AMAN Nilai Kepala BWS NT II Tidak Menghargai Hak Masyarakat Adat Nagekeo

Ketua AMAN Wilayah Nusa Bunga, Philipus Kami / Foto: Teja Rango

Ende, KN – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan kritik keras kepada Kepala Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara II terkait pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo.

Ketua AMAN Wilayah Nusa Bunga, Philipus Kami, mengatakan, berkaitan dengan pembangunan waduk Lambo, masyarakat adat Rendu, Ndora dan Lambo sesungguhnya tidak menolak pembangunannya.

Namun masyarakat adat menolak lokasi pembangunannya dengan memberikan solusi lokasi alternatif dari Lowo Se ke Malawaka dan Lowo Pebhu yang juga masih dalam wilayah adatnya.

Alasan masyarakat meminta lokasinya dipindahkan, karena di lokasi Lowo Se terdapat pemukiman warga, berbagai intentitas budaya, padang perburuan adat, kuburan Leluhur, sarana publik, dan lahan–lahan pontesial masyarakat adat, dan juga padang ternak.

Menurut Philipus, jika dari awal proses rencana pembangunan waduk Lambo, masyarakat adat pemilik lahan tidak dilibatkan secara penuh dan tidak ada transparansi antara pihak pemerintah dengan masyarakat adat, sehingga terjadi perlawanan dari masyarakat adat. 

“Sangat tidak benar, kalau pemerintah mengabaikan hak-hak konstitusi masyarakat adat yang telah diatur dalam UUD 1945 pasal 18 (B) ayat 2 dan pasal 28 UUD 1945. Pemerintah dan BWS NT II juga telah melanggar hak-hak asasi manusia dari rativikasi ekososbud tentang hak-hak masyarakat adat internasional,” kata Philipus Kami kepada wartawan di Ende, Jumat 1 Oktober 2021.

Mantan anggota DPRD Ende 2 periode ini menjelaskan, masyarakat adat sudah berkali-kali menyampaikan aspirasi kepada pemerintah Kabupaten, Provinsi, bahkan sampai juga ke pusat.

Bahkan pada Agustus 2017 utusan masyarakat adat Rendu, Lambo dan Ndora telah bertemu Menteri PUPR. Saat itu Menteri PUPR menyampaikan bahwa satu orang saja masih menolak, maka waduk ini tidak jadi dibangun.

Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, aktivitas BWS Nusa Tenggara II tetap berjalan sampai saat ini, sehingga masyarakat adat yang merasa memiliki tanah ulayat di Waduk Lambo melakukan aksi penolakan termasuk menghadang BWS Nusra II dan tim survey beserta aparat Brimob yang hendak memasuki wilayah adatnya.

BACA JUGA:  PLN Optimalkan Pembangkit Skala Besar dan Energi Bersih di Sumba

“Jadi menurut hemat saya, Kepala BWS Nusa Tenggara II diduga tidak aspiratif dan tidak menghormati hak-hak masyarakat adat dan juga tidak menghiraukan pernyataan Menteri PUPR tersebut,” jelas Philipus.

Dia menyebut, pemerintah yang menjadi salah satu unsur negara ini wajib menghormati hak-hak masyarakat adat sesuai dengan hak konstitusinya, karena sesungguhnya masyarakat adat tidak menolak rencana pembangunan waduk, namun hanya menolak lokasi pembangunan waduk dengan memberikan dua  lokasi alternatif untuk pembangunan yakni Malawaka dan Lowo Pebhu .

Philipus Kami meminta kepada pemerintah pusat hingga daerah serta stakeholder lainnya untuk segera menghentikan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan kegiatan rencana pembangunan waduk Lambo pada lokasi yang ditolak warga yakni Lowo Se, dan menerima saran dan solusi dari masyarakat adat yakni Malawaka dan atau Lowo Pebhu agar aktivitas pembangunan waduk di lokasi alternatif ini segera dimulai.

Dalam kesempatan itu, ia juga berharap kepada aparat Kepolisian maupun Brimob yang sedang bertugas di lapangan, agar dapat menjalankan tugas sesuai SOP Kepolisian yang ada, karena Kepolisian negara hadir untuk mengayomi, melindungi dan menghormati masyarakat adat yang tengah berjuang mempertahankan hak-hak mereka atas tanah adat yang juga warisan leluhurnya.

“Mari kita menjaga adat istiadat dan seluruh kekayaan yang ada sebagai kekuatan dan potensi daerah yang harus dijaga, dilindungi dan dihormati agar karakter daerah dan bangsa ini tetap dalam satu Bhineka Tunggal Ika, walau kita berbeda beda tapi tetap satu,” tutupnya. (*)