Kupang, KN— Gubernur Nusa Tenggara Timur Emanuel Mekiades Laka Lena resmi mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor: 01/DISNAK/2025 terkait pembatasan pergerakan Hewan Penular Rabies (HPR) di seluruh wilayah provinsi. Hal ini dilakukan sebagai upaya penanggulangan wabah rabies yang terus meningkat selama tahun 2025.
Dalam instruksi yang ditandatangani di Kupang pada 4 Agustus 2025 tersebut, Gubernur menyatakan bahwa hingga pertengahan tahun ini telah tercatat 10.605 kasus gigitan HPR, yang melibatkan hewan seperti anjing, kucing, dan kera.
“Dari jumlah tersebut, sebanyak 16 orang dilaporkan meninggal dunia akibat terinfeksi virus rabies,” tulis Gubernur Melki.
Tindakan Serentak Mulai 1 September 2025
Untuk mencegah penyebaran lebih lanjut, Gubernur NTT menginstruksikan kepada para bupati dan walikota se-provinsi NTT, serta instansi vertikal terkait, untuk melaksanakan langkah-langkah sebagai berikut:
• Pembatasan Pergerakan Hewan Penular Rabies
HPR tidak diperbolehkan dilepasliarkan di luar rumah atau pagar. Pembatasan ini berlaku mulai 1 September hingga 1 November 2025, sebagai upaya memutus rantai penularan.
• Vaksinasi Rabies Serentak
Vaksinasi rabies terhadap hewan penular akan dilakukan serentak di seluruh kabupaten/kota endemis pada periode yang sama, 1 September hingga 1 November 2025.
• Sosialisasi dan Edukasi ke Masyarakat
Pemerintah daerah diminta meningkatkan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) tentang bahaya rabies dan langkah pencegahan yang dapat dilakukan masyarakat.
• Pendanaan
Biaya pelaksanaan instruksi ini akan dibebankan kepada APBD Provinsi, APBD Kabupaten/Kota, serta sumber lain yang sah dan tidak mengikat.
• Pengawasan Pelaksanaan
Kepala Dinas Peternakan Provinsi melalui Pejabat Otoritas Veteriner ditugaskan untuk mengawasi implementasi instruksi ini di seluruh wilayah.
“Instruksi ini ditujukan kepada para kepala daerah, unsur TNI dan Polri, serta instansi teknis terkait seperti Dinas Peternakan dan Balai Karantina di seluruh wilayah Nusa Tenggara Timur,” tegas Melki.
Langkah ini diambil sebagai bentuk respons cepat pemerintah provinsi dalam menanggulangi ancaman rabies yang sudah menelan korban jiwa, sekaligus mencegah penyebaran lebih luas yang berpotensi menimbulkan krisis kesehatan masyarakat. (*)