Oleh: Honing Alvianto Bana
Penjilat itu naik pangkat lagi, padahal pekerjaannya berantakan. Ia bermulut manis dan pandai merayu atasan. Ia tidak hanya dimaafkan kesalahannya, tetapi juga naik pangkat, melebihi teman-temannya yang lebih mampu.
Di tempat lain, keponakan sang penguasa mendapat posisi penting. Padahal ia tidak berpengalaman. Ia tidak punya prestasi apapun. Semata karena lahir di tempat yang tepat, dan menjadi keponakan sang penguasa, ia mendapatkan jabatan yang penting.
Birokrasi Parasit
Pola semacam ini tidaklah asing di NTT dan mungkin Indonesia pada umumnya. Hampir semua organisasi, terutama organisasi pemerintahan menerapkannya. Inilah yang disebut sebagai kolusi dan nepotisme. Keduanya adalah ancaman bagi keberadaan sekaligus perkembangan sebuah organisasi. Organisasi pemerintah yang subur dengan kolusi dan nepotisme akan sulit menjalankan tugasnya.
Ini terjadi, karena sumber daya manusia yang ada tidak mumpuni untuk menjalankan tugas-tugas yang diperlukan. Jika sebuah organisasi, atau aparatur negara, tidak bisa menjalankan tugasnya, maka ia hanya menjadi parasit yang tak berguna. Ia terancam hancur, dan membawa banyak orang untuk hancur bersamanya.
Rakyat menjadi semakin miskin dan bodoh, karena birokrasi pemerintahannya penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Ketidakadilan menjadi bagian dari hidup sehari-hari. Para penegak hukum justru menjadi pelaku pelanggaran hukum yang utama. Jika sudah seperti itu, pemerintah telah kehilangan legitimasinya, dan tidak punya alasan lagi untuk ada.
Orang-orang yang mampu justru terbuang. Mereka terjebak bekerja di pangkat yang rendah. Mereka tidak memiliki peluang untuk berkembang. Jika sudah begitu, kita semua yang rugi.
Jalan Keluar
Jalan keluarnya hanya satu, yakni mengubah tata kelola organisasi tersebut menjadi meritokrasi. Meritokrasi adalah tata kelola organisasi yang menjadikan kemampuan sebagai tolok ukur utamanya. Artinya, hanya orang-orang yang memang terbukti
mampu yang layak untuk menduduki sebuah jabatan.
Dalam meritokrokasi, jilat atasan untuk mendapatkan kedudukan penting, atau karena menjadi keponakan penguasa, serta berbagai taktik busuk lainnya tidak mendapat tempat di dalamnya. Untuk mencapai hal itu, ada tiga langkah yang bisa diambil, guna mencapai meritokrasi.
Yang pertama adalah menegaskan komitmen seluruh organisasi untuk berubah dan berkembang. Komitmen itu hanya dapat menjadi kenyataan, jika meritokrasi digunakan sebagai dasar utama semua pembuatan keputusan di dalam organisasi. Komitmen itu harus datang dari para pimpinan organisasi, sampai dengan seluruh jajaran organisasi di bawahnya.
Langkah kedua adalah mendapatkan informasi yang memadai tentang kemampuan orang-orang yang bekerja di organisasi terkait. Informasi ini amat penting, supaya orang dengan kemampuan tertentu bisa bekerja di bidangnya masing-masing yang sesuai. Perkembangan organisasi amat tergantung dari langkah ini.
Langkah ketiga adalah menerapkan meritokrasi secara konsisten dan terukur bagi keseluruhan organisasi, demi keberlangsungan dan perkembangan organisasi itu sendiri. Perlawanan pasti datang dari orang-orang yang menggunakan pola pikir lama.
Di Indonesia, perlawanan pasti akan datang dari para pelaku kolusi dan nepotisme, serta orang-orang yang diuntungkan dari kedua hal tersebut. Namun, ini sama sekali bukan alasan untuk menyerah. Hal-hal terbaik dalam hidup selalu sulit untuk diperjuangkan. Meritokrasi pun begitu. Ia amat sulit untuk diwujudkan. Namun, ketika berhasil diwujudkan, jalan lapang menuju keadilan serta kemakmuran untuk semua akan terbuka lebar.
Honing Alvianto Bana. Lahir di Soe, Nusa Tenggara Timur. Saat ini sedang aktif bersama kawan-kawan pemuda Gereja Batu Karang Nonohonis.***