Leo Jesus Leto
(Rakyat biasa, tinggal di Los Ángeles, Chile)
Indonesia baru saja merayakan ulang tahun ke-80. Di tengah euforia kebangsaan itu, dalam pidato pertamanya sebagai kepala negara di Sidang Umum Tahunan di gedung MPR RI, Presiden Prabowo Subianto menegaskan kembali komitmennya untuk membasi praktek korupsi, sebuah patologi sosial paling susah disembuhkan oleh Presiden-Presiden sebelumnya. Ia berkata, “Perilaku korupsi ada di setiap eselon birokrasi kita, ada di setiap institusi dan organisasi pemerintahan. Perilaku korup ada di BUMN dan BUMD kita.” Tesis ini menggambarkan bahwa Prabowo tahu baik sistem birokrasi di Indonesia amat buruk, penuh suap, pencurian dan pemerasan. Karena itulah, pada 2019 yang lalu, mantan Danjen Kopassus itu pernah mengatakan bahwa praktik korupsi di Indonesia seperti kanker stadium 4. Analogi ini menggambarkan situasi republik yang sedang sakit akut, dimakan oleh kanker korupsi, hampir binasa, dan siap tumbang ke liang lahat.
Namun, komitmen keras itu terasa hambar ketika orang-orang dekat Prabowo sendiri justru tersangkut kasus-kasus korupsi. Titah-titah Prabowo diabaikan dan diinjak-injak oleh orang-orang dekatnya. Sebut saja mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, dan yang terbaru ialah Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel, yang baru saja ditetapkan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan pemerasan di Kemnaker terkait sertifikasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja). Kedua tokoh ini adalah anak buah Prabowo Subianto, mereka menumpang di kapal partai Gerindra yang dinahkodai oleh sang Presiden.
Kasus Noel bukan sekadar aib personal, melainkan tamparan keras bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Ini menunjukkan betapa rapuhnya pembinaan internal, rendahnya kepatuhan terhadap titah presiden, sekaligus lemahnya penghayatan terhadap nilai Pancasila dan UUD 1945 oleh pejabat publik. Padahal Noel pernah berpartisipasi dalam program retret di Magelang. Retret dalam pengertian religius memiliki tujuan untuk membersihkan diri seseorang dari kenajisan duniawi dan membaharui diri agar menjadi manusia baru yang bersih, matang dan berintegritas.
Pemerintah menggelontorkan miliaran rupiah dalam program retret Akmil Magelang dengan tujuan untuk membersihkan diri para anak buahnya dari segala noda dunia dan menanamkan spiritualias Pancasila dan UUD 45 dalam diri setiap pembantu Presiden agar kapal kabinet Merah Putih tidak tersandung kasus-kasus moral di perjalanan.
Namun, buah retret itu tidak nampak pada diri mantan aktivis 98 itu yang antikorupsi dan getol berucap untuk menghukum mati para koruptor. Ironisnya, Noel justru tergoda dan jatuh dalam perangkap rayuan iblis untuk berbuat jahat. Karl Marx pernah menulis bahwa untuk mencapai tujuan dalam politik, orang mesti bergaul dengan setan, namun orang harus memiliki kepastian bahwa dia menipu setan, bukan sebaliknya. Noel, aktivis yang turut andil dalam meruntuhkan tembok rezim Orde Baru yang korup itu tidak memiliki kapasitas secuil pun untuk menipu setan-setan berdasi agar menjadi malaikat, malah sebaliknya.
Noel diam-diam membangkan terhadap titah-titah Prabowo dan membuang segala pembekalan moral di Akmil Magelang ke dalam tong sampah. Sang wakil menteri itu membelot ke dalam dunia para badut berdasi yang tamak dalam panggung gelap dunia kekuasaan untuk mengumpulkan harta duniawi. Kasus ini tentu mencoreng nama baik kabinet Merah Putih, sekaligus memberi kado pahit untuk sang Presiden di hari ulang tahun Republik Indonesia ke-80. Ironisnya, Noel yang dulu lantang menggemakan hukuman mati bagi koruptor justru kecanduan opium korupsi.
Gaya Noel bermain di lahan basah korupsi mirip para preman di Tanah Abang, yaitu pemerasan. Tak mau membuang-buang waktu, baru dua bulan mendapat kue kekuasaan Noel langsung tancap gas, memanfaatkan jabatannya untuk memeras korporasi untuk memperkaya diri. Noel dan rekan-rekannya tak ubahnya preman yang sedang mengendalikan sebuah kementerian yang mengurus nasib para tenaga kerja. Lebih memilukan, praktik pemerasan di Kementerian Ketenagakerjaan dilakukan secara sistemik dan berulang kali.
Jika negara digenggam oleh pejabat-pejabat tamak dan licik, maka cita-cita Republik Indonesia untuk mencapai keadilan sosial sebagaimana diamanatkan oleh Pncasila dan UUD 45 tak lebih dari sebuah utopia.
Dengan pola pemerasan seperti ini, Noel dan teman-temannya tanpa sadar sedang menindas saudara sebangsanya. Fenomena ini sudah menjadi etos di Republik Indonesia dan telah merasuk ke dalam sistem pemerintahan. Pemerasan yang dilakukan oleh babu-babu negara dalam urusan administrasi ini tidak hanya terjadi di pusat-pusat kekuasaan belaka, namun marak terjadi di pusat-pusat pemerintahan daerah pun di desa-desa.
Bagi seorang politisi atau pejabat yang tamak, logika berpikirnya sederhana: yang penting kantong penuh, perut kenyang, dan hidup foya-foya. Urusan rakyat untuk keluar dari jerat kemiskinan bukanlah prioritas; misi utamanya adalah memeras siapa pun demi memperkaya diri, keluarga, dan kelompoknya. Dalam konteks ini, Plato pernah menegaskan, “Jika seseorang menambah kekayaan untuk menjamin kesejahteraan istrinya, anak-anaknya, dan sanak saudaranya, maka dengan itu ia merugikan warga negara lain.” Noel adalah contoh nyata politisi yang lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang kesejahteraan rakyat kecil.
Para politisi seperti Noel di musim kampanye kerap berteriak sampai mulut berbusa untuk memberantas praktek korupsi dan kemiskinan, namun sesudah duduk di kursi empuk kekuasaan dia sibuk mensejahterakan diri dan kelompoknya daripada memberantas kemiskinan yang setiap hari kian mencekik kehidupan rakyat. Pada titik ini, benar apa yang ditulis oleh novelis asal Brasil, Paulo Coelho, “Ketika seorang politisi mengatakan bahwa ia akan mengakhiri kemiskinan, ia merujuk pada kemiskinannya sendiri.” Yang dimaksud dengan mengakhiri kemiskinan di sini merujuk kepada keluarganya, kelompoknya, atau kroni-kroninya bukan masyarakat.
Pertanyaannya, bila bangsa ini terus diurus oleh oknum pejabat bermental koruptif dan etos hidup imoral, kapan praktek korupsi itu bisa punah dari bumi Indonesia? Kapan pula keadilan sosial bisa terwujud sebagaimana yang diamantkan oleh Pancasila dan UUD 45? Pemerintahan Prabowo-Gibran telah membulatkan tekad untuk memberantas praktik korupsi. Namun, masalah korupsi tidak bisa dihapus hanya dengan “omon-omon” dengan polesan retorika kosong dan hukum masih dijalankan dengan tebang pilih.
Komitmen antikorupsi ala Prabowo hanya akan efektif dan membuahkan hasil apabila dijalankan dengan kebijakan yang tegas, konsisten, dan menyentuh akar persoalan. Untuk itu, penegakan hukum harus dilaksanakan secara objektif dan tidak tebang pilih. Para pelaku tindak pidana korupsi, yang merupakan musuh negara, harus dijatuhi hukuman seberat-beratnya tanpa adanya pemberian remisi maupun amnesti. Pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset menjadi sangat mendesak, karena tanpa adanya instrumen hukum yang memadai, upaya Prabowo memberantas korupsi tidak memiliki efek jera yang berarti. Oleh karena itu, penguatan lembaga antikorupsi, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harus ditingkatkan. Selain itu, diperlukan juga pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan nilai-nilai moral, seperti keadilan sosial, solidaritas, kejujuran, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, perlu ditingkatkan. Di samping itu, transparansi tata kelola keuangan negara harus didorong dan dipercepat, serta digitalisasi administrasi mulai dari tingkat pusat hingga desa menjadi krusial untuk meminimalisasi peluang terjadinya manipulasi, pemerasan, dan praktik korupsi. (***)

