Waspada Terhadap Glaukoma, Si Pencuri Penglihatan

dr. Michael Chandra Sarsono

Penulis: dr. Michael Chandra Sarsono

Gangguan penglihatan dapat terjadi ketika kelainan pada mata berdampak pada sistem dan fungsi penglihatan, mengakibatkan terganggunya kehidupan sehari-hari manusia. Saat ini Indonesia dan negara-negara di dunia menghadapi masalah kebutaan dan gangguan penglihatan dengan serius. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan setidaknya seperempat populasi dunia saat ini (sekitar 2,2 miliar jiwa) memiliki gangguan penglihatan bahkan hingga kebutaan. Sebagai penyebab kebutaan nomor dua setelah katarak, Glaukoma seringkali terlupakan padahal memiliki dampak yang juga serius.

Glaukoma merupakan kelompok penyakit mata yang umumnya ditandai dengan kerusakan saraf mata dan kehilangan lapang pandang yang progresif serta berhubungan erat dengan berbagai faktor risiko, terutama tekanan bola mata yang tinggi. Berbeda dengan katarak, kerusakan yang ditimbulkan oleh glaukoma bersifat permanen sehingga gangguan penglihatan dan kebutaan yang ada tidak dapat dikembalikan (ireversibel). Proyeksi global menunjukkan bahwa penderita glaukoma pada tahun 2020 sebesar 76 juta, dengan angka yang terus meningkat hingga pada tahun 2040 dapat mencapai 111,8 juta penderita. Angka glaukoma di Indonesia juga tinggi, Kemenkes melaporkan bahwa 4 hingga 5 orang per 1.000 penduduk di Indonesia menderita glaukoma. Prevalensi penyakit glaukoma di Nusa Tenggara Timur (NTT) menurut Riskesdas 2008 sebesar 2,3‰, yang berarti 2 hingga 3 orang per 1.000 masyarakat NTT menderita glaukoma. Walaupun memiliki angka penderita yang tinggi, ternyata hampir setengah penderita glaukoma tidak menyadari bahwa dirinya memiliki glaukoma.

Mata manusia memiliki komposisi air yang mencapai 98%, dimana komponen air ini terus diproduksi dan diserap secara seimbang untuk menghasilkan tekanan bola mata yang normal. Gangguan pada proses penyerapan air akan meningkatkan tekanan bola mata, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan pada saraf optik. Kerusakan yang ditimbulkan bersifat permanen karena saraf optik tidak memiliki kemampuan untuk regenerasi. Beberapa faktor lain seperti usia lanjut (terutama di atas 40 tahun); riwayat keluarga dengan glaukoma; ras tertentu seperti Asia, Afrika, ataupun Hispanik; trauma pada mata; penggunaan obat-obatan yang mengandung steroid; memiliki kelainan mata lain yang berhubungan; dan penyakit sistemik seperti diabetes atau hipertensi dapat meningkatkan risiko terjadinya glaukoma.

Gambar 1. (Kiri) Gambaran bola mata normal dengan aliran cairan bola mata yang seimbang. (Kanan) Gambaran bola mata dengan ganggguan penyerapan bola mata, mengakibatkan tekanan bola mata meningkat, menyebabkan penekanan dan kerusakan pada saraf optik. (Sumber: Glaucoma.org)

Glaukoma dijuluki sebagai “Pencuri Penglihatan” karena pada tahap awal tipe glaukoma yang paling umum (sudut terbuka) ternyata tidak ditemukan adanya gejala. Tanpa disadari oleh penderitanya, progresivitas  penyakit glaukoma akan menimbulkan kerusakan lapang pandang secara perlahan-lahan hingga menjadi sebuah gejala yang signifikan dan mulai disadari oleh penderitanya. Namun sayangnya, gangguan penglihatan dan kebutaan yang sudah terjadi akibat glaukoma tidak bisa dikembalikan. Pada tahap lanjut, penderitanya akan mengalami kesulitan dalam aktivitas sehari-hari karena lapang pandang yang dimiliki sangat kecil seperti melihat dalam terowongan (tunnel vision). Hal ini akan mudah dikenali ketika penderitanya sering menabrak objek-objek saat sedang berjalan. Sebaliknya, pada glaukoma jenis tertutup umumnya akan menimbulkan gejala penglihatan buram; nyeri di area mata dan/atau kepala;  mata merah; muncul halo (cincin) atau pelangi saat melihat cahaya; hingga mual dan muntah.

BACA JUGA:  Melki-Johni Jalani Pemeriksaan Kesehatan di RSUP Ben Mboi Kupang

Gambar 2. Gambaran tunnel vision pada penderita glaukoma. (Sumber: Medscape.com)

Karena dampak kerusakan yang berat dan sulit disadari oleh penderitanya, perlu adanya perhatian khusus terhadap penyakit ini. Walaupun saat ini belum ada obat yang dapat mengembalikan kebutaan akibat glaukoma, langkah deteksi dini dan pencegahan dapat dilakukan. Jadwal deteksi dini yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan RI adalah sebagai berikut: (1) usia di bawah 40 tahun melakukan skrining setiap 2-4 tahun; (2) usia di atas 40 tahun melakukan skrining setiap 2 tahun; dan (3) bagi orang dengan riwayat keluarga memiliki glaukoma melakukan skrining setiap 1 tahun. Sedangkan pencegahan yang dimaksud memiliki tujuan menekan progresivitas penyakit sehingga kerusakan tidak meluas.

Penanganan glaukoma dapat menggunakan obat-obatan baik dalam bentuk obat tetes maupun obat minum. Obat yang dikonsumsi bertujuan untuk menekan tekanan bola mata agar tidak tinggi. Beberapa metode lain juga dapat dikombinasikan bersama obat-obatan bagi penderita glaukoma yaitu seperti pembedahan, laser, dan pemasangan implan drainase pada mata. Dengan mematuhi anjuran penggunaan obat dengan tepat dan kontrol rutin sesuai jadwal dapat menjaga kestabilan tekanan bola mata. Selain menggunakan obat secara teratur, penderita glaukoma juga dianjurkan untuk melakukan langkah pencegahan sebagai berikut: mengonsumsi buah-buahan dan sayur mayur setiap hari; berolahraga dengan intensitas yang normal; menghindari trauma pada mata dengan menggunakan pelindung; hindari menempatkan kepala pada posisi rendah dalam waktu yang lama; menggunakan kacamata hitam untuk melindungi mata dari sinar ultraviolet.

Gambar 3. Mengonsumsi buah dan sayur memiliki banyak manfaat bagi kesehatan mata. (Sumber: EyeQ.com)

Glaukoma sangat perlu diwaspadai karena dapat menyebabkan kebutaan permanen bagi penderitanya. Namun, untuk menyadari adanya glaukoma sangat sulit karena umumnya tidak bergejala dan kerusakan yang ditimbulkan cenderung perlahan-lahan. Oleh karena itu, deteksi dini pada individu yang berisiko menjadi kunci utama untuk mengatasi masalah ini. Dengan menggunakan obat-obatan sesuai dengan anjuran, kontrol rutin, perilaku hidup sehat, dan melakukan perlindungan terhadap mata dapat mencegah kerusakan glaukoma yang berat. Mari kita cegah glaukoma merenggut penglihatan kita.

Referensi:

  1. American Academy of Ophthalmology. Global prevalence of glaucoma and projections of glaucoma burden through 2040: a systematic review and meta-analysis. 2014.
  2. American Academy of Ophthalmology. Basic and clinical science course, section 10: glaucoma. 2021.
  3. American Academy of Ophthalmology. 10 things to do today to prevent vision loss from glaucoma. 2024.
  4. Central for Disease Control and Prevention. Don’t let glaucoma steal your sight. 2020.
  5. Glaucoma Research Foundation. Glaucoma facts and stats. 2022.
  6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kapan seorang perlu melakukan skrining glaukoma. 2018.
  7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan hasil riset kesehatan dasar provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2008. 2008
  8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peta jalan penanggulangan gangguan penglihatan di Indonesia tahun 2017-2030. 2018.
  9. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi glaukoma di Indonesia. 2019.
  10. World Health Organization. World report on vision. 2019.