Ahli Sebut Tidak Ada Tindak Pidana Korupsi dalam Kerja Sama Pemprov NTT dan PT SIM

Sidang lanjutan pemanfaatan aset Pemprov NTT oleh PT SIM. (Foto: Istimewa)

Kupang, KN  -Dr. Hendry Julian Noor, SH, M.Kn dari Departemen Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas UGM Yogyakarta mengatakan dengan tegas bahwa tidak adanya tindak pidana korupsi dalam pemanfaatan aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Timur (NTT) seluas 31.670 meter persegi di Labuan Bajo.

Hal tersebut ia sampaikan saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang lanjutan dugaan korupsi pemanfaatan aset Pemprov NTT oleh PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM), yang digelar Jumat, 15 Maret 2024, di Pengadilan Tipikor Kupang.

Dimana terdakwanya yaitu Direktur PT Sarana Investama Manggabar (PT SIM) Hari Pranyoto dan pemegang saham, Bahsili Papan, Direktur PT Sarana Wisata Internusa (PT SWI) Lidya Sunaryo, serta Thelma Bana selaku Kabid Pemanfaatan Aset, BPAD Provinsi NTT.

Dr. Hendry Julian Noor, SH, M.Kn mengungkapkan bahwa hubungan hukum yang terjadi dalam Perjanjian Bangun Guna Serah Pemanfaaatan Barang Milik Daerah tersebut adalah hubungan hukum perdata.

“Dengan merujuk kepada Pasal 41 ayat (7) Permendagri tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah, bahwa: “Bangun guna serah dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian …”, maka dapat dikatakan hubungan hukum yang terjadi di dalamnya adalah suatu hubungan hukum keperdataan di mana kewenangan untuk membuat hubungan hukum keperdataan tersebut berasal dari hukum administrasi negara,” ungkapnya.

“Hukum administrasi negara berlaku dalam konteks cara kerja otoritas publik tersebut (pemerintah daerah), sedangkan hubungan hukum perdata berlaku dalam hubungan hukum antara otoritas publik (pemerintah daerah) dengan mitra Bangun guna serah tersebut,” tambahnya.

Terkait adanya keuangan negara yang digunakan dalam pelaksanaan kerja sama bangun guna serah pemanfaatan Barang Milik Daerah, dirinya mengatakan bahwa dalam konteks Bangun guna serah, tidak sama sekali menggunakan APBD di dalamnya.

“Dengan demikian, maka tentunya tidak ada keuangan negara yang digunakan dalam pelaksanaan kerja sama Bangun guna serah pemanfaatan Barang Milik Daerah tersebut,” jelasnya.

Sementara itu, Karina Dwi Nugrahati Putri, S.H., LL.M., M.Dev. Prac. (Adv), Ahli Hukum Bisnis dan Korporasi, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada dalam sidang tersebut juga mengungkapkan pendapatnya apabila terdapat penilaian terjadi perbuatan melawan hukum atau penyalahguanaan kewenangan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam pembuatan Perjanjian tersebut.

BACA JUGA:  Dukungan Bunda Julie Berbuah Juara, Dua Remaja Harumkan Nama NTT di Ajang Nasional

“Dalam sebuah perjanjian, harus jelas dulu siapa yang menjadi pihak. Jika pihak swasta merupakan orang pribadi maka yang bersangkutan bertanggungjawab atas segala konsekuensi hukum yang terjadi sepanjang perjanjian tersebut sah. Namun jika pihak swasta yang melakukan perjanjian adalah perseroan yang memiliki legal personality/ berbadan hukum, maka yang bertanggungajwab adalah perseroan/ badan hukum,” ungkapnya.

Pertanggungjawaban orang pribadi dalam perseroan mengikuti ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, mengingat secara rigid UUPT telah menentukan bagaimana pertanggungjawaban orang pribadi dalam perseroan, kapan orang pribadi tersebut dapat bertanggungjawab, dan kapan orang pribadi tersebut tidak bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan atas nama perseroan,” jelasnya.

Ketua Tim Advokasi Peduli dan Selamatkan Pantai Pede, Labuan Bajo, Khresna Guntarto, SH, kepada media usai sidang mengatakan bahwa para terdakwa tidak bisa dipersalahkan atas tindakan tindak pidana korupsi.

Ia mengatakan, PT SIM dan rekanannya PT SWI adalah pihak yang berinvestasi di Pantai Pede, Labuan Bajo. Bagaimana mungkin pihak yang berivestasi merugikan keuangan negara sedangkan mereka mengeluarkan uang.


“Negara menerima uang kontribusi untuk provinsi dan untuk tingkat kabupaten menerima retribusi pajak,” ujarnya.

Sesuai Permendagri 17 tahun 2007, ada klausul penyelesaian ganti kerugian jika daerah itu merasa telah merugi.

Jadi harusnya tidak boleh langsung ke tindak pidana korupsi tapi harus ada penyelesaian administrasinya terlebih dahulu,” ujarnya.

Ia menyampaikan bahwa meskipun ada kesalahan administratif, tidak harus langsung dipersalahkan secara tindak pidana korupsi.

Ia juga menyampaikan bahwa ketika mitra tidak memenuhi kualifikasi tidak serta merta terjadi perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerugian keuangan negara, karena semua dilihat dari pelaksanaan kontrak.

“Kemudian dilihat juga dari pelaksanaan pembangunannya terlaksana atau tidak, kan faktanya terlaksana,” ungkapnya. (*/KN)