Waingapu, KN – Tanpa podium megah, tanpa karpet merah, satu mimbar kecil berdiri di tengah Gedung Gereja Kristen Sumba (GKS) Tanarara, Kecamatan Matawai La Pawu, Sumba Timur. Dari tempat yang sunyi dari gegap gempita politik nasional inilah, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) bersama Anggota Komisi XIII DPR RI, Dr. Umbu Rudi Kabunang, memulai sebuah gerakan besar: Penguatan Relawan Kebajikan Pancasila.
Kepala Biro Pengawasan Internal BPIP, Purno Utomo, menjadi juru bicara paling lantang dalam forum ini. Ia tidak hanya bicara tentang program, tetapi tentang arah masa depan ideologi bangsa.
“Di tempat lain, kegiatan seperti ini biasa digelar di hotel. Tapi di sini, kami datang ke desa. Ini bukan sekadar simbolik, tapi strategi. Karena nilai-nilai Pancasila justru hidup lebih nyata di akar rumput,” ujar Purno dalam sambutannya, Selasa (5/8/2025).
Ia menyebut Sumba Timur sebagai “ladang subur ideologi”. Di balik sabana kering dan jalanan berbukit Tanarara, tersembunyi kekayaan nilai sosial yang sangat dekat dengan Pancasila: gotong royong, solidaritas, musyawarah, dan keadilan sosial.
”Yang kita lakukan hari ini bukan menanam sesuatu yang asing. Kita hanya menyulut kembali api yang sudah ada,” lanjutnya.
Membongkar Akar, Menyiram Nilai
Forum yang digagas BPIP dan Umbu Rudi ini bukan ajang seremonial belaka. Ia bagian dari gerakan nasional pembumian Pancasila, yang kini diarahkan untuk bertumbuh dari komunitas-komunitas kecil. Targetnya: melahirkan ratusan simpul relawan kebajikan dari desa-desa di seluruh Indonesia.
Program ini memiliki dasar hukum yang kuat. Purno merujuk pada Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang RPJPN serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur efisiensi anggaran dan penguatan nilai kebangsaan.
“Pancasila harus diyakini, dipelajari, dan dipraktikkan. Tidak cukup diajarkan di ruang kelas, tapi harus menjadi budaya hidup,” tegasnya.
Dari BP-7 ke BPIP: Ideologi yang Terus Hidup
Purno juga mengingatkan, BPIP lahir dari sejarah panjang kelembagaan pembinaan ideologi: dari BP-7 di era Orde Baru, bertransformasi menjadi UKP-PIP di masa awal Jokowi, dan kini menjadi BPIP dengan mandat yang lebih kuat dan sistematis.
Tugas BPIP tidak sekadar sosialisasi, tapi juga sinkronisasi kebijakan, evaluasi kurikulum, hingga memberi masukan terhadap regulasi yang menyimpang dari nilai Pancasila.
Namun, kata Purno, semua itu akan sia-sia jika tidak menyentuh realitas sosial.
“Kami di BPIP sadar, ideologi tidak hidup di atas kertas. Ia hidup di tengah masyarakat, dan di sinilah letaknya peran strategis desa-desa seperti Tanarara,” ujarnya.
Mimbar Sunyi, Suara Besar
Di Tanarara, bersama tokoh masyarakat Pdt. Abraham Litinau dan tokoh pemuda lokal Hermanus Hilungara, forum tersebut menjadi ruang dialog tentang bagaimana Pancasila harus didekati dengan cara baru, bukan sebagai dogma, tetapi sebagai kisah dan teladan.
Dr. Umbu Rudi Kabunang, menekankan bahwa tugas wakil rakyat tidak berhenti di gedung parlemen. “Pancasila bukan milik pemerintah. Ia milik rakyat. Dan rakyatlah yang paling berhak menjaganya,” ujar Umbu Rudi.
Di ujung acara, sekitar 300 warga yang hadir disuguhi kuis kebangsaan berhadiah dan tarian khas Sumba bernuansa Pancasila, sebuah perayaan kebangsaan yang sederhana, tapi bermakna dalam.
Tanpa panggung mewah dan kamera televisi nasional, dari Tanarara, BPIP dan DPR RI memulai kembali kerja panjang: menyemai ideologi dari akar. Sebab seperti dikatakan Purno Utomo, “di tengah gempuran globalisasi dan krisis identitas, desa adalah benteng terakhir dari nilai-nilai bangsa.”*/llt