Kupang, KN – Tanam Jagung Panen Sapi (TJPS) merupakan salah satu program unggulan yang diusung oleh Gubernur dan Wakil Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat dan Josef Adrianus Nae Soi.
Program ini muncul saat sektor pariwisata yang menjadi prime mover pembangunan Victory-Joss mendapatkan pukulan telak karena Covid-19. Pandemi Covid-19 membawa dampak negatif yang cukup signifikan terhadap sektor pariwisata.
Data BPS menyebutkan, satu-satunya sektor yang menyumbang grafik peningkatan yang positif selama masa pandemi Covid-19 adalah sektor pertanian.
Wajar, karena Provinsi NTT memang dikenal sebagai daerah penghasil produk pertanian, dan sebagian besar warganya berprofesi sebagai petani.
Namun sebagai Provinsi yang kaya akan hasil pertanian, tidak menjamin sektor pertanian berkembang pesat seperti daerah lain di Pulau Jawa.
Alih-alih melakukan terobosan dengan program Tanam Jagung Panen Sapi, petani di NTT malah dilanda kesulitan mendapatakan pupuk bersubsidi, bahkan terancam gagal panen.
Jhon Beda, petani asal Dusun Sangka, Kabupaten Manggarai Barat, kepada Koranntt.com mengatakan, tahun ini dia bersama petani di Desa Watu Manggar terancam gagal panen.
Hal itu disebabkan karena kurangnya kuota, dan mandeknya pendistribusian pupuk di kalangan petani yang tidak sesuai dengan musim tanam.
“Pupuk tahun ini, sampai di tangan petani pada saat tanaman padi sudah berumur 3 minggu, bahkan hingga 1 bulan dari masa tanam,” ujar Jhon Beda kepada wartawan.
Masalah pupuk juga dibenarkan oleh petani asal Dusun Londang, Januarius Jemali. Menurut dia, tanaman padi di sawah miliknya dan keluarga seluas 4 Ha terancam gagal panen, akibat keterlambatan pendistribusian pupuk tersebut.
“Saat tanaman padi berumur 3 minggu, pupuk bersubsidi baru didistribusi dari pemerintah. Sementara kami tidak punya cukup uang untuk membeli pupuk non subsidi,” ucap Jemali.
Dia menjelaskan, kelangkaan yang terjadi bukan hanya pada pupuk bersubsidi saja, namun juga terjadi pada pupuk non subsidi.
“Orang lain sudah berkorban untuk beli pupuk non subsidi. Biar mahal tidak apa-apa. Tapi mereka bilang susah dapatnya,” ujarnya.
Sementara Monika, yang berprofesi sebagai petani di Dusun Lampo, Desa Kombo Selatan, Kecamatan Pacar, Kabupaten Manggarai Barat menyampaikan hal serupa.
Dia menceritakan, hingga tanaman padinya berumur 1,5 bulan, pupuk belum didapatkan. Akibatnya, tanaman padi di sawah seluas 1 Ha miliknya terancam gagal panen.
“Susah mendapatkan pupuk. Semoga pemerintah membantu saya, karena pada musim ini memang saya sudah gagal panen,” ujar Monika.
Kelangkaan pupuk di kalangan Petani di NTT juga dibenarkan oleh Borgias Satiman yang berprofesi sebagai Penyuluh Pertanian Desa Kombo Selatan, Kabupaten Manggarai Barat.
Dia menyampaikan pada tahun ini, para petani di wilayahnya terancam gagal panen, karena pada fase awal penanaman padi, mereka belum diberikan pupuk.
“Sehingga unsur hara pada tanaman padi tidak tercukupi, dan berdampak pada terhambatnya proses pertumbuhan dan perkembangan anakan padi,” jelas Satiman dan menambahkan, pihaknya telah melaporkan kelangkaan pupuk tersebut kepada Dinas Pertanian Kabupaten Mangarai Barat.
“Selama ini, terutama di musim tanam ini, pupuk itu tidak ada, baik di pengecer yang ada di Macang Pacar dan pacar ini. Kami sudah sampaikan sebagai laporan rutin bulanan,” jelas dia.
Kuota Kurang
Kelangkaan pupuk bukan saja terjadi di Kabupaten Manggarai Barat. Pemerintah Kabupaten Manggarai pun mengeluh, karena kuota pupuk bersubsidi yang diterima dari pemerintah Provinsi NTT menurun drastis.
Kuota tahun ini dinilai jauh dari kebutuhan petani, untuk mendapatkan pupuk bersubsidi. Karena kuota yang terbatas, mereka memprediksi bahwa akan terjadi penurunan hasil produksi pertanian.
Tahun ini, Kabupaten Manggarai hanya memperoleh 5.560, dari total 26.826 ton pupuk bersubsidi yang diusulkan, untuk disalurkan kepada para petani.
“Melalui Dinas Pertanian Provinsi, total usulan kami 26.826 ton, yang dialokasi 5.560 ton,” kata Kepala Bidang Penyuluhan, Sarana dan Prasarana, Yuliana T. Setia kepada Koranntt.com.
Dia menjelaskan, meskipun kuota pupuk bersubsidi yang dialokasikan sangat sedikit, namun dipastikan semua petani yang telah terdaftar dalam RDKK mendapatkan bagian, meski tidak sesuai kebutuhan.
“Kita bisa pastikan dengan jumlah kuota yang terbatas, semua petani mendapat bagian, tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya.
Realokasi Pupuk
Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT sebagai instansi yang membidangi program TJPS mengakui adanya pengurangan kuota tahun ini dibangding tahun 2020.
Kadis Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi NTT, Lecky Frederich Koli, STP mengatakan, khusus pupuk NPK, kuota untuk Provinsi NTT Tahun 2020 adalah 19.129 ton.
“Sedangkan 2021 turun menjadi 16.914 ton, sehingga memang kuota untuk semua Kabupaten di NTT turun,” ujar Kadis Lecky kepada Koranntt.com belum lama ini.
Meski demikian, dia menegaskan bahwa saat ini masih ada sisa kuota pupuk yang akan direalokasi kepada para petani di NTT.
“Penyerpan bulan Januari dan Februari baru terserap pupuk urea 64,41%, sedangkan NPK penyerapan 72,5%. Artinya masih ada sisa kuota. Tinggal dilakukan realokasi saja,” tandas Lecky.
Program TJPS sebenarnya bukan hanya pada tataran wacana. Gubernur NTT Viktor Laiskodat telah melakukan panen jagung di berbagai wilayah di NTT.
Kegiatan pertanian yang diintegrasikan dengan program peternakan ini diharapkan mampu menjadi roh baru pembangunan di NTT.
Namun apa jadinya jika para petani sebagai ujung tombak pelaksanaan program ini tidak diperhatikan. Butuh intervensi pemerintah bukan hanya sebatas panen, tetapi juga memberdayakan petani di hulu untuk mencapai misi kesejahteraan.*