Hukrim  

Aktivis Delpedro Marhaen Ditahan Polisi, Baptista Veranius Angkat Bicara

Baptista Veranius Mudiranto. (Foto: Dok. Istimewa)

Jakarta, KN – Dua peristiwa hukum yang mencuat hampir bersamaan menyingkap wajah timpang penegakan hukum di Indonesia. Direktur Eksekutif Lokataru, Delpedro Marhaen, ditangkap dan ditahan secara kilat.

Sementara itu, tujuh anggota Brimob yang diduga menewaskan pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, hingga kini belum jelas status pidananya.

Kontras mencolok ini menimbulkan pertanyaan besar di tengah publik. Mengapa seorang aktivis sipil diproses hukum dengan cepat, sedangkan aparat bersenjata yang terlibat dalam hilangnya nyawa warga justru dibiarkan tanpa kepastian.

Praktisi hukum Baptista Veranius Mudiranto menilai perbedaan perlakuan itu mencerminkan standar ganda yang mencederai prinsip konstitusi.

“Seorang aktivis ditangkap malam hari, besoknya langsung jadi tersangka. Sementara aparat yang melindas demonstran hingga tewas, status hukumnya tidak jelas sampai hari ini. Ini ketidakadilan yang kasat mata,” ujar Baptista kepada wartawan KoranNTT.com saat dimintai tanggapan di Senayan, Jakarta Selatan, Minggu (7/9) sore.

Delpedro ditangkap pada 1 September 2025 di kantor Lokataru. Sehari setelahnya ia ditetapkan tersangka dengan pasal berlapis, mulai dari Pasal 160 KUHP, Pasal 28 ayat (3) UU ITE, hingga Pasal 76H UU Perlindungan Anak. Bagi Baptista, langkah cepat kepolisian itu sarat kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi.

“Ekspresi politik damai tidak bisa serta-merta dipidanakan. Penahanan Delpedro lebih tampak sebagai upaya membungkam kritik ketimbang penegakan hukum objektif. Polisi sebaiknya membebaskan karena dasar hukumnya masih diragukan,” kata Baptista.

Di sisi lain, proses hukum terhadap tujuh anggota Brimob yang diduga terlibat dalam tewasnya Affan Kurniawan pada 28 Agustus 2025 berjalan lamban. Meski Propam Polri telah menjatuhkan sanksi etik, perkara pidananya hingga kini masih kabur.

“Nyawa seorang warga negara melayang, tapi proses pidana aparat tetap abu-abu. Hukum kita terlihat lebih tajam ke rakyat sipil, namun tumpul ketika berhadapan dengan aparat bersenjata. Ini preseden berbahaya,” tegasnya.

Ia menegaskan, perlakuan berbeda dalam dua kasus ini bertentangan dengan asas equality before the law yang dijamin konstitusi. Menurutnya, hukum yang hanya tajam ke bawah akan kehilangan legitimasinya di mata rakyat.

“Jika asas persamaan di depan hukum hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara aparat dilindungi, maka hukum kehilangan wibawanya. Keadilan tidak boleh dipilih-pilih,” jelas Baptista.

Baptista juga mengingatkan bahwa kepolisian harus kembali pada jati diri sebagai pengayom rakyat, bukan alat untuk melemahkan suara kritis.

“Nyawa rakyat tidak boleh diremehkan. Aparat harus menunjukkan sikap adil agar hukum dipandang sebagai penjamin keadilan, bukan sumber ketakutan,” tambahnya.

Baptista Veranius Mudiranto juga mendesak Presiden Prabowo Subianto, Kapolri, serta lembaga independen seperti Kompolnas, Komnas HAM, dan DPR untuk turun tangan mengawal kasus ini.

“Presiden harus mengambil sikap, Kapolri wajib bertindak, dan lembaga pengawas mesti memastikan keadilan ditegakkan. Jika hukum terus diperlakukan sebagai alat kekuasaan, maka negara akan runtuh di mata rakyat,” pungkasnya mengakhiri. (*)

IKUTI BERITA TERBARU KORANNTT.COM di GOOGLE NEWS