Karyawan di Manggarai Bekerja 22 Tahun, Tapi Dipecat Tanpa Pesangon

Mediasi karyawan Rofinus dan pihak perusahan CV Surya / Foto: Yhono Hande

Ruteng, KN – Pandemi COVID-19 bukan hanya berdampak pada kesehatan, melainkan juga berdampak pada sektor perekonomian, sehingga berujung pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan.

Mirisnya, para pekerja di beberapa perusahan harus menanggung resiko seperti tidak mendapatkan upah, atau gaji dan pesangon ketika diberhentikan secara sepihak oleh pemilik perusahan.

Rofinus Halut, Warga Desa Wudi, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, NTT pun mengalami nasib demikian. Ia mengaku ditindas dan dipecat oleh pengusaha bengkel kayu CV Surya pada Februari 2021, tanpa pesangon.

“Saya sudah bekerja di perusahaan itu selama kurang lebih 22 tahun. Saya masuk kerja sejak 08 Februari tahun 1999. Saya selalu bekerja dengan baik dan mendapatkan upah setiap bulan,” Cerita Rofinus kepada wartawan belum lama ini.

Selama bekerja di perusahan tersebut, ia mengaku selalu konsisten dan loyal, bahkan jika perusahan itu pindah tempat ke lokasi lain. Selain itu, selama bekerja, Rofinus selalu menyempatkan diri untuk bekerja lembur, walaupun tanpa bayaran.

“Saya punya rasa memiliki terhadap perusahaan, dan sangat berharap hal itu juga dirasakan oleh pemilik perusahaan termasuk anaknya yang saat ini memimpin perusahaan itu.
Ternyata tidak. Saya malah diabaikan dan mereka memecat saya tanpa mempertimbangkan jasa. Bahkan tidak ada pesangon yang diberikan,” ungkapnya.

Ia mengaku sudah tidak bisa bekerja lagi, sebab tenaganya sudah habis bekerja selama 22 tahun di perusahaan tersebut.

“Waktu saya sejak 22 tahun lalu hingga 2021, ini dihabiskan dengan bekerja di perusahaan. Lalu saya dipecat begitu saja. Menurut saya ini tidak adil. Saya harap pemerintah tentu bisa mengatasi persoalan buruh kecil seperti saya ini,” tutur Rofinus

Kisah Dipecat

Pada bulan Februari 2021, Rofinus tetap kerja seperti biasanya seperti para pekerja lain. Namun waktu itu ia mengalami sakit yang tidak biasa yaitu kerasukan di tempat kerja. Karena mengalami kerasukan, ia meminta izin untuk pulang berobat secara tradisional atau terapi di kampung.

“Sebab saya pikir sakit yang saya alami tidak ada di Rumah Sakit, dan pihak perusahaan mengetahui hal itu. Sehingga saya minta izin untuk pulang,” jelasnya.

Ketika sedang menjalani pengobatan di kampung, perusahaan mengirimkan uang sebesar Rp500.000 untuk berobat. Ia menuturkan sempat menolak karena jumlahnya terlalu besar, namun istri menerimanya karena menganggap sakit yang ia derita butuh biaya pengobataan secara tradisional.

“Saat konfirmasi, mereka bilang uang itu Bos di Manado yang kirim. Saya berpikir uang itu terlalu besar, karena biasanya setiap kali pegawai sakit, uang yang diberikan untuk berobat hanya sekitar Rp100.000,” tuturnya.

Akhirnya Rofinus pun berobat di Manggarai. Namun pengobatan tersebut belum membuahkan hasil maksimal, akhirnya dia memutuskan berobat ke Makasar hingga sembuh.

Saat kembali dari Makassar, dia merasa sudah sembuh dan kembali bekerja seperti biasanya. Hari pertama anak Bos memperbolehkan dirinya bekerja, namun dia mengarahkan Rofinus untuk kembali melakukan terapi tradisional dan pergi Romo Ompy di Ruteng.

BACA JUGA:  PMKRI Ruteng Minta APH Usut Keberadaan Kapal Pinisi Milik PT. Jaswita di Labuan Bajo

“Tiga hari setelahnya saya bekerja normal. Tiba-tiba dia memberhentikan saya dengan alasan karena perusahaan sepi. Saya kaget padahal bapaknya tidak pernah memecat karyawan walaupun perusahaan sepi,” ungkap Rofinus.

“Saya bertanya kepada dia,  bagaimana dengan saya ini, apakah dipecat begitu saja? Dia menjawab iya. Saya tanya masa tidak ada uang pesangon dia bilang tidak ada,” sambungnya.

Mengadu ke Dinas 

Merasa ditindas dan haknya diabaikan, Rofinus mengajukan surat ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Manggarai pada 11 Juni 2021. Surat tersebut memuat pengaduan tentang persoalan yang dialami Rofinus dan berharap ada jalan keluar dari pihak Dinas Ketenagakerjaan.

Pemerintah kemudian mengundang Rofinus dan pihak perusahaan untuk melakukan mediasi. Namun pada jadwal mediasi pertama yang dilaksanakan pada 29 Juni 2021, pihak perusahan yang diwakili pemiliknya yaitu Sandy Tunti tidak hadir.

Mediasi kedua pada 13 Juli 2021 yang dihadiri kedua bela pihak pun tidak menemukan titik temu, karena pemilik perusahab tidak mau bertanggung jawab untuk memberikan hak Rofinus sebagai pegawai yang telah dipecat

“Bagi saya ini adalah bentuk penindasan yang luar biasa terhadap kami orang kecil,” jelasnya.

Mediasi ketiga pun dilakukan di ruangan aula DPMKUT Manggarai dan dipimpin oleh Adrianus Jeku, S.Ap, didampingi oleh (Kasi Advokasi) Patric Pu’ung,SH.

Adrianus Jeku, yang memimpin sidang membuka dengan memberikan arahan bahwa mediasi dilakukan untuk menemukan titik terang terhadap persoalan yang dialami oleh kedua belah pihak.

Pihaknya tidak melihat sisi benar dan salah, namun sebagai orang Manggarai kedua belah pihak, baik dari pihak pengusaha maupun dari pihak buruh membuka diri dan hati agar persoalan bisa diselesaikan ke dalam.

“Kita upayakan persoalan ini diselesaikan secara baik-baik. Ini bukan lembaga penegakan hukum tetapi kita minta kedua bela pihak untuk saling memahami,” kata Adrianus.

Sementara Sandy Tunti selaku ahli waris tunggal perusahaan CV Surya di hadapan mediator menjelaskan bahwa, perusahaan tersebut diserahkan bapaknya hanya berupa aset, tanpa uang.

Pada saat pemberian ahli waris, ayahnya juga memberikan nama-nama karyawan, dan di dalam daftar nama karyawan tersebut, tidak ada nama Rofinus.

“Saya dipaksa bagaimanapun tidak akan bisa, karena saya tidak punya uang. Saya juga putus komunikasi dengan orang tua yang di Manado jadi saya tidak tahu ambil uang di mana. Waktu pengalihan perusahaan ke saya, ternyata dia punya nama itu sudah tidak ada,” jelas Sandy.

Selain Rofinus, kata Sandy, ada beberapa karyawan lainnya yang terkena PHK, namun pihaknya juga memberikan uang terima kasih yang dikirim langsung dari ayahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Sandy juga menegaskan hanya bisa memberikan pesangon sebesar Rp500.000.

Mendengar hal itu, Rofinus menuntut Sandy untuk membayar pesangon yang diminta sebesar Rp36 Juta. Rapat berlangsung alot, sehingga pemerintah memutuskan untuk menunda mediasi dan dijadwalkan kembali pada Jumat pekan depan. (*)

IKUTI BERITA TERBARU KORANNTT.COM di GOOGLE NEWS