Kupang, KN – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur (NTT) menggelar seminar untuk menyongsong Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-63, yang jatuh pada Senin 22 Juli 2023 mendatang.
Seminar yang dilaksanakan di Aula Lopo Sasando, Kamis 13 Juli 2023 ini, mengusung tema “Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan, Dalam Penanganan Tindak Pidana yang Merugikan Perekonomian Negara”.
Seminar ini juga menghadirkan narasumber Kepala Kejaksaan Tinggi NTT Hutama Wisnu, SH.,MH, Kepala BPKP Provinsi NTT Sofyan Antonius, dan Wakil Dekan II Fakultas Hukum Undana, Dr. Saryono Yohanes, SH.,MH.
Selain para narasumber, hadir sebagai peserta para Asisten Kejati NTT, para Kepala Kejaksaan Negeri di NTT, mahasiswa, serta sejumlah staf Kejaksaan Tinggi NTT.
Kepala Kejaksaan Tinggi NTT Hutama Wisnu, SH.,MH mengatakan, seminar yang digelar oleh Kejati NTT bertujuan untuk mengoptimalisasi kewenangan kejaksaan, dalam penanganan tindak pidana yang merugikan perekonomian negara.
Dalam Seminar tersebut, pihaknya membedah penanganan perkara, yang menyebabkan kerugian keuangan dan perekonomian negara.
“Sekarang dikembangkan lagi yaitu terhadap perekonomian negara. Kerugian perekonomian negara ini seperti apa yang akan kita tangani,” ujar Hutama Wisnu kepada wartawan usai kegiatan Seminar.
Ia menjelaskan, pelibatan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi NTT dan akademisi bidang hukum di dalam seminar tersebut, bertujuan untuk membedah parameter kerugian perekonomian negara.
Kajati NTT menambahkan, Kejaksaan Tinggi NTT terus berkomitmen untuk menangani setiap kasus tindak pidana korupsi secara tuntas.
Untuk tahun 2023, pihaknya menangani puluhan perkara tindak pidana perkara korupsi. Total ada 26 perkara yang berstatus penyelidikan, 25 perkara penyidikan, 33 perkara di tingkat penuntutan, dan 34 perkara sudah dieksekusi.
Kajati NTT dalam seminar juga mengingatkan para staf di bidang pidsus dan para kepala Kejari se-NTT, agar bergerak lebih cepat menangani perkara korupsi.
“Saya harap Pidsus dan Kejari seluruh NTT untuk mempercepat penindakan tindak pidana korupsi, sehingga kita lebih banyak menyelamatkan keuangan negara,” pungkasnya.
Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Undana Dr. Saryono Yohanes, SH.,MH mengatakan terkait kerugian perekonomian negara, ada sejumlah hal yang sifatnya masih dilematis.
Pertama adalah soal penentuan indikator terkait kerugian perekonomian negara. Menurutnya, sampai saat ini belum ada indikator yang pasti tentang kerugian perekonomian negara.
“Kalau kita bicara soal perekonomian negara, itu memiliki aspek yang lebih luas. Tidak saja keuangan negara. Kalau keuangan negara sudah jelas, yang disalahgunakan uangnya. Kalau soal perekonomian negara, kerugiannya potential lost, yang tidak dapat dihitung seperti kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti jumlahnya,” jelas Saryono Yohanes.
Karena itu, di dalam seminar tersebut ia menyampaikan pikiran-pikiran, sebagai masukan untuk penetapan indikator soal kerugian perekonomian negara.
“Sehingga pikiran-pikiran ini bisa dibicarakan di tingkat nasional supaya Kejagung RI bisa merumuskan beberapa indikator-indikator yang berkaitan dengan kerugian perekonomian negara, tentunya melibatkan ahli-ahli yang berkaitan dengan urusan perekonomian negara,” urai Saryono Yohanes.
Kepala BPKP Provinsi NTT Sofyan Antonius mengatakan, pihaknya selalu bekerja sama dengan kejaksaan dan kepolisian dalam rangka percepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi.
Namun jika ada kesan bahwa perkara berjalan lambat, itu karena pada saat ekspos, ada kebutuhan pemenuhan barang bukti oleh pihak Kejaksaan ataupun Kepolisian yang masih kurang.
“Sepanjang ekspos itu kita melihat ada yang kurang, itu harus dilengkapi. Sepanjang belum dilengkapi, maka akan terjadi seperti itu (lambat) terus. Tetapi kami sudah keluarkan surat tugas, artinya sudah bisa kami menghitung, dan itu prosesnya langsung masuk pengadilan,” pungkas Sofyan Antonius.
Ia mengimbau pihak kejaksaan dan kepolisian agar semua berkas sebelum masuk ke BPKP, konstruksinya harus terbangun dengan kuat. Hal ini agar perkaranya lebih cepat diselesaikan. (*)