Ruteng, KN – Rektor Universitas Katolik Indonesia (Unika) Santu Paulus Ruteng, Prof Dr. Yohanes Servatius Lon, M.A, dikukuhkan sebagai guru besar di bidang ilmu Religi dan Budaya. Pengukuhan berlangsung di Aula Aula Assumpta Katedral Ruteng, Sabtu 27 November 2021.
Pengukuhan Prof Dr.Yohanes Servatius Lon, M.A sebagai guru besar di Unika Santu Paulus Ruteng, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia dengan Nomor: 64673/MPK.A/KP.05.01/2021.
Mengawali proses pengukuhan dengan orasi ilmiahnya, Prof Dr Yohanes Servatius Lon, M.A, membawahkan topik penelitian bertajuk, Perjumpaan Hukum Negara, Agama dan Adat dalam kasus Perkawinan di Manggarai, Flores.
“Alasannya karena terdapat masalah marginalisasi hukum adat dan ketidakmampuan hukum negara mengakomodir hukum adat dan hukum agama di Manggarai, Flores,” ujar Yohanes Servatius Lon.
Menurutnya, masalah itu justru berdampak bagi pasangan suami isteri dan anak, yang hanya menikah menurut hukum adat daerah Manggarai, tetapi mengalami kesulitan sebagai umat gereja dan warga negara. Karena berdasarkan hasil penelitian ilmiah telah merekomendasikan sejumlah konsep baru.
“Saya rekomendasikan agar hukum negara, hukum agama, dan hukum adat perlu diperjumpakan secara harmonis, dialektis, dan mutualis dengan memperhatikan prinsip kepastian hukum, penegakan keadilan,Hak asasi manusia serta azas kemanfaatan bagi manusia Manggarai,” ungkap Prof. Jhon.
Dia menyebut, hukum adat, agama dan hukum negara harus saling mengadopsi dan mendukung satu sama lain, demi tegaknya hak para pasangan suami isteri dan anak-anak di Manggarai. Karena setiap aturan hukum bersifat mengikat pihak yang ada di lingkupnya. Dimana hukum negara mengikat warga negara, hukum agama mengikat penganut agama dan hukum adat mengikat masyarakat adat.
“Setiap hukum dirumuskan dengan tujuan kebaikan. Hukum negara, hukum agama dan hukum adat memiliki spirit yang sama. Yaitu berusaha menempatkan perkawinan sebagai yang fundamental bagi manusia dan menjamin hak, kenyamanan, dan kemudahan para pihak mencapai tujuan perkawinan itu sendiri. Perjumpaan ketiganya dapat saling memperkaya spirit tersebut,” jelasnya.
Meski demikian, kata dia, ketiga hukum memiliki perbedaan. Karena sangat ganjil, jika semua hukum, aturan dan tradisi seragam dimana-mana. Namun, ketika semua hukum bertemu dan berlaku pada pribadi yang sama, tentu menjadi problematis, kontroversial, bahkan konfliktual. Manakala perbedaan itu tidak bisa di harmonisasi.
Ia menerangkan, sejauh ini, hukum negara hanya mengakomodir legalitas perkawinan hukum agama, dan tidak mengakomodir legalitas perkawinan yang dilakukan secara adat. Akibatnya, mereka yang sudah nikah adat dan belum mendapatkan legalitas agama akan mengalami kesulitan sebagai warga negara.
“Dengan tidak tercatatnya perkawinan pada lembaga negara, ada banyak hak sebagai warga sipil yang tidak diperoleh secara penuh bagi suami isteri maupun bagi anak-anak yang lahir dari pasangan ini. Dengan tidak terpenuhinya hak asasi warga negara, pasangan atau anak yang dilahirkan, maka martabat, keluhuran dan kualitas manusia menjadi rendah,” terangnya.
Hukum perkawinan Katolik pun tidak mengakui legalitas perkawinan adat. Orang yang sudah menikah adat dan sifatnya legal, mengikat dan sakral belum cukup jika tidak menikah seturut hukum agama katolik. Ada sejumlah kasus yang memang menghalangi orang mendapatkan legalitas perkawinan Katolik.
Pasangan seperti ini dianggap “kawing kampong” dan “ka’éng oné nendep”. Pasangan ini mengalami peminggiran hak, stigma buruk dan perlakuan yang tidak menggambarkan kasih Allah kepada manusia.
“Akibat lain dari hal ini adalah pasangan Manggarai merasa cukup menikah secara gereja dan mengesampingkan adat. Bahkan menganggap adat tidak perlu. Di lain pihak, ketakutan “itang agu nangki” jika perkawinan belum diresmikan secara adat, juga menghantui kehidupan sebuah keluarga. Bayang-bayang ketakukan ini sangat tidak sehat bagi sebuah keluarga,” jelasnya.
Tata cara atau upacara legalitas perkawinan Katolik sangat berpusat pada budaya barat yang menekankan pertukaran perjanjian antar pasangan pria dan wanita yang menikah. Di sini Gereja ditantang untuk masuk ke dalam inti budaya dan keyakinan lokal, yang menonjolkan komitmen kedua keluarga besar dalam menjaga kelanggengan perkawinan tersebut.
“Maka seharusnya ritus perkawinan adat Manggarai dan ritus perkawinan Katolik “dikawinkan” sehingga inti hukum dimana perjanjian antara dua pribadi tidak diabaikan namun dikukuhkan keluarga besar sesuai konteks lokal,” terang Prof Dr. Yohanes Servatius Lon, M.A.
Hukum perkawinan negara dan adat memberi ruang bagi perceraian, namun hukum perkawinan agama tidak memberi celah bagi perceraian pasanhan. Negara, agama dan budaya menginginkan keluarga menjadi rumah cinta yang aman, bahagia, sejahtera dan adil. Namun, visi ideal ini tidak selalu dapat dicapai oleh setiap pasangan keluarga.
“Perkawinan bisa saja berakhir gagal dan masing-masing pasangan memilih berpisah di jalannya sendiri. Keluarga yang broken tetaplah warga negara, warga agama dan anggota budaya. Perbedaan hukum mengenai perceraian atau tata cara mengatasi masalah perkawinan bisa menjadi sumber ketidakadilan, kecurigaan dan bahkan kontroversi,” ucapnya.
Hukum negara dan hukum agama, tidak mengijinkan perkawinan tungku cu-cross cousin marriage, salah satu jenis perkawinan yang didukung dalam budaya Manggarai. Bagi gereja dan negara, aspek kualitas kesehatan dari keturunan yang dihasilkan dari jenis perkawinan ini menjadi dasar pelarangan atau pencegahannya.
“Bagi orang Manggarai, ikatan keluarga yang semakin diperkokoh dan implikasinya pada akses sosial budaya menjadi pertimbangan dukungan terhadap model perkawinan ini. Perbedaan nilai dan pilihan ini menjadi kesulitan bagi pasangan tungku cu,” jelasnya.
Yohanes Servatius menambahkan, salah satu isu krusial dewasa ini adalah perkawinan campur beda agama. Sejauh ini, baik Negara, Agama dan Adat belum benar-benar ramah terhadap perkawinan jenis ini yang menyebabkan banyak orang terpaksa melepaskan agamanya atau berpindah agama demi sebuah legalitas perkawinan, atau harus mengalami penderitaan dalam perjuangan cinta mereka.
Turut hadir dalam kegiatan pengukuhan, beberapa Guru Besar. Diantaranya Prof. Dr. Fransiskus Salesman, Prof. Dr. Alo Liliweri, Prof. Dr. Fransiskus Bustan. Berikutnya Rombongan LLDikti, Dewan Profesor, DPR-RI Julie Sutrisno Laiskodat, Perwakilan Kesbangpol Propinsi NTT, Anggota DPRD Provinsi, Kakanwil Depag Provinsi, Kakanwil Kemenhunkam NTT.
Hadir juga Ketua Dewan Pembina Yayasan Santu Paulus Ruteng, Uskup Ruteng, Mgr. Siprianus Hormat, juga Wakil Bupati Manggarai Timur (Matim), Jaghur Stefanus, Sekda Matim, Bonni Hasudungan Siregar, Ketua dan Wakil Ketua 1 dan 2 DPRD Matim, Sekda Manggarai, Jahang Fansi Aldus. Pimpinan OPD Manggarai dan Rekto Ketua Sekolah PT dan Keluarga besar Prof. John. (*)