Kupang, KN – Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta pemerintah pusat memberikan perhatian dan kebijakan khusus dalam penerapan aturan Over Dimension and Over Loading (ODOL) di wilayah kepulauan seperti NTT.
Permintaan tersebut disampaikan Ketua Aptrindo NTT, David Ongkosaputra, usai kegiatan rapat koordinasi dan sosialisasi aturan ODOL yang digelar Aptrindo NTT bersama sejumlah instansi, Rabu (25/6/2025) di Hotel Ima, Kelapa Lima, Kota Kupang.
David menilai bahwa penerapan aturan ODOL yang berlaku secara nasional belum mempertimbangkan kondisi geografis dan ekonomi NTT.
Ia menegaskan, sebagai provinsi kepulauan dengan wilayah yang tersebar dan minim industri, NTT sangat bergantung pada pasokan barang dari luar, khususnya dari Pulau Jawa.
“NTT ini bukan wilayah industri atau produksi. Hampir semua barang kebutuhan datang dari luar. Kalau ODOL diterapkan tanpa penyesuaian, maka distribusi barang ke pulau-pulau kecil akan terganggu,” jelas David.
Menurutnya, surat edaran Korlantas Polri menetapkan masa sosialisasi aturan ODOL berlangsung dari 1 hingga 30 Juni 2025, dilanjutkan dengan masa peringatan dari 1 sampai 13 Juli 2025. Selama periode ini, tidak dilakukan penindakan hukum seperti tilang.
Namun, David mengimbau para pengemudi dan pengusaha angkutan untuk tetap waspada dan mendokumentasikan jika ada penindakan di lapangan selama masa sosialisasi.
“Jika ada tindakan hukum yang tidak sesuai dengan masa sosialisasi, kami sarankan untuk merekam atau memotret kejadian tersebut sebagai bukti agar bisa ditindaklanjuti ke pihak berwenang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aptrindo NTT masih menunggu kepastian dari pemerintah pusat terkait kemungkinan adanya diskresi atau peninjauan ulang terhadap penerapan aturan ODOL di daerah-daerah tertentu.
“Kami mendengar ada wacana penyesuaian, tapi belum ada kepastian resmi. Harapan kami, pemerintah melihat kondisi riil di lapangan, bukan hanya berdasarkan aturan hitam-putih di atas kertas,” katanya.
David juga menegaskan bahwa tanggung jawab penerapan ODOL seharusnya tidak hanya dibebankan kepada pengusaha angkutan. Pemerintah perlu memperhatikan seluruh rantai logistik, mulai dari pengusaha barang, fasilitas pelabuhan, hingga kesiapan infrastruktur yang belum merata di wilayah NTT.
“Kita bicara distribusi ke pulau-pulau yang bahkan tidak memiliki pelabuhan kontainer. Hanya kapal feri yang bisa masuk. Kalau aturan ODOL diterapkan secara kaku, lalu bagaimana nasib masyarakat di pulau-pulau kecil?” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa penerapan aturan ODOL secara penuh tanpa mempertimbangkan kondisi lokal berpotensi menghambat arus distribusi barang dan meningkatkan biaya logistik, yang akhirnya akan membebani masyarakat.
“Tujuan kami jelas, memastikan distribusi tetap efisien dan tidak melanggar aturan. Tapi aturan juga harus realistis dan adaptif terhadap kondisi wilayah seperti NTT,” pungkas David. (*)