Ethos Korupsi
Belum lama ini, tepatnya dua hari sesudah kita merayakan dirgahayu kemerdekaan RI ke-77 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam gerakan operasi tangkap tangan (OTT) berhasil meringkus Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila) periode 2020-2024 Prof. Karomani atas dugaan penerimaan uang suap mencapai 5 miliar Rupiah. Menurut Plt juru bicara KPK Ali Fikri, Prof Karomani menerima suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri (Tempo.co, 20/08/2022).
Kasus sang profesor ini menunjukkan bahwa praktik korupsi di negeri beribu pulau ini masih sangat masif dan subur. Dengan kasus suap ini kita tiba pada sebuah konklusi bahwa korupsi itu adalah sebuah ethos (Yunani) yang sudah berakar kuat di negeri kita. Frans Ceunfin, seorang rohaniwan Katolik dan pengajar filsafat dalam manuskripnya berjudul etika mendeskripsikan tentang kosakata ethos (akar kata dari etika) sebagai kebiasaan, adat istiadat, cara yang lazim dalam bertindak dan watak. Yeah, praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di negeri kita yang semakin menggila akhir-akhir ini bisa dibaca sebagai sebuah ethos. Dalam artian bahwa korupsi adalah watak kita, kebiasaan kita dan adat istiadat kita. Semakin ia diberantas, semakin ia bertumbuh pesat. Ini memang ganjil dan gila!
Saya menyebutnya demikian sebab banyak orang yang memegang tampuk kekuasaan di dalam institusi-institusi baik itu swasta maupun pemerintah berwatak korup. Dan, sudah terlalu banyak kaum elit dan pejabat publik yang dibayar dengan pajak keringat rakyat berurusan dengan KPK. Hal ini bisa dilihat dari data yang dibeberkan oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam kuliah umum bertema Antikorupsi di Universitas Pembangunan Nasional Veteran Surabaya. Menurutnya, sejak berdirinya KPK, lembaga anti rasuah itu telah menangkap 155 kepala daerah yang terlibat korupsi. Jumlah itu belum termasuk pejabat dari pemerintah pusat, para menteri, hakim dan kepala dinas (Kompas.com, 16/11/2021).
Tak hanya para pejabat eksekutif yang terlibat dalam kasus korupsi melainkan juga pejabat legislatif. Dalam catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) setidaknya terdapat 586 anggota DPR/DPRD menjadi tersangka korupsi dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir (Republika.co.id, 15/2020). Belum lagi para kepala desa di kampung-kampung. Baru-baru ini, seorang Kades di Kabupaten Aru, Maluku ditetapkan oleh Kejaksaan Negeri Kepulauan Aru sebagai tersangka korupsi dana desa sebesar Rp. 412 juta (cnnindonesia.com, 05/08/2022). Jadi, praktik korupsi di Indonesia berjalan cukup masif berdasarkan hierarki jabatan mulai dari atas sampai ke pelosok-pelosk.
Patologi korupsi ini tidak hanya menular ke dalam tubuh para pejabat publik tetapi juga sudah sangat liar menjangkit ke dalam tubuh dunia pendidikan tinggi di Indonesia seperti dalam kasus terbaru di Unila. Menurut Nurul Ghufron, 86% para koruptor adalah alumni perguruan tinggi. Fakta ini mau menegaskan bahwa lembaga perguruan tinggi di Indonesia sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Ini berarti ethos korupsi itu sudah mulai ditaburkan dari dalam kampus-kampus. Maraknya praktik korupsi di dunia kampus tentu bertentangan dengan amanat Undang-Undang No. 22 tahun 1961 tentang perguruan tinggi. Di dalam UU ini ditegaskan bahwa tujuan dari perguruan tinggi ialah membentuk manusia susila yang berjiwa Pancasila.
Kasus suap di Unila yang diprakarsai oleh Prof. Karomani tentu mencoreng wajah perkampusan Indonesia terutama Unila. Semestinya, para profesor seperti Karomani bebas dari opium korupsi dan lebih lengket pada soal-soal ilmiah. Seorang profesor sesungguhnya merupakan simbol pengetahuan dan moral. Tugas dan tanggung jawabnya ialah membakar api ilmiah dan membuka jalan pengetahuan serta keadilan, kejujuran dan nilai-nilai luhur lainnya kepada generasi-generasi muda terutama para mahasiswanya agar mereka terbantu untuk keluar dari zona gelap ketidaktahuan menuju dermaga pengetahuan dan peradaban modern. Bukan sebaliknya, sang profesor menaburkan benih korupsi di dalam kampus dan memberi contoh buruk kepada para mahasiswa barunya. Ini adalah sebuah ironi dan penghianatan paling brutal dari seorang akademisi terhadap dunia perguruan tinggi, profesi dan segala titel akademik yang melekat pada dirinya.
Kecintaan Pada Uang
Praktik suap-menyuap ala Prof. Karomani dan anak buahnya sangat bertalian dengan apa yang disebut oleh Socrates sebagai nafsu tubuh dan kecintaan pada uang. Bagi Socrates, uang harus diperoleh demi dan melayani tubuh (Plato, 2017: 18). Setiap kita tentu mencintai dan menginginkan uang demi menopang kehidupan kita. Pada zaman ini kalau Anda hidup tanpa uang, maka segala sesuatu terasa begitu sulit dan berat untuk dijalani. Namun, menginginkan bertambahnya uang di saku dan rekening di bank dengan memanfaatkan jabatan akademik untuk memeras para mahasiswa adalah sebuah tindakan yang keliru dan tak beradab. Menurut Socrates akibat dari nafsu tubuh dan kecintaan pada uang ialah waktu yang semestinya digunakan untuk berfilsafat menjadi hilang.
Gosip Para Profesor
Kecintaan Prof. Karomani yang berlebihan kepada uang membuat nalar kritisnya meredup drastis dan kehilangan waktu untuk membaca, merenung, berpikir dan mendalami soal-soal ilmiah yang adalah dunianya. Hal semacam ini bisa menyepak seorang akademisi ke dalam dunia gosip (obrolan kosong tentang urusan pribadi) yang tidak bermutu. Tentang gosip kaum akademisi ini penulis Yahudi Yuval Noah Harari dalam bukunya berjudul Sapiens menulis demikian:
“Apakah Anda mengira para profesor sejarah berbincang tentang alasan Perang Dunia Pertama ketika bertemu untuk makan siang, atau para ahli fisika nuklir menghabiskan waktu rehat minum kopi dalam konferensi saintifik untuk membicarakan tentang partikel-partikel atom? Terkadang ya. Namun, lebih sering mereka bergosip tentang profesor yang memerogoki suaminya berselingkuh, pertengkaran antara ketua jurusan dan dekan atau rumor-rumor bahwa seorang kolega menggunakan dana riset untuk membeli Lexus…” (Yuval N.H, 2017: 27).
Jangan-jangan para profesor kita masuk dalam frase Harari di atas? Bisa saja demikian. Mungkin saja jauh sebelum terkena OTT Prof. Karomani dan para anak buahnya sering bergosip tentang cara menambah penghasilan tambahan dengan memeras mahasiswa baru jalur mandiri. Mungkin pula Prof. Karomani berpikir bahwa tindakannya tak akan mendatangkan kensekuensi hukum seperti yang sedang menimpah dirinya saat ini. Ah, sungguh sial! Nafsu dan kecintaan yang berlebihan terhadap uang tenyata membuat seorang profesor benar-benar kehilangan waktu untuk berpikir tajam dalam menganalisa resiko fatal di kemudian hari. Akibatnya Prof. Karomani dan para anak buahnya terjun bebas ke dalam kubangan irasionalitas dan immoral.
Ketiadaan Kebaikan
Pertanyaan yang mesti diajukan di sini ialah mengapa seorang profesor, agen ilmu pengetahuan dan moral terjebak dalam praktik korupsi? Dalam kajian moral Thomas Aquino kita bisa menemukan salah satu jawabannya, yaitu ketidakhadiran kebaikan (absence of goodness). Absennya kebaikan dalam diri bisa merusak tabiat dan mental seseorang serta membuat siapa saja, termasuk sang profesor sekalipun akan bertindak di luar penalaran moral. Dalam kasus Rektor Karomani, ketika sang profesor memutuskan untuk menetapkan jumlah uang suap dari para mahasiswa barunya, di saat itu pula beliau mematikan tombol kebaikan dalam dirinya lalu mengaktifkan tombol keserakahan. Maka, lahirlah keinginan untuk memeras mahasiswa baru jalur mandiri. Nah, kejadian seperti ini bisa menimbulkan seribu satu pertanyaan publik bahwa jangan sampai titel akademik profesor dan jabatan mentereng (rektor) yang melekat pada diri Prof. Karomani adalah hasil suap pejabat kampus dan penguasa di dalam Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Mungkin saja.
Kalau kita sepintas menelisik cara bertindak Prof. Karomani dan anak buahnya dari perspektif moral konstitusi, maka perbuatan para akademisi Universitas Negeri Lampung ini mencederai tujuan dan spirit negara kita dalam upaya mencerdaskan kehidupan seluruh anak bangsa seperti yang tertuang di dalam Pembukaan UDD 1945. Artinya bahwa seandainya para mahasiswa jalur mandiri itu tak menyogok sang profesor, maka mereka tak akan mendapat akses untuk belajar di Unila.
Selain meminta suap, para profesor dan pengajar di kampus-kampus juga seringkali bersikap feodal, otoriter dan mempersulit mahasiswa-mahasiswinya yang kritis dalam urusan pemeriksaan proposal atau skripsi. Tak patut Rektor Prof. Karomani dan kroni-kroninya mempertontonkan contoh buruk dan tabiat merampok kepada generasi-generasi pemimpin masa depan negeri ini. Akan menjadi apakah dunia pendidikan tinggi dan masa depan para pemimpin politik negeri ini ke depan kalau para penyalur ilmu pengetahuan dan moral mempertontonkan moralitas buruk semacam ini kepada para mahasiswa di dalam kampus? Sebagai masyarakat kita sungguh berharap kepada negara dalam hal ini Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi supaya melakukan pengawasan super ketat terhadap kaum profesor dan akademisi yang tersesat di dalam kubangan irasionalis dan immoral sehingga dunia pendidikan tinggi di republik ini bebas dari ethos KKN. Dengan demikian, kampus-kampus kita benar-benar menjadi wadah ilmiah di mana mahasiswa-mahasiswi kita bisa mencari ilmu pengetahuan dan menimbah nilai-nilai moral Pancasila. (*)