Opini  

Renovasi Sekolah Pasca Bencana Melahirkan Bencana Korupsi

Atha Nursasi

Oleh : Atha Nursasi (Pegiat Antikorupsi)

“Mati satu tumbuh Seribu”. Sepenggal kalimat yang umum diucapkan untuk menggambarkan suatu peristiwa yang terjadi secara berulang. Korupsi misalnya, merupakan suatu peristiwa kejahatan hukum yang tak pernah alpa di beritakan. Dari pusat, daerah bahkan di desa-desa, berita seputar kasus korupsi para pejabat publik begitu intens. Demikian aktor, modus, serta kerugian yang diakibatkan sangat beragam. Pendidikan sebagai laboratorium ilmu pengetahuan sekaligus benteng penjaga moral kini telah terinfeksi sebuah virus berbahaya bernama korupsi.

Baru-baru ini, tepatnya pada jumat, 19 juli 2024, Publik Kabupaten Alor dihebohkan dengan berita korupsi yang dilakukan oleh para pejabat daerah beserta pihak kontraktor. dimana, anggaran bantuan renovasi gedung untuk 13 Sekolah Dasar (SD) dan 1 gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) kembali digarong. Renovasi gedung 14 sekolah tersebut merupakan proyek Satuan Kerja Pelaksanaan Prasarana Permukiman Wilayah II Balai Prasaran Pemukiman Wilayah (BPPW) NTT.

Proyek Tersebut dikerjakan oleh PT. Flobamora Perkasa dengan waktu pengerjaan adalah 210 hari terhitung sejak 14 maret-16 oktober 2022. Nilai kontrak awal Proyek sebesar 23,5 Miliar. Para pihak yang terlibat diantaranya seorang ASN di BPPW NTT, direktur PT FP dan Seorang lainnya dari pihak swasta. Potensi kerugian yang diakibatkan sebesar 4,2 miliar. Atas perbuatan tersebut, para tersangka, dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) KUHP subsider Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001.

Praktik culas para pihak ini bukan kali pertama tejadi di Kabupaten Alor, sebelumnya, pada tahun 2022 lalu, Kejaksaan Negeri Kab. Alor menetapkan 7 orang tersangka atas perkara korupsi dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan tahun anggaran 2019. Anggaran proyek sebesar 72 Milliar tersebut akhirnya jadi bancakan para pihak. meraka diantaranya seorang kepala dinas pendidikan beserta dua pejabat lainnya, konsultan proyek dan seorang kontraktor. hal tersebut mengakibatkan kerugian keunganan negara sebesar 1.1 Miliar.

Dari dua kasus di atas menunjukan betapa buruknya sistem dan tata kelola pendidikan kita, lebih khusus di Kabupaten Alor. Selain itu, kasus tersebut juga menambah daftar panjang kasus korupsi di sektor pendidikan secara nasional. Suatu hal yang kontraproduktif manakalah Pendidikan menjadi sektor krusial yang memacu eskalasi pembangunan nasional pada satu sisi sekalipun menjadi sarana para pejabat daerah memperkaya diri dengan cara-cara yang korup. Adalah fakta bahwa pedidikan kita tak lagi bebas dari korupsi.

Dari Seroja Ke Bencana korupsi.

Bencana alam maupun non alam dan bencana korupsi sama-sama memiliki daya rusak yang tinggi. Ketika bencana alam mengakibatkan kerusakan infrastruktur, mengganggu aktivitas sosial, merusak ekosistem, menghilangkan tempat tinggal bahkan menyebabkan korban jiwa, bencana virus covid-19, selain menginfeksi dan mematikan, juga melumpuhkan roda ekonomi yang berujung krisis, maka bencana korupsi Seperti kata Syed Hussain Alatas (1981), “korupsi bisa masuk stadium tiga atau stadium gawat darurat. Ia menyebar secara luas, berlangsung sistematis, dan saling menghancurkan”.

Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa, 14 sekolah yang direnovasi karena mengalami kerusakan parah akibat bencana alam seroja di NTT pada 2022 lalu. Sebuah bencana alam yang begitu dahsyat meluluh lantahkan sebagian wilayah NTT. Kerugian, baik materil maupun imateril tak dapat dihitung. Salah satu upaya pemerintah untuk mempercepat pemulihan pasca bencana adalah melalui bantuan. Skema bantuan dalam merespon setiap bencana sangat beragam, tergantung jenis dan bentuknya. Sayangnya, setiap bantuan yang dialokasikan dan didistribusikan selalu diwarnai dengan ragam kepentingan dari para aktor, baik oleh elit politik, birokrat, pengusaha serta elit-elit sosial lainya. Ibarat gula yang dikerumuni semut, para aktor berkepentingan justru melihat bantuan sebagai keuntungan yang mesti direbut. Dengan kata lain, mereka selalu mencari cela pada setiap program bantuan yang bisa dikonversi menjadi keuntungan. akibatnya, setiap bantuan yang dialokasikan termasuk di sektor pendidikan selama bencana berlangsung atau pasca bencana tak lepas dari praktik korupsi.

BACA JUGA:  Mungkinkah Agama 'Menyusui' Ajaran Moral? (Sebuah Refleksi Kritis)

Bencana korupsi di sektor pendidikan kian mengkhawatirkan. Indonesian Corruption Watch (ICW), dalam rilisnya menyebut pendidikan menjadi salah satu sektor yang bertandan di peringkat lima besar korupsi berdasarkan sektor. Sejak 2016 hingg 2021, tren kasus korupsi di sektor pendidikan terus melejit. Total kasus korupsi disektor pendidikan sebanyak 240 kasus dengan kerugian keuangan negara mencapai 1,6 Triliun. dari keseluruhan kasus yang ada, 12 kasus lainnya terjadi di masa bencana pandemi covid-19 berlangsung (2020-2021). Kasus-kasus tersebut berkaitan dengan Dana Bantuan Operasional (BOP) pendidikan Kementerian agama di beberapa kabupaten/kota dengan modus pemotongan bantuan, Korupsi pengadaan di sektor pendidikan pun tak kalah sedikit. ICW mencatat selama periode yang sama sebanyak 34 kasus korupsi DAK. ini hanya satu bidang yang berhasil diidentifikasi, tentunya di berbagai bidang lain disektor yang sama sangat potensial mengingat sistem dan tata kelola program yang tertutup nan nir partisipatif, hanya akan memperlebar jurang korupsi itu sendiri.

Masalahnya, problem di atas belum menjadi perhatian bagi pemerintah daerah, terutama bagi pemerintah kabupaten alor. Sebaliknya, praktik culas tersebut justru dibiarkan, bahkan dipraktikkan dengan mengkorupsi dana bantua renovasi gedung sekolah. Cara pandang para ASN dan pejabat publik yang tidak jujur sejak dalam pikira selalu melihat cela disetiap program pembangunan, dalam situasi bencana sekalipun, mencari keuntungan diatas penderitaan rakyat, adalah sebuah keharusan dari watak birokrat korup. Padahal birokrat bukan penguasa politik, birokrat adalah pelaksana dari sistem birokrasi, sementara birokrasi, mengutip pendapat marx weber (1989), adalah kekuasaan dan sebagai administrasi yang dijalankan oleh pejabat, sehingga ada kemungkinan warga negara terancam bahkan pejabat melakukan penyimpangan.

Alih-alih berupaya menepis setiap kemungkinan yang terjadi, sebaliknya kemungkinan-kemungkinan tersebut justru dimanfaatkan sebagai peluang memperkaya diri. problem birokrasi semacam ini terjadi salah satunya dipengaruhi oleh cara pandang terhadap birokrasi itu sendiri. menurut Dwiyanto (2004) bahwa pola pikir birokrat sebagian besar ditempatkan sebagai penguasa bukan pelayan publik sehingga perubahan sulit dilakukan demi meningkatkan kualitas pelayanan publik. cara padang semcam ini secara dominan berlaku hampir disemua daerah. Akibatnya, birokrasi cenderung koruptif yang berimbas pada buruknya kualitas pelayanan publik.

Pada akhirnya dapat dipahami bahwa bencana korupsi maupun korupsi bencana sama-sama mendatangkan kerugian bagi publik. Dua kasus korupsi di Pemerintahan Kabupaten Alor dengan telanjang mempertontonkan betapa korupsi menjadi bencana bagi pendidikan dan setiap upaya penanggugalangan bencana rentan terhadap praktik korupsi. sementara itu, masyarakat menjadi entitas yang paling dirugikan. Pendidikan terbengkalai karena infrastrukturnya rusak akibat bencana, pasca bencana, Hak atas infrastruktur sekolah yang layak justru kembali dikorupsi. sebuah praktik kejahatan yang terstruktur, mencederai keadilan dan kesetaraan dalam berpendidikan.

Penulis ingini menutup tulisan ini dengan sebuah kalimat “Tindakan Amoral dan tak Bermartabat pejabat korup itu tak layak diberi hormat”!

Daftar bacaan:

ICW; Tren Penindakan Korupsi Sektor Pendidikan: Pendidikan di Tengah Kepungan Korupsi 2021

ICW: Korupsi bencana, Bencana Korupsi 2019

Masya Septiani, Reformasi Birokrasi, Reformasi Pelayan Publik, 2020