Oleh: Maria Jeliandri Jelita.
Mahasiswa Unika St. Paulus Ruteng, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan yang belum mencapai usia 18 tahun(dibawah umur). Selain bisa berdampak buruk bagi kesehatan, pernikahan dini juga berpotensi memicu kekerasan seksual dan pelanggaran hak asasi manusia. Melalui peraturan perundang-undangan di Indonesia, batas minimal usia untuk menikah adalah 19 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Jika belum mencapai usia tersebut, pernikahan dapat dikatakan sebagai pernikahan dini. Fenomena pernikahan dini saat ini sangatlah hangat dibicarakan.
Hal ini karena Banyaknya kegagalan rumah tangga merupakan salah satu dampak dari adanya pernikahan usia dini. Pasangan yang menikah di bawah umur juga kerap kali belum mandiri secara finansial sehingga masih menjadi tanggungan orang tua. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan untuk putus sekolah pasca menikah muda. Akibatnya, karena tidak dibekali oleh keahlian dan keterampilan yang cukup untuk terjun ke dunia kerja, sang suami akan menjadi pengangguran.
Dengan kondisi-kondisi seperti ini, keputusan untuk bercerai sangat mungkin untuk diambil. Resiko dari pernikahan dini ini lebih memberatkan pada kaum hawa (perempuan) karena Pernikahan dini bagi perempuan ini tentunya sangat memprihatinkan terutama bagi perempuan itu sendiri.
Ada beberapa alasan mengapa perempuan dirugikan dalam hal kasus pernikahan dini ini. Alasan yang paling kuat adalah beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari pernikahan dini ini lebih memberatkan pada pihak perempuan itu sendiri.
Pertama, seorang perempuan yang menikah di usia dini ketika alat-alat reproduksi belum sepenuhnya berkembang secara sempurna maka seorang perempuan terebut berdasarkan penelitian lebih rentan terkena atau berpotensi terkena kanker serviks.
Kedua, seorang perempuan yang menikah di usia remaja memiliki peluang untuk hamil dan melahirkan anak dengan jumlah yang banyak selama rentang usia reproduksinya ( rata-rata sampai 49 tahun). Hal ini dengan sendirinya juga akan berisiko terhadap angka kematian ibu yang lebih tinggi.
Ketiga, kehamilan dan persalinan di usia di bawah 20 tahun tentunya juga akan beresiko yang lebih tinggi terhadap kematian bukan hanya kepada ibunya namun juga anak yang akan dilahirkannya dibandingkan bagi seorang perempuan yang hamil dan melakukan persalinan di usia di atas 20 tahun.
Keempat, pernikahan dini juga akan menghambat perempuan untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini juga akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia Indonesia ke depan khususnya perempuan akan menurun jika masalah pernikahan dini ini semakin hari semakin meningkat.
Ini bisa dipahami karena kebanyakan seorang remaja perempuan yang melakukan pernikahan dini biasanya tidak melanjutkan sekolahnya. Dengan gagalnya perempuan yang melakukan pernikahan dini tidak melanjutkan sekolah maka negara akan di hadapkan dengan persoalan penduduk berusia potensial namun tidak memiliki kapasitas dan kualitas yang memadai karena terputusnya jenjang pendidikan yang seharusnya bisa ditempuh seandainya tidak melakukan pernikahan dini.
Kelima, pernikahan dini juga berdampak pada keharmonisan rumah tangga. Yayasan Perempuan Indonesia menemukan bahwa 50 persen pernikahan dini berujung pada perceraian setelah satu tahun menikah. Hal ini tentunya dikarenakan bahwa pasangan yang melakukan pernikahan dini belum siap secara fisik, psikis dan juga ekonomi untuk membangun rumah tangga.
Jika perceraian terjadi tentunya hal ini akan merugikan bagi perempuan dan juga anaknya yang berpotensi besar untuk terlantar secara sosial dan juga ekonomi lalu menciptakan mata rantai kemiskinan. Artinya, berdasarkan pertimbangan faktor-faktor biologis, menikah usia dini akan sangat berbahaya dan lebih merugikan kaum perempuan.
Pernikahan usia dini disebabkan banyak faktor. Faktor internal terdiri dari pendidikan, pengetahuan responden, dan agama. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua, social ekonomi keluarga, wilayah/tempat tinggal, kebudayaan, pengambilan keputusan, akses informasi, pergaulan bebas. (*)