Penulis: Yohanes A. Loni
Mahasiswa STFK Ledalero
Konflik, tindakan kekerasan dan terorisme semakin menjadi problem bagi seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Belbagai tindakan kekerasan yang kita alami ahkir-ahkir ini menyebabkan banyaknya penderitaan dan kerugian besar, tidak hanya bagi korban yang langsung terkena kekerasan atau terorisme itu, para kerabat dan kenalannya, tetapi juga bagi banyak orang yang tidak mengalami secara langsung peristiwa tak berprikemanusiaan itu. Ingat saja di Makasar. tiba-tiba saja Minggu pagi 28/3/21 pukul 10.24 Wita Makasar dikejutkan dengan bom bunuh diri yaitu terjadi di halaman parkir gereja Katedral, saat mana sedang dilangsungkan ibadah palma. Ini merupakan peristiwa yang tak pernah terduga akan terjadi.
Beragam alasan dijadikan dalil yang pada ahkirnya melahirkan pertikaian, konflik, dan tindakan kekerasan dan terorisme. Agama misalnya, tak jarang dijadikan dalil yang menjadikan sesama manusia menjadi tumbal.
Mengalami dan mengamati tindakan kekerasan itu, seringkali kita merasa tak berdaya, kita yakin, kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasinya. Paling-paling kita merasa marah terhadap para pelaku atau merasa kasihan dengan para korban dan kita tuntut agar pemerintah dan petugas keamanan bertindak untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan.
Saya berpendapat bahwa untuk membentuk sebuah kesadaran masing-masing kita agar melihat dengan lebih jelas belbagai akar dan alasan bagi tindakan kekerasan yang terjadi dan juga bagaimana kita sendiri mencari akar dan alasan itu. Dan bila kita memperhatikan belbagai problem kekerasan yang terjadi dengan berbagai dalil yang menyebabkan tindakan kekerasan, maka sesungguhnya kita bisa membuat sesuatu untuk mencegahnya.
Kita di Indonesia memiliki suatu tradisi dengan banyak unsur tolerasi yang patut dibanggakan, kita mesti berusaha agar tradisi ini tidak dihancurkan, agar budaya dan keyakinan dasar kita jangan dirusakan oleh kekuatan yang ingin menggunakan rasa tidak puas terhadap banyak orang untuk menanam kebencian dan kecendrungan pada tindak kekerasan. Kita mesti sadar bahwa kekerasan tidak mengatasi persoalan apapun, hanya nambah soal.
Akar-akar kekerasan
Pertanyaan penting, mengapa manusia suka sekali melakukan kekerasan terhadap sesamanya, malah menganggapnya sebagai hal yang biasa-biasa saja? Pertanyaan ini selalu menyimpan keheranan. Keheranan adalah sebentuk perasaan yang muncul tiba-tiba takkala seseorang menghadapi sesuatu yang tidak lumrah. Untuk menjawabi pertanyaan ini, juga untuk meminilisasi keheranan atas pertanyaan tersebut, mari kita lihat akar-akar kekerasan dalam diri manusia yaitu akar epistemologis, antropologis, dan sosiologis.
Pertama, akar epistemologis. Akar ini bersentuhan langsung dengan kegagalan seseorang untuk mengenal orang lain sebagai sesama. Orang lain, secara diametral dianggap sedemikian rupa sebagai “gangguan”. Dengan kegagalan ini, orang lain sesungguhnya didehumenisasikan dan malah didepersonalisasikan sebagai objek yang seenaknya dilukai, sebagai lawan yang mesti dienyah-lenyapkan.
Kedua, akar antropologis. Akar ini berhubungan dengan kekeliruan persepsi. Tindakan melukai dan menghabiskan sesama bisa niscahaya terjadi selama pelaku melihat tindakan sadistiknya itu sebagai sesuatu yang bernilai, sebagai hal yang patut. Seseorang melakukan kekerasan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun, jika tindakannya itu dianggap sebagai perealisasian terhadap sebuah nilai. Malah lebih radikal, membunuh, menghabiskan sesama atau tindakan kekerasan lainnya dianggap sebagai ‘kewajiban etis’. Kekerasan demikian berajah banal; di satu sisi, menjadi sesuatu yang sistematik ada di mana-mana, dilakukan oleh siapa saja, dan di sisi lain, orang tampaknya menjadi permisif terhadap kekerasan, menghalalkannya, tidak perihatin terhadapnya, dan menganggapnya sebagai hal biasa-biasa saja.
Banalitas kejahatan ditandai dengan kegagalan seseorang untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Orang yang gagal berdialog dengan dirinya sendiri akan memahami kejahatan yang terjadi sebagai sebagai kejahatan dipicu oleh ketumpulan hati nurani dan kegagalan untuk berpikir kritis.
Lihat saja, aksi bom bunuh diri dengan motivasi utopis yaitu diiming-iming sebagai mati syaid dan langsung masuk surga, malah dipertegas lagi dengan janji syawat bahwa setelah mati konyol itu, pelaku langsung disambut para bidadari perawan. Barangkali ini merupakan sebuah kebodohan paling parah dan keseatan berpikir yang paling fatal.
Ketiga, akar sosiologis. Seseorang bisa melakukan kekerasan karena adanya tatanan masyarakat dan struktural yang tidak beres. Kesadaran di sini dilihat sebagai sebuah bentuk protes dan perlawanan. Orang dapat membuat perlawanan selain didorong oleh kehendak sendiri. Kebanyakan pembunuhan, kejahatan dan kekerasan sadistik lainnya tidak didasarkan pada rasa benci, tetapi juga karena desakan perintah sebuah otoritas.
Lebih banyak kejahatan yang mengerikan dilakukan atas nama kepatuhan daripada atas nama pembangkangan. Terminologi “atas nama” sebenarnya merupakan sebuah argumentum confermationis untuk mendapat legitimasi dan afirmasi atas apa yang dilakukan. Tindakan kekerasan atas nama misalnya merupakan bentuk dari sebuah tindakan yang akan mendapat pengesahan jika agama diikutsertakan sehingga dengan membawa nama agama, tindakan apapun, termasuk kekerasan yang sejatinya dilarang oleh agama, menjadi tindakan yang suci. Bahkan kematian akibat kekonyolan persepsi disebut sebagai mati syahid.
Kekerasan sungguh menyusupi dan menyusuri sendi-sendi kehidupan. Acapkali, kehadirannya dianggap sebagai sesuatu yang asing. Dan lebih sering dipahami sebagai sesuatu yang tak terpahami. Tak terselami dan malah tak teratasi. Singkatnya, kekerasan dapat menyeret kita untuk “memikirkan apa yang sebenarnya tak bisa dipikirkan”, kata Hannah Arendt ini berarti, teoretikus politik Jerman ini melihat kekerasan bukan sebagai persoalan dalam wilayah moral semata, melainkan juga sudah masuk dalam ranah epistemologis. Artinya, kekerasan sebagai tindakan melukai disebabkan oleh kemalasan untuk berpikir panjang dan kemiskinan imajinasi. Singkatnya, orang bisa berbuat jahat karena didorong oleh dua hal: a). Distorsi persepsi pelaku terhadap korban. Artinya, pelaku gagal melihat orang lain sebagai subjek, melainkan sebagai objek. b). Ketidakberpikiran. Artinya, ketika orang berbuat jahat, imajinasinya tertutup sehingga tidak mampu membayangkan perasaan dan ketakutan korbannya. Kekerasan seperti ini sejenis penyakit menular. Sekali tertular, orang akan menjadi pendek pikir. Imajinasi jadi buntu untuk membayangkan posisi korban.
Barangkali, kesimpulan yang paling cocok untuk menerangkan kekerasan masif di atas adalah pernyataan Aristophanes, seorang dramawan Yunani klasik yang pada suatu ketika ditanyai oleh seorang pemuda, “apa pendapatmu kalau melhat dua gerombolan orang yang sedang saling menyerang penuh beringis?” Aristophanes menjawab: “mereka itu gerombolan orang bodoh. Kesamaan antara yang bodoh dan pintar adalah sama-sama memiliki otak. Tetapi bedanya, orang bodoh menggunakan otot untuk menyerang, orang pintar menggunakan otaknya untuk meredam persoalan. Orang bodoh tidak tahu bagaimana menjadi pintar. Sebab dia tidak pernah menjadi pintar dan bangga dengan kebodohannya. Sementara, orang pintar tahu bagaimana mnjadi orang bodoh karena dulu ia pernah bodoh dan kini sudah menjadi pintar.”
Orang yang tidak takut pada keburukan adalah sebuah kebodohan. Bisa saja, pernyataan Aristophanes di atas menegaskan hal ini: di hadapan kekerasan, sekalipun atas nama Tuhan dan agama, batas antara bodoh dan pintar dirobohkan oleh keliaran yang membabi buta.
Kesimpulan
Aksi bom bunuh diri adalah tindakan ‘ideot’ atas pelakunya. Sang penggerak dan pencetus suatu pahaam hanya untuk memenuhi nafsu angkaramurka atas pemahaman paham yang diterimannya. Otak dibalik peristiwa bom bunuh diri punya ambisi atas kekuasan sesuatu. Yang jikalau saja dia mendapatkan kesempatan untuk itu, maka cara-cara tak masuk akal dan cendrung mengedepankan akan menghasilkan kepemimpinannya. Sehingga tidak ada kepatuhan untuk mengikuti orang maupun ajarannya.***
Fredi Shebo, Moral Samaritan (Maumere: Penerbit Ledalero, 2018) hlm. 85.
Ibid., hlm. 86