Ragam  

Peminangan Pendeta dan Adat Ndao yang Menembus Sekat Perbedaan

Adat Ndao memiliki keunikan dan perbedaan yang mencolok dengan adat masyarakat Rote atau suku Timor pada umumnya.

Upacara peminangan Pdt. Faizal P. de Haan (Isak de Haan) dan Pdt. Christy H. V. Lussi (Elen Lussi). (Foto: Ama Beding)

Kupang, KN – Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) kaya akan adat istiadat. Mereka hidup berdampingan dengan adat dan budaya yang menjadi nilai filosofis dalam kehidupan setiap hari.

Demi melestarikan adat istiadat yang sudah diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikut, maka keluarga besar Lussi di Kupang memutuskan untuk menggunakan adat Ndao dalam proses peminangan putri mereka.

Adat Ndao pada umumnya digunakan oleh warga yang berasal dari Pulau Ndao. Pulau Ndao atau rai Dhao adalah sebuah pulau kecil di sebelah barat Pulau Rote di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Pulau Ndao adalah salah satu dari tujuh pulau di wilayah Sunda Kecil, yang disebut “busur luar”.

Senin 22 Mei 2023 menjadi hari di mana proses adat Ndao dikenalkan kepada anak cucu keluarga besar Lussi melalui upacara peminangan Pdt. Faizal P. de Haan (Isak de Haan) dan Pdt. Christy H. V. Lussi (Elen Lussi)

Dr. Daud Saleh Ludji selaku juru bicara keluarga besar Lussi mengatakan, adat Ndao memiliki keunikan dan perbedaan yang mencolok dengan adat masyarakat Rote atau suku Timor pada umumnya.

“Hari ini kami mencoba untuk mengangkat kembali budaya Ndao, sehingga bisa dilestarikan oleh anak cucu nanti yang lahir di kota, lahir di Kupang, yang tidak pernah tahu tentang budaya Ndao, supaya ini menjadi sebuah kazanah, yang tidak boleh dilupakan,” ujar Dr. Daud kepada wartawan usai acara peminangan Pdt. Ishak Dehan dan Pdt. Elen Lusi, Senin 22 Mei 2023.

Menurutnya, tahapan adat yang dilaksanakan oleh kedua belah pihak, sebenarnya mengalami sedikit modifikasi, namun tidak berbeda jauh dengan adat dan budaya asli orang Ndao.

Prosesi peminangan menggunakan adat Ndao terdiri dari beberapa tahapan yang dilaksanakan sebelum, maupun saat peminangan berlangsung. Saat acara peminangan, keluarga pria dijemput oleh keluarga wanita, bukan seorang jubir.

Keluarga pria kemudian dibawa menggunakan tarian ke dalam sebuah ruangan, untuk disuguhi Sirih dan Pinang, makanan khas orang timur Indonesia.

“Nanti di antara mereka, ada seorang ibu yang akan menyampaikan bahwa, mereka hadir di sini, karena mereka mendapat kabar dari anak laki-laki mereka, bahwa di sini ada seorang wanita yang menjadi idaman dalam hidupnya, sehingga ia hadir bersama keluarga untuk meminang,” ungkapnya.  

Tahapan selanjutnya, Mama atau salah satu Ibu dari keluarga perempuan akan masuk ke dalam kamar, dan menanyakan kesediaan wanita yang ingin dilamar, apakah yang bersangkutan bersedia menerima dan menjadi calon istri dari anak mereka.

Ketika wanita tersebut menyatakan tidak bersedia, maka seluruh tahapan selanjutnya dibatalkan. Tetapi jika wanita menyatakan iya dan bersedia, maka dilanjutkan ke tahapan berikut yaitu pembicaraan adat dan penyerahan mahar atau belis.

Emas Jadi Mahar

Dr. Daud Ludji yang juga adalah Ketua Paguyuban Keluarga Ndao Nuse (Mai Laki) di Kupang ini menjelaskan, dalam adat dan budaya orang Ndao, mahar atau belis harus menggunakan Emas.

“Adat orang Ndao, air susu itu dalam bentuk emas. Itu tidak bisa ditawar dalam bentuk uang. Itu dari dulu jaman nenek moyang, emas itu sebagai alat pembayar belis dalam adat Ndao,” tegas dosen IAKN Kupang ini.

Pasca pembicaraan soal mahar atau belis, tahapan selanjutnya adalah pengujian emas yang diserahkan oleh keluarga pria. Emas akan diukur dari sisi berat dan berapa kadar karat yang terkandung di dalam emas tersebut oleh juru uji. Khusus orang Ndao, ukuran yang digunakan untuk mengukur berat Emas adalah Om’a. 1 Om’a setara dengan 8 gram.

BACA JUGA:  Ayo Gabung Go With The Glow By Legacy, 'Sunset Point' Cocktails Terbaik serta Pesta Kembang Api Akhir Tahun 2022

Setelah tahap uji emas selesai, maka jubir akan memgambil alih pembicaraan, dan acara dilanjutkan ke tahap berikut yaitu makan Sirih Pinang, kemudian minum gula air menggunakan haik, dan penyerahan perlengkapan pernikahan dari keluarga pria.

“Setelah itu sebagai jubir kekuarga wanita, saya akan menyampaikan bahwa acara peminangan sudah kami terima, tapi laki-laki yang mau meminang, kami belum kenal. Kemudian mereka akan membawa laki-laki datang dan perempuan akan dibawa oleh To’o dan Te’o dan dikalungkan selendang untuk diperkenalkan kepada masyarakat. Ini berbeda dengan adat timur pada umumnya, bahwa laki-laki harus masuk cari perempuan. Tapi adat Ndao, berbeda,” tuturnya.

Makan Adat Simbol Kebersamaan

Dalam adat dan budaya orang Ndao, pasca peminangan acara dilanjutkan dengan makan adat yang merupakan simbol kebersamaan antara kedua belah pihak. Melalui makan adat, keluarga perempuan ingin menyampaikan ucapan rasa syukur atas peristiwa peminangan itu, dan menjamu keluarga laki-laki secara adat.

Acara makan adat yang dihadiri oleh keluarga kedua belah pihak, juga dihadiri oleh tamu undangan. (Foto: Ama Beding)

Makan adat dalam konteks orang Ndao, dilaksanakan di atas sebuah tikar yang panjang. Kedua belah pihak akan duduk bersilah, dan di atas tikar disediakan sebuah nyiru kecil yang berisi daging babi, nasi, pisau, dan kuah daging yang ada di dalam tempurung atau haik.

“Kuah daging itu tidak boleh dicampur apapun. Daging itu tidak boleh dicuci, karena kandungan darah yang melekat pada daging itu, nilai gizi dan aroma kuahnya berbeda. Dan memang rasa kuahnya berbeda,” ujar Dr. Daud Ludji.

Nilai kedua adalah, keluarga wanita ingin menyampaikan ke keluarga pria bahwa dalam kebiasaan orang Ndao, pesta itu identik dengan upacara makan daging dalam jumlah yang banyak, dan biasanya ada tambahan alkohol sebagai pelengkap jamuan makan adat.

“Ada satu kelebihan orang Ndao, bahwa daging yang dimakan di tempat peminangan akan dihantar ke rumah oleh orang yang berbeda, dan tidak akan tertukar. Jadi sebelum orang sampai di rumah, dagingnya sudah sampai di rumah duluan. Ini sebuah kearifan lokal yang dimiliki orang Ndao,” ucapnya.

Dengan penyelenggaraan acara peminangan menggunakan adat Ndao, keluarga besar Lusi ingin agar anak cucu tahu, bahwa relasi kekeluargaan yang ditandai dengan duduk makan bersama, tidak boleh dihancurkan dengan perbedaan apapun juga.

“Ini simbol kebersamaan. Simbol ini ditunjukan dengan salah satu bahasa adat yaitu Pasue yang artinya kasih sayang. Kata ini menembus lapisan perbedaan, strata sosial, bahkan agama. Duduk dan makan bersama itu mahal harganya,” tandasnya.

Lestarikan Adat dan Budaya Ndao

Sementara Yus Lussi yang adalah ayahanda dari Pdt. Elen Lussi mengatakan, tujuan penggunaan adat Ndao dalam proses peminangan anaknya adalah untuk melestarikan adat dan budaya Ndao.

“Dulu tahun 2014, anak laki-laki menikah, saya juga menggunakan adat Ndao. Sekarang di anak perempuan, saya mengangkat lagi adat Ndao dengan tujuan melestarikan, untuk memberitahu keluarga kita yang bukan lahir di Ndao, bahwa sesungguhnya adat kita punya keunikan,” ujarnya.

“Kedua, ada pesan lain bahwa kita mau sampaikan ke keluarga Dehan, bahwa kita sudah utuh jadi satu, karena kita sudah makan semeja. Biarlah menjadi pelajaran menjadi anak kita bahwa kita sudah sudah bersaudara,” tandasnya.

Pantauan Koranntt.com, upacara peminangan Pdt. Ishak de Haan dan Pdt. Elen Lussi berjalan lancar tanpa kendala. Hari ini, 23 Mei 2023 akan dilangsungkan upacara pemberkatan nikah di gereja. (*)