Kupang, KN – Kegiatan Golkar Academy hari kedua yang berlangsung Selasa (30/4/2024) di Kantor DPD (Dewan Pimpinan Daerah) I Partai Golkar Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadirkan pembicara dari kalangan profesional dan aktivis.
Narasumber yang dihadirkan adalah Provincial Governance Advisor The Asia Foundation (TAF) George Hormat, dan Wily Soeharly yang adalah salah satu aktivis kemanusiaan di Provinsi NTT.
Provincial Governance Advisor The Asia Foundation (TAF) George Hormat yang ditemui awak media di sela-sela kegiatan Golkar Academy mengatakan, ada dua hal yang dibagikan kepada kader Partai Golkar NTT.
Pertama adalah bagaimana memanfaatkan instrumen keterbukaan informasi publik, dan kedua adalah bagaimana menangani pengaduan masyarakat (complain handling).
“Dua instrumen ini bisa dipakai oleh kader Partai Golkar untuk melawan korupsi,” ujar George Hormat.
Ia menuturkan, dasar pelaksanaan kedua instrumen tersebut sudah diatur dalam Undang-undang. Sehingga bisa dimanfaatkan oleh kader Partai Golkar baik di eksekutif maupun legislatif untuk pencegahan korupsi.
Menurut George, ada 3 prinsip informasi yakni tidak bisa disebarluaskan. Pertama berkaitan dengan rahasia negara, kedua terkait dengan kondisi kesehatan seseorang, ketiga terkait dengan rahasia jabatan seseorang.
Tetapi ada informasi yang harus dipublikasikan diantaranya, pertama informasi yang bersifat harus disiapkan setiap saat untuk masyarakat. Kedua adalah informasi yang tersedia sewaktu-waktu atau periodik.
“Misalnya laporan pertanggungjawaban Bupati dan Gubernur, serta dokumen-dokumen keuangan. Itu harus disajikan detail sampai ke RKA di setiap OPD. Itu informasi publik dan harus disajikan. Pemerintah tidak membuka, padahal tujuan keterbukaan informasi, supaya masyarakat bisa langsung mengawasi pemerintah,” jelasnya.
George meyakini, jika kader Partai Golkar NTT di legislatif bisa mendorong pemerintah, agar menerapkan keterbukaan informasi publik, maka masyarakat bisa memantau penggunaan anggaran pemerintah. Hal ini bisa mencegah terjadinya korupsi.
“Korupsi ini terjadi karena ada banyak blank spot atau ruang gelap yang orang tidak tahu informasi,” ungkapnya.
Selain keterbukaan informasi publik, kader Partai Golkar NTT juga diharapkan bisa menggunakan layanan pengaduan lewat aplikasi LAPOR untuk menangani pengaduan masyarakat atau complain handling.
“Sistem complain handling itu sudah berlaku secara nasional lewat satu pintu yaitu aplikasi LAPOR. Sistem ini memastikan setiap laporan masuk ke instansi yang tepat. Jika laporan terkait guru SMP, maka akan masuk ke Dinas PKO setempat. Setelah kita entri laporan, ada standar pelayanan dalam berapa hari sudah harus ditindaklanjuti, dan di setiap tahapan tindak lanjut disampaikan ke kita sebagai pengadu,” tuturnya.
Dengan menerapkan dua hal tersebut, George yakin sebagian kemungkinan korupsi bisa dicegah. Sehingga kader Partai Golkar NTT diharapkan bisa memainkan peran untuk memastikan, bahwa dua komponen penting reformasi birokrasi tersebut bisa dilaksanakan.
“Kalau bukan eksekutif maupun legislatif, maka dia bisa menjadi middleman untuk menghubungkan atau memfasilitasi masyarakat agar bisa mengakses dua komponen tersebut,” tandasnya.
Sementara Willy Soeharly menyampaikan, problem pokok ketenagakerjaan di NTT adalah corak produksi masih mewarisi corak produksi yang lama.
“Apapun kegiatannya itu hanya untuk bertahan hidup, bukan mengakumulasi untuk menghasilkan sesuatu,” jelasnya.
Ia menyatakan, problem ketenagakerjaan di NTT masih banyak. Salah satunya, upah yang diberikan ke para pegawai masih di bawah upah minimum regional.
“Misalnya di Manggarai kemarin, orang protes dipecat. Baru ketahuan, upahnya cuma 400-600 ribu per bulan. Ini kan tragis,” terangnya.
Willy berharap kader Partai Golkar NTT bisa menjalankan program hilirisasi di tingkat daerah. “Bila perlu ada pembangunan industri yang bisa mengubah corak produksi,” tandasnya. (*)