Jokowi Sama dengan Rizieq?
Lalu bagaimana dengan penilaian publik bahwa kasus Jokowi di Sikka sama dengan kasus yang menimpa Rizieq Shihab?
Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, membenarkan kerumunan masyarakat itu terjadi di Maumere pada Selasa kemarin. Bey menjelaskan, masyarakat saat itu memang sudah menunggu rombongan Presiden Jokowi di pinggir jalan.
“Benar, itu video di Maumere. Setibanya di Maumere, Presiden dan rombongan melanjutkan perjalanan menuju Bendungan Napun Gete. Saat dalam perjalanan, masyarakat sudah menunggu rangkaian di pinggir jalan, saat rangkaian melambat masyarakat maju ke tengah jalan sehingga membuat iring-iringan berhenti,” kata Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin, Selasa (23/2).
Bey sebagaimana dilansir dari republika.co.id mengatakan, masyarakat Maumere spontan menyambut kedatangan Jokowi. Jokowi pun, kata Bey, menyapa masyarakat dari atap mobil.
“Dan kebetulan mobil yang digunakan Presiden atapnya dapat dibuka, sehingga Presiden dapat menyapa masyarakat sekaligus mengingatkan penggunaan masker,” ujar Bey.
Sayangnya penjelasan ini terkesan dibuat secara buru-buru, padahal saya tak sabar menunggu penjelasan istana terkait perbedaan antara kerumunan massa Jokowi dan Rizieq sebagaimana yang ramai diperbincangkan netizen.
Satu-satu satunya alasan penampik adalah perstiwa itu terjadi secara spontanitas. Jika dibandingkan dengan kasus Rizieq dalam beberapa spot kerumunan beberapa waktu lalu, alasan yang terungkap juga sama yakni spontanitas warga.
Andai saja kita mencoba ngeles bahwa Jokowi dan Rizieq secara apple to apple berbeda di mana yang satunya presiden dan yang satunya lagi pemuka agama, lantas apakah covid-19 pernah pilih-pilih kasus?
Apakah virus korona hanya menjangkit pengikut Rizieq, sementara pengikut Jokowi yang bebas berkerumun tanpa menjaga jarak akan aman-aman saja?
Apakah Didi Nong Say yang membela Jokowi dalam kasus kerumunan itu akan bebas dari Covid meski tanpa memperhatikan protokol kesehatan? Sementara Benny K Harman yang mengkritik Jokowi dalam kasus tersebut akan terjangkit?
“BKH dengan gamblang mencoba menyejajarkan penyambutan spontan masyarakat NTT tersebut dengan peristiwa penyambutan Risieq Shihab. Itu sungguh naif dan cari panggung saja. Dengan pernyataan ini, entah disadari atau tidak, BKH telah membangun rasa permusuhan dan kebencian rakyat yang diwakilinya dengan dirinya sendiri,” demikian tulis Didi.
Membaca tulisan ini, jujur saja, saya ngakak sampai perut lemes. Kok lain gatal, lain yang digaruk ya? Padahal kalau mau jujur, kritikan Benny terhadap Jokowi adalah bentuk kecintaannya terhadap rakyat Sikka agar tidak terpapar korona.
“Luar biasa rakyat Maumere Flores sambut Presiden Jokowi. Mereka tumpah ruah ke jalan, rela terpapar Covid hanya utk melihat langsung wajah Presiden. Teringat saya dgn masyarakat sambut Habib Riziek di Bandara Soetta saat pulang dari LN. Seolah tdk percaya bahaya Covid. Monitor!” demikian tulis Benny dalam akun Twitternya.
Jika dicermat, bahasa Benny dalam tulisan bergaya sarkastik. Alih-alih memuji dengan menggunakan frasa “luar biasa” namun sebenarnya berisi sinisme terhadap Jokowi. Sebagai politisi oposisi tentu tujuannya baik yakni agar jangan terjadi diskriminasi perlakuan di tengah masyarakat. Makanya Benny menambahkan ingatannya tentang momen penyambutan Rizieq Shihab di Bandara Soeta yang dinilai mirip dengan kasus Jokowi di Sikka.
Kalau Didi Nong Say cukup peka saja dengan permasalahan negara-bangsa ini, tentu ia sadar bahwa akar dari semua riakan publik akibat matinya rasa keadilan. Pancasila hanya hidup dalam kata-kata namun mati dalam tindakan bernegara. Pancasila hanya dijadikan sebagai pemanis bibir di masa kampanye bahkan Pancasila itu sendiri dieksploitasi untuk mengkotak-kotakan masyarakat. Tentu Nong masih ingat bagaimana memanasnya ruang publik kita akibat saling sikut narasi Pancasila vs radikalis dalam Pilpres 2019.
Keadilan itu juga mati ketika jurang menganga antara kaya dan miskin makin melebar di negeri ini. Megawati Institute mencatat, kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia tiga kali lebih cepat dari pertumbuhan nasional selama tahun 2006 hingga 2016.
Penghasilan orang terkaya di Indonesia mencapai US$ 36 juta per bulan atau sekitar Rp 400 miliar. Angka tersebut menjadi timpang, ketika penghasilan buruh tani di Indonesia hanya Rp 1,5 juta per bulan. Padahal, jumlah buruh tani di Indonesia sebanyak 37 juta orang. Itu artinya, penghasilan satu orang konglomerat di Indonesia, hampir sama dengan penghasilan 37 juta buruh tani se-Indonesia.
Mari kita saling bergandeng tangan untuk mendukung dan medoakan bapak presiden Jokowi dalam membangun Indonesia yang lebih sejeahtera. Bukan saling menjatuhkan hanya karena berbeda oposisi. Indonesia dipersatukan karena berpegang teguh pada Pancasila dan Toleransi sebagai nilai keberagaman.*
Jangan Salah Menilai Kedatangan Presiden Jokowi di Nian Sikka
