Kupang, KN – Mantan Sekretaris Daerah Provinsi NTT Tahun 2010-2017, Frans Salem, menegaskan pembangunan Hotel Plago yang dilakukan oleh PT. Sarana Investama Manggabar (PT. SIM) di Pantai Pede membuat aset seluas 31.670 M2 milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT tersebut yang sebelumnya terlantar jadi bermanfaat.
“Aset kita ini jadi dimanfaatkan pihak ketiga. Di situ kita bersyukur, aset yang tadinya nganggur jadi bermanfaat,” jelas Frans, saat memberikan kesaksian, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Kupang, Jumat (26/1/2024).
Frans diperiksa untuk Terdakwa Bahasili Papan dalam sidang lanjutan perkara dugaan tindak pidana korupsi (tipikor) pemanfaatan aset Pantai Pede, Kelurahan Gorontalo, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Provinsi NTT.
Menurut Frans, yang dihasilkan dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Pemerintah Provinsi dengan PT. SIM di tahun 2014 cukup baik. Sebab, membuat Pemprov NTT akan memperoleh bangunan hotel tanpa mengeluarkan anggaran.
Selain itu, selama kerja sama berlangsung, Pemprov NTT mendapatkan kontribusi tahunan senilai Rp255 juta/ tahun, serta memperoleh pembagiann keuntungan (profit sharing) di tahun ke-10. “Aset terebut dari nol (0). Yang tadinya tanah saja jadi akan ada bangunan hotel jadi milik Pemprov NTT.” ujarnya.
Kendati demikian, lanjut Frans, pembagian keuntungan tersebut belum terlaksana, dikarenakan setelah ia pensiun, kemudian pemanfaatan aset di Pantai Pede tersebut dipermasalahkan, hingga terjadi pemecatan sepihak PT. SIM oleh Pemprov NTT dan terjadi pemeriksaan dugaan tipikor oleh Kejaksaan Tinggi NTT.
“Sebelumnya tidak pernah ada masalah,” katanya. “Saya membaca dari perjanjian kerja samanya, maka dari itu saya paraf. Setelah saya pensiun, prosesnya dilanjutkan oleh yang lain. Dari 2017 saya sudah pensiun,” paparnya.
Frans mengatakan, saat dirinya menjabat, pelaksanaan PKS Bangun Guna Serah (BGS) di Pantai Pede sempat menimbulkan aksi demonstrasi dari masyarakat Manggarai Barat terkait dua hal : (i) masyarakat protes bila aset tersebut dijadikan Hotel, karena dikira akan menghilangkan ruang terbuka publik; dan (ii) menginginkan aset tanah tersebut menjadi milik dearah Manggarai Barat.
“Ada demo penolakan saat itu, saya mengikuti. Masyarakat minta untuk diserahkan ke daerah Kabupaten. Kita tidak bisa melakukan itu, karena masing-masing ada otonomi daerah,” ujarnya.
Frans mengutarakan demonstrasi masyarakat tersebut sempat membuat pembangunan hotel oleh PT. SIM menjadi terganggu. Namun, mengingat kewajiban mengantisipasi gangguan di dalam PKS berada di Pemprov NTT. Maka, saat itu Pemprov NTT ikut membantu mencari solusi dan jalan tengah sehubungan dengan aksi demonstrasi tersebut. “Aset tetap berada di Provinsi. Lalu akses masyarakat tidak dibatasi untuk ke sana.” tukasnya.
Sehubungan dengan tuduhan tidak adanya tender, serta terjadi penunjukan langsung dalam Penetapan PT SIM sebagai Mitra Bangun Guna Serah, kemudian tuduhan mengenai terlalu kecilnya nilai kontribusi tahunan yang menurut dakwaan seharusnya Rp1,5 miliar/ tahun dan bukan Rp255 juta/ tahun di dalam Pembuatan PKS itu sendiri, Frans menegaskan, bahwa dirinya tidak mengetahui seluk beluk teknis substansinya. Sebab, urusan teknis dilakukan oleh tim yang dibentuk Alm. Gubernur Frans Lebu Raya berupa Tim Seleksi dan Tim Pengkajian yang didalamnya terdapat tugas untuk melakukan penilaian.
“Ada keputusan Gubernur tentang Tim Seleksi dan Tim Pengkajian. Lalu ada Keputusan Gubernur terkait bidang tanah Pantai Pede masuk sebagai aset yang akan dikerjasamakan dengan pihak ketiga,” jelasnya.
Sementara itu, Zet Libing, mantan Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, dalam persidangan mengakui PHK PT SIM berawal dari usulan Pemprov NTT untuk menaikkan nilai besaran kontribusi sejak akhir tahun 2018, kemudian diikuti oleh hasil penilaian audit BPKP Perwakilan Provinsi NTT Tahun 2019, yang menilai Daerah Provinsi NTT kurang mendapatkan untung jika kontribusi hanya Rp255 juta/ tahun.
Namun demikian, PHK akhirnya dilakukan Pemprov NTT kepada PT SIM setelah memberikan somasi sebanyak 1 kali. “Kami somasi 1 kali. Setelah PHK, kami memberikan SP (Surat Peringatan) sebanyak tiga kali agar PT SIM keluar dan mengosongkan bangunan. Lalu kami ambil alih,” jelasnya.
Alasan PHK, ujarnya, sehubungan dengan Audit BPK RI Perwakilan NTT Tahun 2019 yang menyebutkan bahwa PT SIM diduga tidak melakukan pembayaran kontribusi selama 3 tahun berturut-turut, yakni sejak tahun 2015-2017. Kendati demikian, Zet Libing mengakui, bahwa BPK RI tidak pernah mengusulkan pemutusan sepihak terhadap PT SIM, serta tidak menyimpulkan adanya kekurangan besaran nilai kontribusi. “Yang menyimpulkan kurang memberikan keuntungan adalah BPKP di Tahun 2019,” jelasnya.
Zet Libing melanjutkan, setelah bangunan diambil alih, kemudian Pemorov NTT menunjuk PT Flobamor sebagai mitra Kerja Sama Pemanfaatan (KSP), berdasarkan Penunjukan Langsung. Ia berdalih PT Flobamor pada akhirnya juga tidak mampu memberikan kontribusi sama sekali, yang diharapkan bisa naik menjadi Rp835 juta/ tahun dengan alasan barang-barang di dalam Hotel sudah tidak ada dan Hak Guna Bangunan masih atas nama PT SIM.
Selain Zet Libing, Johana E. Lisapaly (mantan Asisten Pemerintah Provinsi Bidang Pemerintahan, Peraturan Perundang-undangan dan Kesejahteraan Tahun 2011-2016), dan Alexon Lumba (mantan Kepala Biro Hukum Pemerintah Provinsi NTT) ikut dihadirkan Penuntut Umum sebagai Saksi dalam sidang di hari Jumat (26/1/2024) terhadap 4 Terdakwa Dugaan Tipikor Pemanfaatan Aset Pemerintah Provinsi NTT di Pantai Pede, Manggarai Barat atas nama Thelma DS Bana (mantan Kepala Bidang Pemanfaatan Aset Dinas Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT), Heri Pranyoto (Direktur PT SIM), Lydia Chrisanty Sunaryo (Direktur PT Sarana Wisata Internusa) dan Bahasili Papan (Pemegang Saham Tidak Langsung PT. SIM dan Pemegang Saham PT. SWI). (*/kn)