Ruteng, KN – Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) mengklaim pihaknya mempunyai kajian normatif dari perspektif undang-undang, terkait sengketa tanah Nanga Banda.
Demikian disampaikan Sekretaris Tim Penertiban dan Pengamanan Aset Pemda Manggarai atas tanah Nanga Banda, Karolus Mance kepada wartawan, Selasa 12 Juli 2022.
“Terkait aset bergerak dan tidak bergerak, dalam undang undang no 5 tahun 1960 itu sudah mengatur tentang agraria, dan kajiannya seperti itu. Setelah membaca UU itu, kita juga tidak mengadopsi,” ujar Karolus Mance.
Menurut Karolus Mance, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai tidak saatnya menggunakan kuasanya untuk menyelesaikan persoalan tanah Nanga Banda. Tetapi tugasnya sekarang harus membuat kasus ini jadi terang benderang.
“Jadi kalau itu haknya rakyat, harus diberikan kepada rakyat. Dan kalau itu haknya pemerintah, maka harus diberikan kepada pemerintah,” jelasnya.
Ia menjelaskan, berkaitan dengan tanah Nanga Banda, sebenarnya Pemda Manggarai tidak serta merta mengklaim bahwa objek tanah itu milik pemerintah.
“Tanah Nanga Banda itu bukan bagian dari tanah komunal adat. Tetapi merupakan tanah negara, yang tidak dikuasai oleh salah satu gendang di Manggarai,” ungkapnya.
“Untuk menguatkan presepsi itu, saya coba mendatangi tokoh tokoh adat di Reo, Bima, Gowa dan orang Manggarai yang sudah ada sebelum kemerdekaan,” tambahnya.
Menurut tokoh adat, kata dia, objek tanah Nanga Banda merupakan tanah bebas yang tidak dikuasai oleh pihak mana pun, termasuk para gendeng yang ada di Kabupaten Manggarai.
“Setelah mereka jawab, saya coba lihat aturan seperti apa kalau tanah bebas. Juka merujuk UU no 5 tahun 60, dia mengatur bahwa kalau tanah itu tidak dimiliki oleh hak komunal, maka itu tanah negara,” tegasnya.
Ia menerangkan, menurut tokoh adat yang hidup saat zaman Belanda, bahwa lokasi tanah Nanga Banda saat itu merupakan lapangan terbang yang dibuat Hindia-Belanda untuk mendaratkan roket perang mereka.
“Dan menurut saksi hidup, ketika dahulu, Jepang sudah menguasai wilayah itu buat parit. Itu artinya secara normatif, Nanga Banda itu dulu merupakan tanah bebas. Lalu zaman penjajahan, aset itu dikuasai lagi oleh penjajah,” terangnya.
Sehingga, kata dia, pihaknya coba melihat kembali UU yang mengatur terkait aset bergerak dan tidak bergerak pada zaman pemerintah kolonial, serta cara pengaligan aset tersebut.
“UU juga mengatur semua aset yang dikuasai para penjajah, baik Belanda maupun Jepang itu dengan sendirinya ketika kita merdeka, ada UU darurat waktu itu yang mengatur bahwa tidak berarti masyarakat yang menguasai aset itu,” ungkapnya.
Kajian Empiris
Menurut Karolus Mance, setelah melakukan kajian secara normatif, Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai juga akan mengkaji juga dari segi empiris.
Empiris itu berarti dokumen-dokumen yang menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai sudah melakukan aktivitas di dalam lahan, untuk menguatkan kajian normatif yang telah dilakukan.
“Sesungguhnya sejak tahun 1985 pemerintah sudah melakukan aktivitas, bahwa ada perorangan Muhamad Gusti Marola mengajukan lagi untuk minta pemerintah menggunakan hak guna atas usaha diatas itu. Melalui pak camat waktu itu dia keluarkan surat keterangan bahwa bisa,” jelasnya.
Sejak tahun 1989 ada 4 orang yang melakukan okupasi, kemudian di panggilan oleh pemerintah waktu itu namanya Pak Maksi Mansur,
“Kebetulan dulu Hamente yang dulu pak Haji Muhamad Marola masih ada dan dia manjadi saksi hidup. Kalau kita omong atas hak untuk tanah secara normatif itu ada dua sertfikat dan keputusan pengadilan bersifat inkrah tapi ingat itu hasil dari sebuah proses,” ungkapnya.
“Sehingga di bawah itu tahun 1990, waktu itu mereka masih melakukan pengukuran dan mereka yang ukuran hasilnya 16 hektare,” tambahnya.
Ia menambahkan, ada informasi bahwa tanah 25 hektare itu terdapat sejumlah oknum yang menggiringnya untuk membenturkan pemerintah dan pihak SVD. Setelah melihat dokumen, ternyata tanah yang menjadi landasan lapangan udara waktu itu tidak termasuk SVD.
“Jadi di SVD itu tanah yang dikuasai “Mori Reo” yang merupakan keturunan keluarga Mamanda dan Marola yang diketahui datang bersamaan dengan pemerintah Hindia Belanda saat itu. Sehingga mereka yang menyerahkan tanah itu ke pihak SVD,” tandasnya. (*)