Ruteng, KN – Kasus sengketa tanah Nanga Banda di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), hingga kini masih menuai pro kontra antara masyarakat dan Pemerintah Daerah setempat.
Mantan Kepala Desa Reo, H. A. Madjid HAR, menjelaskan, ia bersedia memberikan keterangan, jika kesaksiannya dibutuhkan dalam persidangan di Pengadilan nanti.
Menurut mantan Kades Reo periode 1982-1997 ini, keterangan yang akan disampaikan nanti berdasarkan apa yang dilihat dan didengar, ketika diundang menghadiri rapat Muspika Kecamatan Reok terkait kasus tanah Nanga Banda, pada awal tahun 1989 silam.
Dalam rapat itu, kata dia, mantan Dalu Reok, Muhammad Yusuf Marola dihadirkan sebagai narasumber, dimana ia menjelaskan riwayat dan kronologi tanah Nanga Banda, yang berlokasi di Kecamatan Reok itu.
“Keterangan yang diberikan berdasarkan apa yang saya lihat dan dengar dari penuturan Muhammad Yusuf Marola. Sampai kapanpun saya tidak akan merubahnya, termasuk kalau memberikan keterangan pada persidangan,” ujar Madjid HAR, Kamis 14 Juli 2022.
“Saya tidak membela siapa-siapa, karena itu adalah tanggung jawab saya di dunia akhirat. Tidak bisa katakan B, jika itu adalah A,” jelas Madjid menambahkan.
Madjid mengisahkan, ia mengetahui riwayat tanah Nanga Banda, ketika menghadiri rapat unsur Muspika di Kantor Camat Reok, Kabupaten Manggarai, pada tanggal 31 Januari 1989 lalu.
Rapat itu dipimpin langsung oleh camat, dan dihadiri tokoh masyarakat, termasuk para keluarga yang mengklaim memiliki tanah di Nanga Banda. Lahan itu mulai diklaim sejak tahun 80 an.
Berdasarkan keterangan Muhammad Yusuf Marola saat rapat, Abdul Madjid kemudian paham, bahwa sejak tahun 1973, tanah Nanga Banda dikuasai Pemerintah Hindia Belanda, dimana lokasi itu kemudian dijadikan lapangan terbang untuk mendaratkan pesawat tempur milik Belanda.
“Saya tidak tahu soal Nanga Banda. Tetapi Yusuf Marola yang memberikan keterangan, dimana Pemerintah Belanda berikan kuasa kepadanya untuk menjaga dan mengawasi lahan itu,” terangnya.
Yusuf Marola, dalam pertemuan, kata Madjid, menguraikan jika setelah berakhirnya kekuasaan kolonial, tanah Nanga Banda kemudian menjadi lahan terlantar, sebelum diserahkan kepada Pemda yang ditandai dengan penanaman pilar batas.
Utara berbatasan dengan kuburan Isalm baru, selatan barat dengan tanah Usman Daeng Pasala, kemudian selatan timur dengan lorong Suyono, bagian utara dan selatan berbatasan langsung dengan landasan pesawat.
Sementara bagian timur dengan kuburan Islam, barat dengan tambak garam milik Abdul Karim M. Saleh, dan terus ke utara berbatasan dengan sekolah besar yang digali, ketika pembuatan industri garam.
“Jadi setelah dari rapat itu, Yusuf Marola bersama unsur Muspika bergegas ke lokasi untuk menunjukan batas-batas tanah Nanga Banda itu,” ungkapnya.
Dari penjelasan Yusuf Marola kala itu membuat sejumlah oknum yang ketika itu mengklaim memilki lahan diatas objek tanah Nanga Banda akhirnya angkat kaki. Dimana mereka mengakui, dan menyerahkan kembali aset ke pemerintah melalui camat.
“Waktu itu camat pak Maksimus Mansur. Dengan demikian, selama saya jabat kelapa desa tahun 1982-1997, tidak ada lagi oknum yang mengkalim tanah di Nanga Banda. Setelah kelurahan baru, ada sedikit masalah,” terangnya.
Madjid menjelaskan, pengukuran dan penegasan kembali batas tanah Nanga Banda dilakukan bersamaan dengan pengukuran total luas Desa Reo.
“Saya sendiri hanya patok wilayah desa saja, karena wilayah Desa Reo itu pernah dipatok sampai di wilayah BGR kali mati ke bawah sampai di laut. Yang ukur termasuk tanah Pemda yang luasnya sekitar 10 hektar. Saya ikut rapikan pilar sampai di tambak milik Yakub Abas yang aslinya dulu bukan yang baru,” jelas Madjid.
Setelah penanaman pilar, pemerintah dan masyarakat kemudian menggali saluran membatasi tanah pemerintah dan tambak garam milik masyarakat, sehingga digalilah selokan karena mau dibuat tambak garam baru.
“Waktu itu pak bupati Anton Bagul ada industri garam, sehingga orang bikinlah tambak garam di situ yang menurut pengakuan Yusuf Marola bahwa semua menjadi aset pemerintah di bagian barat,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Abdul Madjid HAR merupakan salah satu tokoh yang diwawancarai tim Penertiban Aset, sebelum Pemda Manggarai melakukan pembongkaran pagar milik warga di Nanga Banda. (*)