anggota NATO sekalipun hanya satu inci saja. Namun, Putin tidak ambil pusing. Beliau kembali mengancam Barat dengan nuklirnya. Ia sudah memerintahkan pasukannya untuk menaikkan status siaga nuklir.

Selain itu, para sekutu Rusia pun sudah menyatakan siap sedia untuk mengirim pasukannya membantu Putin menggapai ambisi politiknya. Ini memang jalan cerita yang tidak main-main. Sangat berbahaya, bukan hanya bagi Ukraina dan Rusia, tapi juga bagi umat manusia di planet bumi ini.

Melihat lagak Putin yang terlalu keras tersebut Olga Tarnosvka, seorang jurnalis senior Ukraina dalam wawancaranya dengan stasiun televisi swasta Mega Noticia pada 1 Maret kemarin mengatakan bahwa Putin adalah seorang lelaki yang memiliki otak yang sangat sulit untuk diuraikan.

Sesungguhnya dia adalah seorang diktator yang tidak sedang berpikir baik sebagai manusia. Dia adalah orang yang sedang sakit. Dia sendiri tidak peduli dengan orang-orangnya dan membajak pikiran negara lain (Ukraina).

Mungkinkah Perang Dunia III akan terjadi pada hari-hari ke depan? Hanya Tuhan dan Putin yang tahu. Seperti yang dikatakan oleh Yesus dari Nazaret bahwa segala sesuatu adalah mungkin.

Dunia ini mau aman atau kacau berantakan itu tergantung kepada tuhan-tuhan dunia (para pemimpin) yang suka buat keputusan-keputusan aneh. Namun, tentu saja umat manusia tidak menginginkan lagi tragedi pilu masa lalu Perang Dunia I dan II terulang pada abad 21 ini.

Senandainya akan pecah Perang Dunia III, maka ini bukan saja sebuah dekadensi moral, melainkan juga sebuah kemerosotan peradaban di tengah umat manusia sudah sedang berada di atas puncak menara sains dan teknologi mutakhir.

Ini menunjukkan bahwa ketika manusia semakin pintar atau beradab dan telah memeliki segala kekuatan teknologi tercanggih di tangannya hastratnya untuk membunuh jauh lebih dahsyat dan destruktif.

BACA JUGA:  Pentingnya Imunisasi pada Anak: Mengapa Vaksinasi Tidak Bisa Diabaikan

Menyaksikan permainan perang yang sudah sedang terjadi di Ukraina saat ini, kita teringat kondisi alamiah dalam filsafat politik Thomas Hobbes (1588-1679). Kondisi alamiah ini bisa diringkas sebagai berikut. Dalam kadaan alamiah manusia hidup setara, bebas, hidup dalam persaingan, saling mencurigai dan bermusuhan. Setiap orang bisa mengklaim apa pun untuk kepentingan dirinya. Akibatnya, manusia menjadi seperti singa bagi yang lain (homo homini lupus). Manusia menggunakan kekerasan untuk saling menaklukkan satu dengan yang lain. Siapa yang kuat ia akan menjadi tuan atas yang lain dan dengan bebas bisa merampas apa saja yang diinginkannya. Karena itu, terciptalah permusuhan di antara manusia dan perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes). Konsekuensi terburuk dari semuanya itu ialah manusia hidup menyendiri dalam ketakutan, mati dalam keadaan yang kejam, miskin, jahat dan brutal (Thomas Hobbes, 1873: 95-97).

Adalah kurang pas kalau menyamakan secara mutlak kondisi alamiah Hobbes dengan kondisi hidup manusia di abad 21 ini. Namun demikian, satu hal yang agak mirip dengan kondisi alamiah ala Hobbes pada abad 21 ini ialah problem persaingan dan kondisi bellum omnium contra omnes yang sudah sedang terjadi akhir-akhir ini terutama dalam konteks perang di Ukraina.

Moskow menginvasi Ukraina, sementara itu, Barat dan beberapa negara Asia seperti Jepang, Singapura dan Korea Selatan kompak membabat Rusia melalui sanksi ekonomi, pelarangan total bagi kaum olahragawan Rusia untuk tampil di seluruh ajang internasional.

Inilah factum perang semua melawan semua ala abad 21. Harap-harap saja perang ini tidak berlanjut ke perang fisik terbuka dengan mengerahkan kekuatan militer penuh dan senjata nuklir ke Ukraina lantaran dampak destruktifnya akan jauh lebih besar dari pada Perang Dunia II.

Pada titik ini kita kembali mengajukan pertanyaan Socrates di atas. Dari manakah datangnya perang, pertempuran dan perselisihan? Menurut Hobbes, secara kodrati ada tiga hal yang menyebabkan lahirnya perang atau perselisihan, yaitu kompetisi atau persaingan, keberanian dan reputasi. Sudah lama Rusia bersaing dengan dunia Barat.

Sejak 24 Februari lalu Putin dengan keberaniannya mau cari masalah dengan Barat demi mengamankan tetangganya Ukraina dari pengaruh Barat. Karena Barat pun sering mencari masalah dengan Rusia.

Dengan ini Putin mau menunjukkan kepada Barat bahwa Rusia adalah sang berunag putih yang sangat tangguh dan berani melabrak siapa saja di planet bumi ini tanpa rasa takut sedikit pun, sekalipun Moskow hanya seorang diri. Adegan keberanian Moskow ini ialah demi reputasi atau harga diri bangsa Rusia agar tidak dianggap sepele oleh Barat yang berjumlah puluhan negara.

Begitulah perjalanan hidup manusia selalu dihiasi oleh kompetisi yang bisa menimbulkan riak-riak problematis dalam masyarakat pada setiap zaman. Manusia zaman ini memang problematis dan suka cari gara-gara dengan sesamanya hanya karena ego dan kepentingannya semata.

Pada titik ini benar apa yang dikatakan oleh Martin Heideger, “…Tidak pernah ada manusia pada zaman apa pun yang menjadi begitu problematis seperti pada masa kita saat ini” (José Ángel García Cuadrado, 2010: 22).

Tentu saja yang dimaksud oleh Heideger ialah manusia pada eranya. Namun, manusia pada abad 21 ini juga cukup problematis selagi mereka yang berkuasa seperti Putin dan adidaya seperti Barat dan Rusia menjadi singa buas terhadap mereka yang lemah seperti Ukraina dan negara lainnya.

Barangkali satu alternatif terbaik bagi Kiev untuk tidak bertubi-tubi menjadi korban pertarungan Barat dan Moskow ialah memilih jalan menjadi negara netral. Sebab kalau tidak, Kiev akan tetap menjadi arena uji coba persenjataan canggih kedua kekuatan itu dan kuburan bagi warga sipil serta anak-anak Ukraina yang tidak berdosa.

Impak lain dari itu ialah kaum muda yang tidak saling mengenal dan membenci dipersenjatai dan digiring ke dalam medan perang untuk saling membunuh karena keputusan seorang pemimpin tua yang tidak sedang berpikir sehat.

Maka, tepat apa yang dikatakan oleh mantan pilot pesawat tempur era Nazi, Erick Alfred Hartmann dalam frasa bahasa Spanyol di atas: “Perang adalah sebuah tempat di mana kaum muda yang tidak saling mengenal dan membenci saling membunuh, karena keputusan kaum tua yang saling mengenal dan membenci, tapi mereka tidak saling membunuh”.

Saya kira ide ini cukup cemerlang. Secara tidak langsung Hartmann sebenarnya ingin mengganggu pikiran kaum muda di mana pun berada, supaya lebih berpikir cerdas dalam mengolah setiap keputusan yang keluar dari otak elit politik dan para pemimpin tua dengan logika yang ketat dan kritis. Dengan demikian, kaum muda tidak gampang termakan oleh retorika provokatif-destruktif kaum kelas atas dan dibebaskan dari sebuah keputusan irasional yang bisa membuat orang-orang muda saling membunuh tanpa harus memusuhi. (*)