Sulit Cari Kerja, Banyak Lulusan Sarjana di NTT Banting Stir Jadi Petani

Preadi Ola / Eman Krova

Kupang, Koranntt.com – Sulitnya mendapat pekerjaan yang layak, membuat sejumlah lulusan Perguruan Tinggi ternama di Kota Kupang, NTT rela banting stir menjadi petani.

Fenomena ini tentu menjadi pukulan telak bagi pemerintah, karena belum berhasil menciptakan lapangan pekerjaan bagi generasi muda di negeri ini.

Seperti yang dialami Preadi Ola. Pria 26 tahun itu rela menjadi petani, meski ia merupakan lulusan Sarjana Ilmu Politik dari kampus Universitas Nusa Cendana Kupang, sejak tahun 2018.

Menurutnya, Sarjana hanya sebuah titel, karena telah melewati proses belajar untuk membentuk pemikiran, karakter, serta wawasan yang luas.

“Sehingga menjadi seorang petani merupakan sebuah pilihan, dan cara yang tepat dalam berinvestasi untuk masa depan,” ungkap Preadi kepada Koranntt.com, Kamis 18 Februari 2021.

Ia merasa miris melihat banyaknya Sarjana yang lebih memilih bekerja kantoran, bahkan banyak pula yang rela menganggur bertahun-tahun demi menunggu tes CPNS.

Zaman sekarang, lanjutnya, Generasi muda harus bisa mandiri dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk dapat memenuhi kebutuhan, apalagi di tengah pandemi Covid-19.

“Jangan beranggapan petani merupakan pekerjaan yang kurang bergengsi dan disepelekan. Karena pertanian merupakan sektor penting dalam mendukung perputaran ekonomi,” jelasnya.

BACA JUGA:  Ini Nama Calon Wakil Bupati Ende yang Diusulkan Parpol Pendukung

Merujuk pada situasi dan kondisi tersebut, Preadi menutuskan untuk menjadi sorang petani. Walaupun latar belakang pendidikannya bukan seorang Sarjana Pertanian.

“Bermodalkan niat dan keberanian, saya mau membuktian bahwa bertani bukanlah pekerjaan yang hina, kotor dan tidak menjanjikan,” ungkap pria yang akrab disapa Pirlo itu.

Usaha tersebut baru dilakoni sejak tahun awal tahun 2021, namun hasilnya sangat membantu perekonomian keluarganya.

Terutama saat pandemi Covid-19, yang membuat banyak masyarakat sulit mencari pekerjaan dan PHK terjadi di mana-mana.

“Dari hasil pertanian tomat, buncis dan jagung, didistribusikan ke sejumlah pasar di Kota Kupang untuk dijual. Hasilnya sangat membantu perekonomian keluarga,” ujarnya.

Preadi mengungkapkan, kendala terbesar adalah kurangnya pasokan sumber air, sehingga membuat banyak petani termasuk dirinya sangat kesulitan mengembangkan usaha mereka.

“Air merupakan urat nadi pertanian. Bagaimana kami mau bertani kalau pasokan air tidak ada. Saya harap pemerintah dapat memperhatikan kendala kami saat ini,” imbuhnya. (EK/AB/KN)